Perempuan itu berambut pendek, penampilannya amat tomboy, kutaksir usianya berkisar 36 tahun, matanya sipit, kulitnya putih. Ia seorang Tionghoa. Ia bermain-main di lorong ruangan berpanjang 3 meter dengan seorang anak. Berusia sekira 4 tahun. Laki-laki. Kulitnya putih bersih berperawakkan sehat, menunjukkan bahwa bocah itu terawat dengan baik. Bocah itu juga kerap ditemani perempuan lain yang sebaya dengan ibunya.
Di manakah bapak anak itu? Aku tidak tahu. Tidak bertanya juga. Tak ada keinginan untuk mengetahui. Tak ada seorangpun di tempat ini yang sepertinya ingin mengetahui identitas perempuan dan anak itu. Tahu namanya saja sudah cukup.
Kos-kosan yang sengaja dibangun secara vertikal ini dihuni oleh orang-orang yang bekerja pada malam hari dengan berbagai macam latar belakang dan beragam profesi. Namun, ada satu hal yang menyamakan mereka: Hiburan Malam.
Di komplek jalan yang kian sesak dengan para pedagang ini. Seorang lelaki berjalan dengan wajah lesu. Tampak kelelahan, sinar mentari pagi dan asap kendaraan menyatu dengan kusut wajahnya. Pekerjaan seharian membuat gesturnya tak keruan. Ia berjalan melewati minimarket yang berdiri tegak menantang tradisionalitas sementara tukang parkir sibuk memaju mundurkan kendaraan yang keluar masuk.
Lalu lalang kendaraan memadati jalanan. Sungguh sibuk sekali tempat ini. Terutama pada jam-jam setelah maghrib berkumandang. Di sebuah restoran, kulihat lelaki lain bertubuh gempal dengan gaya perlente, mirip pelantun gangnam style, terlihat mengobrol dengan seorang perempuan cantik berpakaian serba ketat, membuat lekukkan pada tubuhnya menonjol dan sedap dipandang, ia pasti rajin senam pilates. Sambil menyesap rokoknya dalam-dalam, ia dan lelaki itu tertawa memecah udara. Asyik sekali obrolan mereka.
Sepanjang jalan Gajah Mada, Mangga Besar, Kota, berdiri hotel-hotel berbagai level, tempat karaoke, diskotik, dan segambreng tempat hiburan lainnya. Mudah ditemukan perempuan-perempuan yang berdandan menor hingga classy apabila malam sudah jelang. Kuketahui jika mereka adalah bagian dari pekerja malam. Dari pemandu lagu, pelayan pub, hingga pelacur.
Sebetulnya, tak terlalu mengagetkan tentang semua hal itu. Praktik pelacuran diperkirakan sudah ada sejak VOC menguasai Batavia pada abad ke-17. Ketika itu masyarakat betawi menyebut pelacur sebagai sebutan cabo. Berasal dari bahasa China Caibo yang kurang lebih berarti wanita malam. Mulanya, praktik pelacuran memang banyak dijalankan oleh pendatang dari Tionghoa. Karenanya pula Pecenongan adanya di Mangga Besar.
Banyak yang mencibir dan tak sedikit juga yang menikmati praktik pelacuran dan perjudian di tempat ini. Aku sendiri mengenal beberapa dari mereka yang menggadaikan tubuhnya demi lembaran rupiah. Mereka berasal dari Subang, Indramayu, dan lazimnya dari pantura. Menjajakan tubuh seperti itu memang bukan hanya didasari kesulitan ekonomi. Dari yang kusaksikan, sungguh, kebanyakan dari mereka hanya tak sanggup menahan diri untuk mengikuti gaya hidup a la kelas menengah perkotaan.
Sesungguhnya, kebutuhan hidup di kampung halaman tidaklah serumit di perkotaan. Namun, tetap saja para penjaja tubuh ini tak bisa melepaskan gemerlapnya kehidupan perkotaan, ada prestige tertentu yang tersemat dalam dada ketika pulang kampung jika terlihat glamour di sana sini, dan secara tidak langsung kapitalisasi perkampungan pun ditransformasikan pada gaya hidup orang-orang kampung.
Tak peduli kampung itu sudah terakses Virtual Reality atau belum. Minimnya kesadaran pentingnya akan pendidikan membuat gelapnya peradaban manusia di kampung tersebut. Ironisnya, bisaku hanya meringis miris terhadap apa yang terjadi. Tak lebih dari itu. Seperti biasanya.
Sejarah mencatat bahwa mantan Gubernur DKI Jakarta periode 1966-1977, Ali Sadikin, pernah melegalkan lokalisasi dan perjudian di daerah Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Penghasilan pajak dari usaha perlendiran dan perjudian itu sebagian besar digunakan untuk membangun Jakarta.
Di antaranya adalah Gajah Mada, Kota Tua, Taman Impian Jaya Ancol, Taman Ismail Marzuki, Monas, Mangga Besar, dan masih banyak lagi. Dengan kata lain jalan-jalan di Jakarta dibangun dari hasil pelacuran dan perjudian.
Maka itu sungguh aneh kiranya jika kini bermunculan sekelompok orang yang berusaha setengah mati melakukan penolakan pada sejarah tempat itu. Lebih parahnya lagi mengatasnamakan agama untuk sebuah purifikasi nilai agar tempat tersebut dihilangkan begitu saja, ahistoris, mengentengkan sejarah seolah secetek orang-orang yang gemar bercerita hal-hal ghaib nan ajaib pada orang-orang yang menggemarinya pula, untuk tidak mengatakan kemunafikan yang terorganisir. Mengherankan memang.
Walaupun pada akhirnya Kramat Tunggak dibubarkan oleh Gubernur DKI selanjutnya, Sutiyoso, pada 1999 yang mengubahnya menjadi Islamic Centre. Biar begitu, seperti yang kita lihat saat ini, kini, di sini, sekalipun dibubarkannya tempat bisnis perlendiran dan perjudian tetap saja usaha tersebut berjalan seperti biasa, hanya berpindah lokasi saja. Menyebar ke setiap titik. Hidup menghidupi di sepanjang jalan tersebut. Ada yang terbuka dan tak sedikit juga yang tertutup. Maka demikian sejak abad 17 bisnis perlendiran dan perjudian di Jakarta hingga Donald Trump sekarang menjadi presiden pun tetaplah jaya!
You might also like
More from Bermain
Mainan Tradisional Jaman Dulu: Warisan Budaya yang Membangkitkan Nostalgia
Mainan Tradisional Jaman Dulu: Warisan Budaya yang Membangkitkan Nostalgia Mainan tradisional jaman dulu memiliki pesona tersendiri yang membedakannya dari mainan modern. …
Mainan Jaman Dulu yang Terlupakan
Mainan Jaman Dulu yang Terlupakan Di sudut-sudut desa dan lorong-lorong kota, masih tersimpan kenangan tentang mainan jaman dulu yang kini mulai …
Nostalgia dan Dinamika Suara Radio Elshinta Jakarta
Nostalgia dan Dinamika Suara Radio Elshinta Jakarta Awal Mula Elshinta: Melodi dan Berita di Udara Jakarta Radio Elshinta resmi diluncurkan pada 14 …