Revolusi Industri 4.0, relevankah dengan sekolahan?
Memasuki pilpres 2019, banyak kalangan elit poltik nampak sibuk mengagendakan kemenangan. Euforia ini menjalar dari media massa menuju kantor-kantor, warung kopi, hingga ke dalam grup-grup WhatsApp keluarga. Masyarakat begitu menyala, riuh memperbincangkan masalah jagoan mereka masing-masing.
Sementara itu, konsep Revolusi Industri 4.0 yang digulirkan ekonom Jerman (Klaus Schwab, tahun 2016 ) lewat buku The fourth Industrial Revolution yang akan membumi di segala lini hidup masyarakat Indonesia ini, nampak tak menggiurkan bagi masyarakat umum untuk diperbincangkan. Padahal, pelan-pelan pemerintah tengah mengantisipasi kehadirannya.
Revolusi industri keempat yang diperkirakan akan mencuat di Indonesia pada tahun 2020 itu, direspon oleh pemerintah dengan wacana Making Indonesia 4.0, yang belakangan `sedang digalakkan. Generasi milenial pun digadang-gadang sebagai pemegang kunci zaman, di mana evolusi teknologi akan semakin mengaburkan batas-batas physical, digital, dan biological. Tentu kepala kita bisa pecah, bila memikirkan bagaimana mungkin revolusi industri yang bergema nan jauh di eropa sana mampu membuat gejolak masyarakat Indonesia terpengaruh. Dari era mesin uap, listrik, iptek, hingga jaringan internet, kita seolah-olah tak bisa lepas dari itu semua.
Pendidikan dan Teknologi
Sebagai seorang pengajar, fenomena ini begitu menarik perhatian saya. Sebab, pengaruh proses revolusi teknologi ini, belakangan mulai menyusup hingga ke sekolahan dan pendidikan tinggi. Hadirnya e-learning, mobile-learning, virtual class, distance learning (pembelajaran online), seakan dianggap sebagai antisipasi yang relevan bagi dunia pendidikan untuk menyongsong industri 4.0. Banyak pakar memahami, bahwa abad 21 dan revolusi Industri 4.0 sangat terkait hubungannya dengan infrastruktur digital. Kecakapan-kecakapan (slkil) digital pun sudah otomatis akan dibutuhkan di segala lini kehidupan. Alih-alih tak kebagian lahan kerja untuk generasi penerus, pemerintah Indonesia pun telah mengantisipasi hal tersebut dengan pendidikan vokasi, penguatan sekolah kejuruan, balai latihan kerja, pembelajaran berbasis TIK, link and match, pengembangan kurikulum, dan lain sebagainya.
Di lain sisi, kecakapan digital pun semakin mudah didapat oleh anak-anak (terlebih mereka yang digital native) melalui banyak tempat non-formal. Lalu, apakah peran sekolah masih dibutuhkan nantinya? Keterampilan Abad 21: Manusia Berdaya Pikir & Terampil Komunikasi Berdasarkan Conference Board of Canada, 2014, Tony Bates, direktur Distance Education & Technology, UBC, Kanada, memaparkan beberapa keterampilan yang perlu diperhatikan di abad 21. Selain skill digital, keterampilan berpikir (kognitif) dan keterampilan komunikasi rupanya juga perlu dikuatkan. Kemampuan berpikir yang dimaksudkan ialah kritis, pemecahan masalah, kreatif, orisinalitas, dan menyusun strategi.
Selain itu, keterampilan komunikasi yang dimaksud ialah sebagaimana membaca, berbicara, dan menulis. Bates juga menambahkan keterampilan komunikasi media sosial perlu diperhatikan. Wacana tersebut telah disadari oleh Menteri Pendidikan, dengan merevisi Kurikulum 2013 tahun 2018. Muhadjir Effendy telah mewanti-wanti hal itu pada suatu kesempatan, bahwa keterampilan berpikir kritis, kreatif, inovatif, berkomunikasi, kerja sama, percaya diri dan kolaboratif, adalah modal yang sangat dibutuhkan untuk memasuki pergaulan Industri 4.0 ( Republika.co.id, 28/4/18).
Lantas, apakah kampanye pembelajaran berbasis teknologi, juga hadirnya distance learning seperti portal Rumah Belajar, Ruang Guru, Quipper, dan sejenisnya, merupakan antisipasi wilayah pendidikan era 4.0 yang kafah? Dalam arti, apakah pembelajaran online tersebut membuat produktif siswa sebagai calon ujung tombak era industri 4.0? Siswa: Subjek atau Objek Teknologi? Binus University telah menerapkan hal semacam itu sejak 2010. Namun, dalam sebuah kesempatan, salah satu dosen dan rektor kampus tersebut, Prof. Harjanto Prabowo menyatakan, bahwa permasalahan utama bukanlah teknologinya, tapi bagaimana menyiapkan manusianya. Karena manusia yang akan menggunakan atau menciptakan teknologi tersebut. (Kompas, 20/7/18)
Boleh dimahfumi, orientasi pembaruan pendidikan kita mestinya bukan dengan mendigitalkan segalanya. Mulai dari e-raport, modul-modul ajar elektronik, menyulap kelas-kelas menjadi virtual, mendorong guru untuk digital savvy, sementara paradigma dan pendekatan pembelajaran masih terjebak dalam epistemologi objektivisme. Ketika siswa tak ubahnya objek dari sistem yang membuat mereka cenderung pasif. Siswa menjadi konsumen aplikasi, yang hanya mengusap-usap layar android, melihat bank soal, sambil bercita-cita lulus UN dengan nilai tinggi. Nyatanya, sulit dipungkiri bahwa teknologi dapat menunjang efisiensi pembelajaran bagi peserta didik dan pendidik dalam memenuhi kebutuhan kurikulum.
Kendati demikian, bagaimana guru menemani siswa untuk memasuki dunia sosial juga tak kalah penting. Untuk itu, revolusi dan sosialisiasi media pembelajaran berbasis teknologi ada baiknya disertai dengan revolusi pendekatan-pendekatan pembelajaran yang tepat. Revolusi paradigma membelajaran, sekolahan tetap dibutuhkan pendekatan constructivism karena cukup relevan sebagai cara pendidikan yang antisipatif terhadap era Industri 4.0. Seperti yang telah dipahami banyak ahli pendidikan mengenai konsekuensi constructivism, bahwa masing-masing individu itu unik dikarenakan interaksi pengalaman mereka yang berbeda. Pendekatan ini menekankan pembelajaran pada proses sosial (pengalaman, interaksi antara guru, siswa dan lingkungan lainnya), dengan maksud mengiringi siswa menemukan kecenderungan dirinya dalam kehidupan.
Penerapan konstruktivisme untuk itu, jangan sampai dianggurkan, lalu berhenti menjadi sebuah teori, dan wacana penghias kurikulum. Terlebih, bagi guru Bahasa Indonesia, karena menurut saya pendekatan ini sangat terkait dengan sejumlah materi Bahasa Indonesia (khususnya di sekolah menengah), sebagai kunci pembentukan keterampilan komunikasi. Sebagai contoh,( seperti yang pernah saya terapkan pada materi teks sejarah Kelas XII SMA), dengan mengonversi teks (cerita) sejarah ke dalam proyek pembuatan film pendek. Materi ajar, murid dan acara hari pahlawan di lingkungan sekitar sebagai tempat pemutaran film, menjadi proses pembelajaran yang saya kondisikan. Kerangka pembelajaran tersebut meliputi (planning) diskusi kelompok, rapat kelas ,pembagian tugas, (observing) riset sejarah, penyusunan skenario, penyiapan properti film, (acting) produksi film dan memutarnya di tengah masyarakat, kemudian (reflecting ) mengunggahnya di youtube dan mengulas atau mengevaluasi nilai-nilai dalam film.
Melalui kegiatan pembelajaran tersebut, siswa terdorong untuk komunikatif, percaya diri, kolaboratif, kreatif, dan kritis. Siapa sangka di antara mereka ternyata memiliki minat dan bakat sebagai periset, penyusun skenario, pemegang kamera, videografer, sutradara, pembuat properti (art), aktor, pemasaran digital, tata rias dan lain-lain. Sehingga mereka dapat meneruskan skill tersebut di perguruan tinggi atau dunia kerja. Di sinilah peran sekolah menjadi penting dan terus dibutuhkan. Karena sekolah berpotensi mempertemukan lingkungan sosial, guru dan siswa, dengan segala wibawa dan fasilitasnya, yang tak mungkin terjadi di virtual class atau distance learning ( pembelajaran online).
Dengan kata lain, di sekolah guru bukan hanya mampu menggunakan media pembelajaran berbasis teknologi, tapi juga membuat interaksi antara siswa,teknologi, dan lingkungan sosial terjalin. Dalam hal ini, pemerintah bukan hanya memberikan penyuluhan teknologi pembelajaran, panduan pengisian e-raport, bimtek, dan lain sebagainya. Namun pemerintah juga harus memberikan dorongan serta dukungan baik moral maupun material kepada sekolah, guru dan siswa, untuk menjalani pengembangan pembelajaran yang memungkinkan kegiatan kelas, ektsrakurikuler, karya siswa, saling terkait satu sama lain dengan kegiatan luar sekolah (sosial). Oleh karena itu, guru tak hanya menginspirasi dan membuat siswa terpukau dengan teknologi yang dibawanya, tapi juga harus mengiringi siswa menuju kehidupan sosial dengan potensi mereka. Maka, pembelajaran distance learning, e-learning, dan lain sebagainya harus ditiinjau kembali pendekatannya. Sebab, Ingarsa sung taladha, Ingmadya mangun karsa, Tutwuri handayani (Ki Hajar Dewanara).
Bukankah hakikat guru itu untuk berada di dekat siswanya?
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …