Pintu Terlarang (Forbidden Door) merupakan film bergenre horor karya sutradara Joko Anwar. Film ini diadaptasi dari novel Sekar Ayu Asmara. Film yang berdurasi 115 menit ini dirilis pada tahun 2009. Film ini dibintangi oleh Fachri Albar, Marsha Thimoty, Ario Bayu, Otto Djauhari, Tio Pakusadewo, Atiqah Hasiholan, dan Henidar Amroe.
BACA JUGA: Pintu Terlarang Rahasia di Balik Pintu: Gelap dan Mengerikan
Film Pintu Terlarang menyisipkan begitu banyak tanda-tanda yang saling berkaitan dan berpola. Kata “Pintu Terlarang” sendiri sudah dapat dijadikan sebuah teks yang pada akhirnya menjadi sebuah tanda, sehingga melalui bahasa di dalamnya, dapat dibayangkan gagasan, pikiran, perasaan, bahkan ketidaksadaran pengarang. Kata “pintu” sebagai penanda merujuk pada sebuah media yang menghubungkan dua ruang berbeda, dan melalui judul ini, kita dapat membayangkan atau mengasumsikan bahwa terdapat ruang rahasia dan misteri di balik pintu terlarang yang coba diungkap.
Petanda-petanda dalam film ini muncul sejak durasi pertama film ditayangkan. Yang sangat menarik dari film Pintu Terlarang ini penonton akan terus bertanya apa maksud dari jalan cerita yang disuguhkan oleh sutradara. Penonton baru akan mengerti ketika 5 menit sebelum film berakhir. Menit terakhir itu berkisar dari menit 1:41:21 sampai menit 1:44:31. Pada menit tersebut saya memfokuskan pada sebuah teks semiotika. Pada teks tersebut terdapat sebuah adegan seorang pasien rumah sakit jiwa bernama Gambir.
BACA JUGA: 8 Film Terbaik yang Dibintangi Marsha Timothy
Gambir berada di sebuah ruang kecil dengan dinding-dinding beton dan pintu yang digembok dari luar. Pada bagian lantai tempat Gambir duduk terdapat “banyak buku”. Pada adegan tersebut tampak Gambir sedang menangis ketakutan, penuh rasa penyesalan, meronta, dan lain-lain. Tidak lama kemudian muncullah seorang wartawati dari depan pintu sel dimana Gambir berada. Wartawati tersebut bernama Pusparanti. Dalam adegan ini Pusparanti memanggil-manggil Gambir tanpa ada jawaban dari Gambir. Kemudian datang petugas rumah sakit jiwa 1 mengajak berbicara Pusparanti. Setelah selesai berbicara, Pusparanti menitipkan beberapa buku dan majalah kepada petugas 1 untuk diberikan kepada Gambir. Kemudian Pusparanti pergi meninggalkan sel tempat Gambir berada. Beberapa langkah dari sel Gambir Pusparanti berpapasan dengan petugas 2 yang membawa peralatan kebersihan. Di sisi lain petugas 1 membuka kunci dan masuk ke dalam sel Gambir serta memberikan buku dan majalah titipan Pusparanti tadi kepada Gambir dengan cara meletakkannya di lantai dekat Gambir. Kemudian petugas 1 pergi meninggalkan sel tersebut dengan mengunci kembali pintu sel. Saat petugas 1 mengunci pintu sel muncul wajah seorang wanita tua yang mengintip dari balik kamar sel lainnya yang berada tepat di depan kamar sel Gambir. Penutup adegan ini petugas 1 melangkah keluar meninggalkan sel.
Teori tersebut dapat kita kaitkan penanda pertama atau penanda awal yang muncul pada adegan yang dipilih menjadi teks pembahasan yaitu seorang pasien rumah sakit jiwa yang sedang duduk di lantai sebuah sel. Kemudian petanda yang menandai penanda pertama muncul ketika seorang wanita dengan menggunakan tanda pengenal bertuliskan “Pers”. Wanita tersebut berada di depan pintu sel dan memanggil pasien tersebut dengan nama Gambir. Tanda yang dapat kita peroleh yaitu seorang pasien di dalam sel tersebut bernama Gambir. Tanda yang diperoleh selanjutnya yaitu bahwa wanita tersebut berprofesi sebagai wartawan dengan nama Pusparanti. Tanda pengenal bertuliskan “Pers” yang dikenakan Pusparanti merupakan sebuah tanda pengenal yang banyak dipakai oleh wartawan ataupun wartawati di Indonesia. Menurut teori semiotika Charles Sander Pierce, proses mengartikan sebuah tanda terjadi seperti sebuah sistem pada struktur sebuah segitiga.
