Minggu, 18 Desember 2018, sekelompok kecil masyarakat Indonesia dari elit parpol yang lolos verifikasi faktual berkumpul di kantor pusat Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mendapatkan nomor urut peserta pemilu 2019. Pastinya, terhitung mulai hari ini nomor–nomor tersebut akan menghiasi beranda facebook, twitter, dan instagram jamaah media sosial yang berbahagia.
Bahkan sudah ada yang mencatut nama Tuhan, misalnya buzzer partai politik tertentu menggunakan narasi “sesungguhnya Allah itu ganjil dan mencintai yang ganjil”. Narasi tersebut tak lain agar pemilih mencoblos partai tertentu pada pemilu serentak nanti.
Namun, bagaimanakah menurut Anda? Apakah Anda seketika mual dan bosan ketika senyum manis manja berhias angka dan logo partai, disertai caption penuh janji untuk tidak mengatakan bahwa mereka mengemis untuk dicoblos?
Setidaknya ada sepuluh pemain lama dan empat pemain baru dalam kancah perpolitikan nasional. Bagi pemain lama mungkin akan sedikit lebih mudah karena telah mempunyai basis massa fanatik di masing–masing daerah.
Lain halnya dengan pemain baru, yang harus bekerja keras meyakinkan calon pemilih untuk memutuskan pilihan politik mereka. Di sinilah peran media akan dijalankan, memanfaatkan figur politik di masing–masing daerah untuk mendulang suara floating mass yang diyakini jumlahnya melebihi massa fanatik pendukung partai.
Dimulailah apa yang disebut Jean Baudrillard sebagai hyperrealitas, penciptaan figur yang sepintas tampak nyata namun tidak menunjukkan kenyataan yang sebenarnya. Political imagery diciptakan melalui pencitraan figur personal yang terkesan dekat dengan rakyat, memiliki wawasan kebangsaan yang luas dan menguasai setiap permasalahan. Kemudian, social imagery dikonstruksi melalui agenda blusukan, menghadiri kegiatan kemasyarakatan, dan pemberian donasi.
Pseudosophy, istilah yang dikemukakan oleh Yasraf A. Piliang dalam bukunya Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial untuk menggambarkan sebuah wacana yang berkaitan dengan penciptaan dan kebenaran semu di dalam masyarakat. Sebuah wacana dalam menghasilkan skenario sosial, politik, dan budaya yang sekilas tampak nyata padahal sebenarnya palsu.
Kepalsuan ini akan segera Anda temui di spanduk pinggir jalan atau tersemat di jembatan layang. Dan sangat lebih disayangkan adalah suara kepalsuan tersebut berlalu lalang hingga ke dalam rumah kita dalam wujud internet yang kini menjadi media paling banyak diakses oleh masyarakat Indonesia.
Saking derasnya arus informasi di internet, tidak memberikan kita kesempatan untuk memilah mana di antara hal tersebut yang merupakan kebenaran dan kepalsuan karena semua hal yang beredar dikemas secara apik. Seolah semuanya adalah kebenaran.
Dalam mengemas sebuah realitas, figur politik tak ubahnya seperti selebriti yang berharap seulas senyumnya akan selalu terngiang di hati sanubari para konsumen politik, yaitu calon pemilih hingga di dalam bilik pencoblosan nanti. Untuk hal ini, dirumuskan pula iklan politik yang memperhatikan aspek kebiasaan, lifestyle, dan isu yang paling dekat dengan segmentasi calon pemilih yang dituju.
Tim sukses pun turut ambil bagian sebagai mesin partai untuk menyentuh akar rumput. Tidak aneh apabila kemudian obrolan politik mulai memasuki kedai kopi, pasar tradisional, dan kelompok pengajian RT.
Ini merupakan sebuah grand design dari simulasi politik yang diciptakan oleh masing–masing partai politik untuk menyusupi alam bawah sadar masyarakat. Jika sesuatu disampaikan secara berulang–ulang akan dianggap sebuah kebenaran terlepas dari apakah itu nyata atau palsu.
Fenomena ini menjadikan sebuah partai politik layaknya production house yang saling berlomba menyusun skenario dan menguasai media demi menaikkan popularitas partai dan mendapatkan suara sebanyak-banyaknya. Tidak lupa, peran buzzer yang kini merupakan salah satu profesi menjanjikan, sebagai mesin partai untuk membombardir halaman media sosial dengan kalimat persuasif dan penuh optimisme memperjuangkan perubahan.
Berita baiknya adalah kini masyarakat Indonesia sedikit lebih cerdas untuk berusaha melakukan penelitian secara lebih detail terkait isu yang berkembang, tidak terkecuali tentang rekam jejak partai peserta pemilu 2019. Terlepas dari hasil investigasi yang didapatkan apakah valid atau tidak, ataukah malah terjebak lebih dalam oleh kepalsuan. Setidaknya kemauan ini memberikan secercah harapan, semoga mereka menemukan kebenaran.
Tidak peduli Anda massa fanatik atau floating mass, keniscayaan tahun politik akan membentur matamu. Jika Anda bosan dengan cara partai politik yang mengumbar janji untuk meraup sebanyak mungkin pemilih maka larilah ke hutan lalu ke pantai meluapkan penat.
Bahwa yang harus disadari, politik dengan P besar hanyalah sebagian kecil dari bagian hidup, tidak perlu sampai menguras energi dan pikiran. Jangan sampai merusak persaudaraan, persahabatan apalagi kisah percintaan kalian guys. Cukuplah kegalauan hanya kita alami saat melilih pasangan, memilih partai politik mah jangan.
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …