Demokrasi telah mati, dan kita telah membunuhnya. Demokrasi yang sederhananya “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” bolehlah dipahat di batu kali dan dimasukkan ke museum saja jadi pajangan sebagai pengingat kalau kita pernah naif. Saya tahu, saya bukanlah satu-satunya orang yang pesimis dengan model demokrasi Indonesia.
Tidak semua orang bisa dipilih jadi pemimpin dalam negara demokrasi. Orang-orang yang kita pilih untuk mewakili kita, baik di parlemen maupun sebagai presiden, adalah orang-orang dengan kelebihan modal dan backing politik yang berasal dari kelompok itu-itu saja. Sementara, kita yang tak memiliki modal dan backing politik kuat dari kelompok-kelompok yang itu-itu saja, tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk dipilih.
Masalah memilih pun tak kalah peliknya. Kita diberikan banyak alternatif kebebasan memilih wakil rakyat yang bisa kita pilih dalam demokrasi. Kebebasan memilih yang diberikan demokrasi pada kita seperti kata Marcuse, hanyalah menjadi alat dominasi, dalam artian apa yang kita kehendaki telah dipilihkan kepada kita. Marcuse menunjukkan fenomena ini sebagai “toleransi represif”, artinya suatu toleransi yang memberikan kesan seakan-akan menyajikan kebebasan seluas-luasnya, padahal maksudnya tidak lain daripada menindas saja. Kebebasan dan demokrasi telah kehilangan arti kritisnya.
Rakyat hanya dilihat sebagai komoditas suara oleh partai. Aktivitas seperti pemilu kadang tak ada bedanya seperti ajang idol-idolan pencarian bakat. Mereka yang mendapatkan suara terbanyak adalah mereka yang populer dan telah dipoles sedemikian rupa oleh partai, manajer politik, media massa, dan modal. Dari sini kita bisa melihat, kontrol dan kuasa masyarakat biasanya diraih oleh golongan masyarakat yang memiliki posisi ekonomi terkuat.
Seorang gila dan filsuf paruh waktu yang memiliki kumis layaknya Pak Raden, Friedrich Nietzsche, pernah berkata “kegilaan itu hal yang tidak wajar, tetapi dalam bernegara itulah aturannya.” Baru-baru ini kita tahu papa Setya Novanto yang sudah sehat segar bugar wal afiat dan bisa lolos dari jerat KPK itu, melaporkan anak-anak meme yang mengejeknya di media sosial. Bagi kita, lolosnya papa Setnov dari jerat hukum adalah hal yang tak wajar dan kegilaan, tetapi dalam bernegara itu wajar saja. Jadi, jangan naif berharap keadilan pada negara.
Sedihnya, kita tidak bisa memilih orang-orang dengan nalar kritis yang masih terjaga dengan baik untuk mewakilkan suara kita agar kejadian hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah tak terulang kembali. Nalar-nalar kritis biasanya akan dihasilkan oleh mereka yang sadar berada dalam kondisi tertindas atau berasal dari golongan yang termarginalkan. Pilihan-pilihan dalam pemilu, baik dalam tataran legislatif maupun presiden telah dipilihkan oleh elit partai kepada kita.
Pertanyaannya, masihkah kita akan memercayai suara kita diwakilkan oleh orang-orang yang telah dipilihkan elit partai, semacam papa Setnov, yang nalar kritisnya sedang molor?
Dari kegilaan-kegilaan masif dan terstruktur itu, Rukun Tetangga (RT) bisa menjadi oase kewarasan kita. Mungkin hanya dalam bentuk rukun tetangga cita-cita luhur demokrasi yang kita museumkan itu bisa tercapai. Semua warga yang mampu secara fisik dan akal bisa menjadi ketua RT dan jarang terjadi ketua RT berkuasa selama 32 tahun. Jarang juga terjadi anak pak RT menjadi ketua RT selanjutnya.
Yang sering terjadi, warga yang dipilih secara musyawarah kadang tak mau menjabat menjadi ketua RT. Warga masih memiliki kesadaran jika jabatan RT adalah amanat. Warga-warga yang memilih pun menggunakan akal sehatnya untuk memilih ketua RT mereka.