Saya melihat tanda pengenal tersebut sebagai sebuah simbol. Simbol yang mengenali sebuah profesi seseorang. Teori semiotika Pierce terjadi ketika ada konvensi, yaitu sebuah kesepakatan bersama dalam suatu wilayah. Di Indonesia seseorang yang memakai tanda pengenal “Pers” berprofesi sebagai wartawan atau wartawati.
Penanda beikutnya yaitu seorang pasien di dalam sel bernama Gambir sedang duduk di lantai dan dikelilingi oleh banyak buku. Gambir sedang dikunjungi oleh Pusparanti yang terus menerus memanggil namanya dari depan pintu sel. Petanda berikutnya yang menandai penanda kedua muncul dengan datangnya seorang petugas penjaga rumah sakit jiwa di mana Gambir berada yang kami sebut sebagai petugas 1. Kemudian Pusparanti menitipkan buku dan majalah kepada petugas 1 untuk diberikan kepada Gambir. Dari penanda dan petanda tersebut kami menemukan tanda baru. Tanda tersebut yaitu Pusparanti bukan kali pertama mengunjungi Gambir, hal ini dapat kita lihat dari saat ia datang dan “langsung” memanggil pasien di dalam sel tersebut dengan nama Gambir. Dalam adegan tersebut seperti bukan pertama kali Pusparanti memanggil nama Gambir kepada pasien yang ada di dalam sel. Argumen lain yang menguatkan dugaan saya yaitu Pusparanti menitipkan beberapa buku dan majalah kepada petugas 1 untuk diberikan kepada Gambir. Pada penanda yang muncul yaitu Gambir duduk di lantai dikelilingi oleh banyak buku dan majalah. Banyaknya buku yang mengelilingi Gambir memberikan tanda bahwa Pusparanti bukan kali pertama dan sudah sering mengunjungi Gambir.
Pada saat petugas 1 datang menghampiri Pusparanti yang sedang berdiri di depan pintu sel Gambir, petugas 1 mengajak ngobrol atau berdialog dengan Pusparanti. Isi dari percakapan keduanya menjadi teks baru bagi saya sebagai bahan yang penting untuk mengartikan melalui kacamata semiotik.
Petugas 1 : Kalau sudah begitu, dia tidak bisa mendengar orang.
Pusparanti : Oh kalau begitu saya titip buku dan majalah-majalah ini.
Petugas 1 : Mari saya masukkan
Pusparanti : Terimakasih….apa yang sedang ada di dalam kepalanya.
Petugas 1 : Saya sudah disini 10 tahun mbak, tetap saya tidak tahu.
Pusparanti : Menurut bapak, apa dia bakalan bisa keluar?
Petugas 1 : Saya bukan dokter, tapi kalau orang bisa membunuh orang tuanya sendiri waktu
umur 8 tahun, kalau sudah dewasa dan lepas, bisa ngapain?
Pusparanti : Bukan salahnya, anak kecil disiksa seperti itu
Petugas 1 : Kalau saya jadi kamu, saya tidak akan terlalu sedih memikirkannya
Pusparanti : Kenapa?
Petugas 1 : Seperti yang saya bilang tadi, siapa yang tahu apa yang sedang ada di dalam
kepalanya, mungkin dia tahu sesuatu yang kita nggak tahu.
Pusparanti : Saya pulang dulu pak, titip buku ini Pak, mari.
Petugas 1 : Ya, mari.
Pusparanti : Terimakasih.
Dialog antara petugas 1 dengan Pusparanti dapat dianalisa sebagai sebuah teks, banyak petanda-petanda baru yang muncul. Salah satunya yaitu Gambir sudah berada di dalam sel tersebut kurang lebih selama 10 tahun. Tanda ini kita peroleh saat petugas 1 mengatakan “ia sudah di sana selama 10 tahun”, tapi ia sendiri juga tidak mengerti apa yang ada di dalam pikiran Gambir. Petanda yang lain yang menguatkan dugaan bahwa pekerjaan petugas 1 di rumah sakit jiwa tersebut adalah seorang penjaga sel, ketika ia mengatakan bahwa “saya bukan dokter”. Di rumah sakit jiwa selain dokter orang lain yang diperbolehkan masuk ke dalam sel pasien rumah sakit jiwa adalah penjaga. Petugas 1 memegang kunci pintu kamar sel pasien-pasien di rumah sakit jiwa tersebut. Hal ini menguatkan tanda bahwa orang tersebut memang seorang petugas penjaga sel karena ia memiliki kunci pintu masuk ke kamar-kamar sel pasien di rumah sakit tersebut, ini menandakan bahwa ia diberikan izin dari pihak rumah sakit untuk dapat masuk ke dalam sel.
Petanda yang lain yaitu Gambir sudah berada di dalam sel rumah sakit jiwa tersebut selama kurang lebih sepuluh tahun karena ia pernah membunuh orang tuanya pada saat ia masih berumur 8 tahun. Hal ini menjadi petanda baru. Gambir yang ada di dalam sel adalah Gambir yang berusia dewasa. Ia berkumis dan berjenggot layaknya orang dewasa (penanda). Ketika dalam dialog disebutkan bahwa Gambir membunuh orang tuanya pada saat umur 8 tahun (petanda), maka tanda baru yang muncul yaitu Gambir sudah berada di dalam sel lebih dari 10 tahun. Pada saat membunuh, Gambir berusia 8 tahun, 10 tahun kemudian ia berusia 18 tahun. Tidak ada anak usia 18 tahun mempunyai kumis dan jenggot seperti yang dipunyai Gambir yang dituangkan pada adegan di dalam sel. Hal ini memunculkan tanda bahwa Gambir berada di sana lebih dari 10 tahun, berarti Gambir sudah berada di sana sebelum petugas 1 bekerja di sana.
Petanda lain yang muncul dalam dialog antara petugas 1 dan Pusparanti yaitu adanya ideologi yang mengukuhkan ideologi patriarki. Ideologi mengukuhkan patriarki dalam konteks dialog di sini mengandung arti bahwa wanita selalu mengedepankan perasaan, sedangkan laki-laki cenderung mengendalikan pikiran atau mengandalkan logika. Ketika Pusparanti bertanya “Apa yang sedang ada di dalam kepalanya?”, ini memberi tanda bahwa ia peduli dengan pasien bernama Gambir, kemudian petugas 1 menjawab “Saya sudah di sini 10 tahun, Mbak, tetap saja saya tidak tahu”. Ini menandakan petugas 1 yang nota bene seorang laki-laki menjawab pertanyan Pusparanti dengan logika. Petugas 1 yang sudah berada di sana selama 10 tahun dan sudah mengenal Gambir lebih lama dari Pusparanti saja tetap tidak tahu. Kemudian Pusparanti bertanya kembali “menurut bapak, apa dia bakalan bisa keluar?” Ia kembali menunjukkan sisi femininseorang perempuan yang peduli, penyayang dan mengedepankan perasaan. Tetapi petugas 1 kembali menjawab dengan logika “Saya bukan dokter, tapi kalau orang bisa membunuh orangtuanya sendiri waktu umur 8 tahun, kalau sudah dewasa dan lepas, bisa ngapain?” Petugas 1 menunjukkan jawaban-jawaban yang mengedepankan logika. Kalimat lain yang mengukuhkan ideologi patriarkinya yaitu ketika Pusparanti mengatakan, “Bukan salahnya, anak kecil disiksa seperti itu.” “Kalau saya jadi kamu, saya tidak akan terlalu sedih memikirkannya”, tanggapan petugas 1. Dalam konteks kehidupan sehari-hari perasaan dan logika itu adalah dua hal yang berbeda. Sedih adalah salah satu bentuk ekspresi perasaan. Tetapi dalam kalimat tanggapan petugas 1 yaitu “sedih memikirkannya.” Ini jelas bahwa sedih dalam pengertian petugas 1 sudah bukan lagi bagian dari perasaan, tetapi bagian dari logika.
Menurut teori semiotik Mikhail Bakhtin, sebuah dialog itu bersifat alami dan terjadi dalam kesadaran penuh pelakunya. Terdapat tanya jawab antar pelakunya dan biasanya isi dari dialog tersebut meliputi hal-hal yang terjadi dalam hidup pelakunya. Dialog antara petugas 1 dan Pusparanti dalam teks jelas sekali menjelaskan kronologi kehidupan yang dialami oleh pelaku, terutama oleh petugas 1.
Terlepas dari dialog di atas, saya memukan sebuah petanda dan penanda baru. Dalam teori semiotik Roland Barthes, sebuah pemaknaan yang muncul diawal dan pemaknaan yang mencul setelahnya biasa diikut oleh mitologi atau mitos. Dalam teks tersebut kita menyaksikan Gambir duduk di lantai dikelilingi buku-buku dan majalah. Kemudian datang seorang wartawati bernama Pusparanti menghampiri dan memberikan buku-buku serta majalah yang lain kepada Gambir melalui petugas 1. Ini merupakan sebuah petanda baru, penanda yang muncul dalam teks yaitu adanya buku dengan sampul gambar patung yang persis sekali seperti patung yang diciptakan oleh Gambir di dalam cerita film Pintu Terlarang ini, tetapi adegan tersebut berada di luar teks yang saya tentukan unyuk dibahas di sini.
Dari hal ini kita menemukan hal-hal yang berkaitan dengan teori semiotik seperti yang dijelaskan oleh Julia Kristeva, bahwa teks merupakan mozaik, teks merupakan kepingan dari struktur yang lebih besar atau sebaliknya teks menyimpan kepingan-kepingan itu sendiri. Dalam konteks ini, teks yang kami bahas adalah kepingan dari struktur yang lebih besar yaitu struktur film Pintu Terlarang yang di dalamnya terdapat teks-teks yang yang ke semuanya saling berkaitan.
Petanda baru yang lain yaitu Gambir sudah membaca buku-buku dan majalah tersebut sehingga dalam alur cerita Pintu Terlarang, Gambir menokohkan dirinya sebagai seorang tokoh utama yang berprofesi sebagai seniman pahat patung. Intertekstualitas a la Julia Kristeva pun mendapat pengabsahannya, yaitu ketika Gambir menyerap isi dari buku-buku dan majalah-majalah yang diberikan oleh wartawan wanita tersebut dan mentransformasikannya menjadi figur dirinya sendiri dalam angan-angannya. Kembali kepada apa yang disebut Barthes mengenai denotasi, konotasi dan mitologi yang terjadi dalam teks yang ada, yaitu Pusparanti memberikan buku atau majalah seni bukan tanpa sebab (petanda). Petanda ini menandai buku-buku yang diberikan oleh Pusparanti kepada Gambir. Seperti teori semiotik Barthes, ada petanda-petanda yang dapat dimunculkan yang sebenarnya tidak ada dalam teks ataupun dalam film tersebut. Petanda yang kami munculkan yaitu, karena Pusparanti berprofesi sebagai jurnalis, maka ia adalah seseorang yang memiliki banyak informasi. Informasi yang ia miliki berasal dari berbagai sumber. Ia mencoba membantu Gambir dengan sumber daya yang ia miliki saat ini. Terbukti pada dialog bersama petugas 1, ia berharap sekali Gambir bisa sembuh dan keluar dari sel. Sehingga kesimpulan membaca penanda dan petanda yang ada maupun petanda yang muncul yaitu Pusparanti berusaha membantu Gambir untuk sembuh menggunakan pendekatan “seni” sebagai medianya. Ia sengaja memberikan majalah atau buku pahat patung melalui kesenian supaya Gambir bisa sembuh. Ini sudah menjadi sebuah mitos, yakni menurut anggapan Pusparanti kesenian dapat membantu menyembuhkan pasien Rumah Sakit Jiwa.
Selain menjadikan diri sendiri sebagai seorang seniman pahat patung dalam angan-angannya, Gambir juga menjadikan semua orang yang ada di sekitarnya sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam angan-angan tersebut. Pusparanti dijadikan sebagai istrinya, petugas 1 dijadikan teman dekat Gambir, dan petugas 2 dijadikan sebagai teman main tetapi bukan teman dekat seperti petugas 1. Wanita tua yang juga dalam sel tetapi berada di depan sel Gambir dijadikan sebagai orang yang pernah dilihatnya tetapi tidak ada dalam kehidupan pribadi Gambir. Pusparanti sangat perhatian kepada Gambir, sehingga Gambir menganggap Pusparanti sebagai istrinya (petanda). Tetapi melalui buku dan majalah yang diberikan oleh Pusparanti, Gambir merasa menjadi orang lain, bukan dirinya sendiri dan tertekan, itulah kenapa waktu duduk di lantai Gambir menangis, menunjukkan rasa sedih yang akhirnya rasa sedih tersebut bercampur aduk dengan masa lalunya (tanda). Petugas 1 menjadi teman dekat dalam angan-angan Gambir, karena petugas 1 sering masuk ke dalam sel Gambir yang menjadi perantara Pusparanti dengan Gambir (penanda). Kemungkinan yang terjadi yaitu petugas 2 adalah petugas kebersihan kamar sel Gambir (petanda), sehingga ia dianggap teman oleh Gambir tetapi bukan teman dekat (tanda). Penokohan yang terjadi dalam angan-angan Gambir sesuai dengan intertekstualitas a la Julia Kristeva. Yaitu isi dalam buku atau majalah yang dibaca oleh Gambir, dijadikan sebuah adegan cerita (angan-angannya) dan dihubungkan dengan kehidupan pribadi, pengalaman (empiris), serta orang-orang yang berada di dekatnya maupun orang-orang yang berada di dalam kehidupannya.
You might also like
More from Tontonan
Sinopsis Sokola Rimba
Sinopsis Sokola Rimba Film "Sokola Rimba" merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang wanita bernama Butet Manurung yang didedikasikan untuk memberikan pendidikan …
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …
Analisis Ending Film The Commuter
Analisis Ending Film The Commuter "The Commuter," sebuah film thriller yang dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan yang penuh …