Perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa -Milan Kundera
Kundera benar, penguasa adalah adalah orang-orang yang ingatannya cepat sekali hilang. Kita yang mengamini sabda dari Kundera mestinya tak boleh lupa kalau di tahun 2004 lalu, Munir Said Thalib, seorang pejuang HAM diracun di udara. Dalam perjalanannya untuk menuntut ilmu di Belanda, ia memesan jus jeruk yang telah diberi racun arsenik di dalamnya. Peradilannya berlarut-larut dan yang ditangkap hanya Pollycarpus si pilot.
Pollycarpus meracun Munir, atas dasar apa? Tentu pilot pembunuhan sebenarnya belum ditahan, ia masih bebas dan mungkin saja sekarang tengah merencanakan membunuh warga Indonesia yang lain.
Semasa hidup, ada banyak kasus HAM yang ditangani oleh Munir. Munir pernah menjadi penasihat hukum dalam kasus pembunuhan besar-besaran terhadap masyarakat sipil di Tanjung Priok, menjadi anggota komisi penyelidikan pelanggaran HAM di Timor Timur, menjadi penasihat hukum kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta, dan masih banyak lagi.
Kita mesti mengingat janji si Presiden waktu dirinya berkampanye 2014 lalu akan menggalakkan penegakan HAM di negara ini. Harapan tentu sudah tinggi pada si Joko yang punya rekam jejak bersih dalam masalah HAM daripada lawannya, si jenderal yang pernah nyulik aktivis-aktivis di masa orde baru.
Ndilalah, Bu Suci, istri almarhum, yang sudah punya harapan sama si Joko kecewa. Tahun lalu ribut-ribut dokumen Tim Pencari Fakta kasus Munir menghilang dan tahun ini isu menghilangnya dokumen TPF itu menghilang juga di ruang-ruang perbincangan publik. Dokumen sepenting itu bisa menghilang di tangan negara, tentu disengaja dan hanya akal-akalan saja.
Bu Suci bahkan sampai ngomong di salah satu kanal berita daring, kalau revolusi mental penegakan HAM, yang diteriakkan waktu kampanye itu cuma omong kosong belaka. Omongan Bu Suci benar, bukan cuma kasus Munir yang dilupakan sama si Presiden dan negara.
Isu yang sedang panas saat ini misalnya, pengosongan lahan warga di Kulon Progo, Yogyakarta, untuk pembangunan bandara jelas-jelas melanggar HAM. Ironinya, pembangunan bandara ini ya disponsori oleh negara sendiri. Ya pantas memang dikatakan kalau revolusi mental penegakan HAM itu cuma omong kosong.
Tahun 2015 misalnya, mungkin kita masih ingat Salim Kancil seorang petani dari Lumajang, Jawa Timur, yang menolak penambangan pasir karena merusak lingkungan dibunuh dengan begitu kejam oleh beberapa orang yang dikendalikan Kepala Desanya sendiri.
Atau di Jakarta, setiap hari Kamis keluarga korban aktivis HAM yang hilang, korban penghilangan paksa tragedi 1998, serta keluarga korban pelanggaran HAM yang tewas di tangan angkatan bersenjata, berdiri di depan istana merdeka menuntut keadilan. Sudah lebih dari 500 hari Kamis mereka lewati tanpa mendapatkan kepastian. Negara ya cuek saja.
Apalagi kalau kita bicara tentang pelanggaran HAM di Papua sana. Kita masih ingat, kisah dua diplomat perempuan di forum internasional yang menyangkal habis-habisan kalau tidak ada pelanggaran HAM di Papua sana. Diplomat rasa-rasanya memang tak ada bedanya dengan humas.
Nyatanya, data dari Setara Institute, di tahun 2016 saja ada total 107 kasus pelanggaran HAM oleh aparat yang terjadi di Papua. Yang berarti setiap 3 atau 4 hari sekali akan terjadi satu pelanggaran HAM di Papua sana.
Namun, isu-isu HAM di papua yang tidak seksi ini ditutupi dengan berita-berita soal pembangunan infrastruktur di Papua yang berarti juga framing keberhasilan Jokowi. Jokowi memang pernah membebaskan beberapa tahanan politik di Papua sana dan berjanji akan membebaskan seluruh tahanan politik secara bertahap. Seperti yang sudah-sudah, mungkin Jokowi lupa lagi, keasyikan membangun infrastruktur dan kabarnya rencana Jokowi yang mulia itu dijegal oleh kaum konservatif di parlemen sana.
Hari ini, 8 Desember, Munir yang jika saja masih hidup akan bertambah usianya menjadi 52 tahun. Segala upaya telah dilakukan oleh Bu Suci dan kawan-kawan untuk menyuburkan ingatan, dari menuntut keadilan di ranah hukum hingga membuat Museum Omah Munir di Kota Batu, kota kelahiran Munir. Perjuangan kawan-kawan dalam kasus Munir, di aksi kamisan, di Kulon Progo, di Papua, maupun di tempat-tempat lain mesti kita beri tempat dalam memori kita sebagai salah satu bentuk perjuangan kecil kita melawan kekuasaan yang sewenang-wenang. Penguasa enteng lupa, kita tetap harus terus mengingatkan. Mengingat Munir, mengingat keadilan.
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …