Hilangnya bitcoin…
Di sebuah Sekolah Dasar bagian utara Amerika Serikat seorang guru bertanya pada muridnya, “this past week we’ve been talking about money. I’m gonna ask everybody what you think money is? Can you give me some answers now?” Ada yang menjawab, “money is like paper, so you can buy stuff with it,” kata murid lelaki. “So you have to have, like, four quarters for a dollar…,” timpal murid satunya lagi dengan wajah yang penuh percaya diri. “You need money to buy your house, like food, water, oxygen, eh not oxygen..,” potong murid perempuan yang lucu itu. Lalu, apa sesungguhnya uang itu?
Eyewitness Book menjabarkan bahwa uang pada dasarnya adalah sistem akuntansi, sebuah cara untuk mencatat siapa memiliki apa, siapa yang telah mempunyai apa, siapa yang memiliki apa hingga seseorang itu memiliki kepunyaan yang lainnya. Itu lah uang. Dan kita membutuhkan pusat institusi yang mempercayakannya pada pihak ketiga. Sebuah institusi yang dapat menjamin bahwa uang itu sah dijadikan alat tukar, seperti Bank Sentral, sesuai namanya, sangat sentralisir. Beratus tahun lamanya kita mempunyai pemerintahan yang punya otoritas penuh untuk mengatur bagaimana, apa, kemana uang itu mesti berputar.
Namun, kini teknologi digital telah membawa kita pada ruang-ruang tak terduga yang melahirkan mata uang virtual, maka karenanya penuh dengan kejutan.
“I’ve been working on a new electronic cash system that is fully peer to peer, with no trusted third party,” tulis seorang jenius dalam surat elektronik pada 2008 silam yang mengatasnamakan dirinya Satoshi Nakamoto. Surel tersebut dienkripsi secara rahasia (yang mana kini tidak lagi), dan hanya menyebar di lingkaran komunitas Cypherpunk (Tech Nerd) dan mendapat sambutan baik dari salah satu anggotanya, David Chaum, yang seorang ahli kriptografi.
Satoshi Nakamoto adalah orang pertama yang dikenal sebagai pencipta Bitcoin yang hari ini akrab terdengar di telinga kita lengkap dengan sistem teknologi Blockchain yang menjadi sirkulasinya. Dalam sistem Blockchain tak ada istilah partai ketiga untuk mengesahkan suatu pembayaran, tak berlebihan jika sistem pada teknologi Blockchain disebut-sebut kebalikan dari keseluruhan sistem tata pembayaran atau alat tukar hari ini.
Nakamoto sendiri pernah menyatakan bahwa total koin dari Bitcoin adalah 21.000.000 yang bisa dipecah yang sekarang ini bertebaran di dunia virtual, membuat orang-orang berlomba “menambang”-nya sebanyak mungkin untuk kemudian ditukar di pasar juali-beli Cryptocurrency. Ringkasnya Bitcoin adalah uang digital yang tidak dikontrol oleh bank melainkan ditopang teknologi peer-to-peer yang terdesentralisasi. Cypherpunk melihat Bitcoin sebagai alternatif dari ketidakpuasan dengan performa institusi finansial, terutama setelah malapetaka krisis ekonomi pada tahun 2008.
Bitcoin seolah emas virtual yang setiap orang ingin menghasratinya. Pada Desember kemarin saja valuasi Bitcoin menemukan momentumnya, satu koin diganjar lebih dari Rp 260.000.000. Sebagian praktisi Cryptocurrency memprediksi jika di 2018 Bitcoin bakal menembus nilai Rp 300.000.000, namun beberapa ada yang menganggap Bitcoin serupa kupon Bazaar yang tak terpakai setelah acara selesai. Menarik untuk melihat perkembangan Cryptocurency dari hari ke hari. Namun, apa iya Cryptocurrency adalah emas digital?
Cryptocurrency Fluktuatif dalam Hitungan Detik
Bitcoin atau biasa disebut mata uang digital (Cryptocurrency) pada beberapa hari kemarin mengalami penurunan yang sangat drastis. Tak sedikit orang, yang dalam hal ini adalah investor atau trader, kalang kabut dibuatnya. Business Insider menyebut Bitcoin turun drastis sebanyak US$ 13.300 yang padahal pada Desember kemarin mencapai lebih dari US$ 20.000.