Yang pasti, tidak seperti memilih caleg ataupun presiden, pemilihan ketua RT seringkali dengan musyawarah yang melibatkan akal sehat dan warga juga memiliki kesempatan berdialektika dalam musyawarah. Tentu kesempatan berdialektika dan berargumen tidak akan ada saat pemilu presiden dengan model popular vote itu dan seringkali pilihan presiden kita telah ditentukan oleh elit partai-partai politik.
Ketua RT juga bisa dipastikan tidak mesti orang terkaya di RT-nya. Tak terlalu berlebihan juga jika kita mengatakan RT sebagai bentuk ruang publik yang setara tetapi mesti diakui: kurang sempurna. Semua orang bebas menyatakan aspirasi politisnya dalam pertemuan-pertemuan warga tanpa terdistraksi oleh kepentingan modal. Namun, ia tetap kurang sempurna karena terkadang perempuan tak dilibatkan.
Tidak seperti negara, warga dalam komunitas terkecil seperti RT akan merasakan sense of belonging pada komunitasnya. Warga biasanya lebih berfokus membangun dan memperbaiki komunitas yang mereka miliki. Mengingatkan ketua RT yang abai pun tak perlu berbelit-belit. Cukup dengan rasan-rasan dan teguran langsung biasanya si ketua RT akan menyadari kesalahannya atau minimal merasa malu. Warga tak akan diburu oleh ketua RT mereka sendiri.
Kalau negara? Bersiaplah dengan gugatan kata pasif Proudhon pada negara: ketika kita membangkang, melontarkan pengaduan pertama, kita pun ditindas, didenda, diremehkan, diusik, diburu, disiksa, dipukuli, dilucuti, dicekik, dipenjara, dihakimi, dihukum, ditembak, dideportasi, dikorbankan, dijual, dikhianati.
Makanya manut sama negara!
You might also like
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …
1 Comment
Ada cerita menarik di lingkungan kami Mba, bisa buat pembanding pendapat Mba soal RT dan kekuasaan yang melingkupinya.
Saya tinggal di Batam, Kepulauan Riau, sebuah kota kecil yang berbatasan laut langsung dengan Singapura. Saya tinggal di Kecamatan Lubuk Baja, Kelurahan Tanjung Uma, lebih tepatnya di RT 04/RW 11.
Memang benar, secara umum, pemilihan ketua RT adalah wujud paling benar dari demokrasi. Namun, dipilihnya seseorang/seorang warga menjadi seorang ketua RT dalam musyawarah juga selalu dipengaruhi hal-hal lain. Akan selalu ada source yang menjadi nilai tawar bagi seorang calon ketua RT.
Di lingkungan saya, ketua RT terpilih adalah anak dari tuan tanah di wilayah itu. Sulit mengakui bahwa faktor “tuan tanah” ini berperan besar dalam proses demokrasi pemilihan RT yang dilakukan, tapi kenyataan sepertinya membuktikan hal itu. Karena jika bicara pribadi dan program yang ditawarkan, rata-rata calon lain sama baiknya dari segi latar belakang pendidikan dan sosialnya. Tapi tampuk kekuasaan RT kami jatuh kepada anak tuan tanah tadi.
Masalah kemudian muncul ketika pemilihan anggota legislatif menjelang dan ketua RT terpilih menunjukkan dukungan politiknya kepada salah satu calon. Belakangan, diketahui calon tersebut menyumbang cukup besar untuk pengadaan fasum (fasilitas umum) di RT kami. Idealnya, dalam demokrasi, tiap orang berhak memilih dan dipilih, namun realita kadang masih berjarak dengan keadaan ideal itu.
Ketua RT terpilih kami jelas mendukung calon anggota legislatif tersebut, dan itulah masalah terbesarnya. Dengan source sebagai anak tuan tanah, ada relasi kuasa yang dibangun antara ketua RT terpilih dengan kami warganya. Dengan preferensi politik yang berbeda, kenyamanan kami tinggal di RT tersebut jadi terancam. Walau tanpa ancaman eksplisit, kami paham bahwa ketua RT terpilih berharap semua warga menyumbangkan suara politiknya kepada calon anggota legislatif yang mendukung pembangunan fasum kami.
Sekian, Mba 🙂