Tak hanya Bitcoin yang mengalami kejatuhan secara drastis. Mata uang digital lain seperti Ethereum (ETH) dan Ripple (XRP) pun bernasib serupa. Oleh karena jatuhnya valuasi Bitcoin di pasaran, banyak trader yang panik seketika dan menjual asset digital-nya di pasar jual beli Bitcoin seperti bitcoin.co.id yang berdampak ke setiap pecahan koin dari Bitcoin itu sendiri ataupun Cryptocurrency lainnya.
Pada saat yang sama negara dengan kekuatan ekonomi raksasa seperti China memblokir pasar jual-beli bitcoin di negeri tirai bambu itu. China sendiri memang ngotot ingin membikin kebijakan yang tegas mengenai Cryptocurrency. Langkah tersebut pun disusul Korea Selatan dan Jepang, sekalipun Jepang telah memberikan lampu hijau terhadap Cryptocurrency. Maka itu pada pertemuan G20 yang jatuh pada Maret ini di Buenos Aires, Argentina, akan juga dibahas khusus mengenai kebijakan Cryptocurrency di seluruh dunia.
Indonesia memang belum mengesahkan mata uang virtual sebagai alat pembayaran yang sah. Berbeda dengan Jepang yang sudah mengatur bursa perdagangan Cryptocurrency ke dalam sistem pembayaran/pertukaran mereka. Pihak Jepang menegaskan bahwa Cryptocurrency mampu meminimalisir pencucian uang dan juga pendanaan terorisme. Karena mustahil kita melakukan kedua hal tersebut di dunia virtual. Indonesia tak melihat Cryptocurrency sebagaimana Jepang pasca Mt. Gox karena memang ketidaksiapan infrastruktur hampir selalu menjadi kendala di negeri ini.
Dalam jangka waktu dua bulan valuasi Bitcoin pernah mengalami kenaikan yang sangat ‘dramatis’, yakni dari US$ 150 menjadi US$ 1000. Berbagai tanggapan mengenainya pun hadir ke tengah-tengah kita. Sekelompok peneliti di Jurnal of Monetary Economics menyimpulkan bahwa telah terjadi perdagangan yang mencurigakan pada mata uang digital (Bitcoin) terkait nilai tukar, diduga terdapat seorang aktor tunggal, kata mereka, kemungkinan besar berperan dalam menaik-turunkan harga Cryptocurrency di pasaran.
Sejarah mencatat jika pada 2013 lalu perusahaan asal Jepang bernama Mt. Gox adalah perusahaan pertukaran Bitcoin terbesar di dunia. Didirikan oleh developer asal Prancis, Mark Karpeles yang pada saat itu tinggal di Jepang.
Padamulanya, Mt. Gox dibangun untuk jual beli kartu game online dengan menggunakan Cryptocurrency sebagai alat tukarnya, lantas pelan-pelan bertransformasi menjadi perusahaan pertukaran Bitcoin terbesar yang pernah ada. Namun, nasib berkata lain, dunia virtual sukar diprediksi. Setahun kemudian Mt. Gox pailit pada akhirnya mengalami kebangkrutan, bahkan Mark Karpeles ditangkap oleh pihak kepolisian Jepang karena dugaan pencucian uang dan pendanaan terorisme.
Dalam film dokumenter arahan Christoper Cannuciarri yang berjudul Banking On Bitcoin, puluhan ribu customer Mt. Gox melayangkan protes dan mempertanyakan keberadaan uang digital mereka. Karpeles sendiri mengaku dihadapan awak media bahwa Mt. Gox telah diretas oleh sekelompok/seorang hacker, Bitcoin berjumlah 660.000 koin ikut lenyap raib entah ke mana (Baca: disembunyikan). Hingga saat ini tak jelas ke mana sesungguhnya koin-koin itu bermuara.
Dengan demikian apakah kecurigaan kepada aktor tunggal itu makin menguat atau malah sebaliknya? Namun begitu, bagaimanapun juga dunia virtual sukar diprediksi, sebagaimana Mt. Gox yang tak seorangpun menyangka bakal “menggelapkan” ratusan ribu ‘keping’ Bitcoin, sehingga kemungkinan terbesar sekarang adalah memperbesar kemungkinan pada ruang ketidakmungkinan atau dengan kata lain; barangkali.
You might also like
More from Teknologi
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …