Barangkali benar adanya ketika seorang sastrawan termasyhur berkata bahwa “Kata adalah lembaga komunikasi yang paling susah dipegang, bobrok dan busyet. Bahasa mungkin merupakaan ciptaan manusia yang paling punya banyak masalah.” Dan memang begitu, saya pikir, inilah yang melatari peristiwa di mana Dodit kecil meminta saya kembali bercerita tentang satu diksi baru yang ia temui dan tidak dimengerti maknanya.
“Paman, bisa jelaskan ironi itu apa?” Tanya Dodit kecil ketika ia hendak saya antar berangkat sekolah.
Pertanyaan itu memang terdengar aneh andaikata si penanya itu sudah dewasa, namun terasa tak biasa ketika seorang siswa kelas lima sekolah dasar yang menanyakannya. Maklum saja, selain perbendaharaan kata mereka terbatas, kosakata anak-anak pun masih dalam tahap pengawasan orang tua. Tapi, barangkali tidak semua orang tua menerapkannya, kadangkala saya pernah mendengar anak-anak seusia Dodit kecil ini berkata “kontol” di tengah percakapannya. Gila. Mungkin bagi orangtua-orangtua lain ini terdengar tabu, namun bagi saya kejadian ini tentu tidak mengherankan. Menurut saya anak itu seumpama burung beo, saat anda berkata “bangsat”, “asu”, dan “jancuk” sekalipun burung beo itu tentu akan menirukannya, tanpa perlu tau maknanya apa.
Oh ya, saya jadi ingat lelucon masa kecil dulu, mungkin sebagian dari anda pun pernah mendengarnya. Begini:
Diceritakan bahwa seorang anak baru saja mendapat kosakata baru (kontol) entah darimana. Dengan sikap polos yang bukan main ia pun tak ragu untuk menanyakan hal itu kepada sang ibu, sontak sang ibu kaget bukan main, tapi dengan alasan yang tidak masuk akal pun sang ibu menjawab “itu artinya tongkat nak.” (Saya sebetulnya ingin menanyakan alasan sang ibu yang sangat tidak masuk akal ini, namun bagimanapun untuk ukuran seorang anak, lelucon itu masuk akal saja, maklum, di masa kanak-kanak saya tak perlu repot-repot memikirkan tentang rasional, logika makna, dan lain sebagainya). Mendapat jawaban dari sang Ibu tak serta merta membuat si anak percaya, ia pun kembali menanyakannya pada seorang penjaga warung mainan, “Bang Jono, apa benar kontol itu artinya tongkat?” Mendengar itu sang pedagang mainan pun terlihat heran sekaligus berusaha menahan tawa, namun ia malah balik bertanya pada sang anak dari mana hendak ia mengetahui hal tersebut, sang anak pun menjawab bahwa jawaban itu ia dengar dari sang ibunda, mendengar itu si tukang mainan turut mengiyakan.
Pada suatu malam, sang anak pun disuruh memanggil Pak Dayat –seorang tukang urut langganan yang sudah buta agar hendak ke rumahnya– oleh sang ibu untuk mengurut sang ayah. Selang beberapa menit setelah anak itu keluar, ia kembali lagi dengan nafas terengah-engah seolah baru saja melarikan diri dari kejaran binatang buas dan berkata “Bu! Tolong Pak Dayat, kontol Pak Dayat jatuh.”
Nah, gila betul kan bahasa? Dalam pengertiannya, saat seorang telah mencapai sepakat bahwa suatu kata mewakili pemaknaan dari benda atau hal lain, dalam sekejap bahasa bisa telah tercipta. Contohnya begini, semisal anda dan teman anda bersepakat kalau diksi “cekras” itu berarti ibadah, otomatis jika anda berkata “Ayo cekras!” pasti teman ada akan mengerti bahwa anda mengajaknya beribadah. Gila bukan? Gampang sekali bahasa itu dibuat.
Karena terlalu lama berpikir saya jadi lupa bahwa saya sudah harus menyetir mobil untuk mengantar Dodit kecil pagi ini. Pertanyaan dari Dodit Kecil juga tidak langsung saya jawab, saya berjanji akan menjawabnya di sela perjalanan kami menuju sekolah.
Oh ya, saya lupa memberi tahu anda tentang kebiasaan saya dan Dodit Kecil. Jadi, Dodit adalah tipe anak yang lebih suka penjabaran via cerita dengan diakhiri kesimpulan, kesimpulan itu biasanya ia buat terlebih dahulu dan saya akan menambahkan atau membenarkan jika ia keliru. Saya juga sudah ia anggap sebagai tukang cerita olehnya. Maklum saja, orang tua Dodit (yang tak lain adalah adik saya) selalu sibuk bekerja. Selain itu, ketimbang saya murung setelah kehilangan seorang istri dan pensiun dari pekerjaan, lebih baik saya beralih profesi menjadi pencerita, dan Dodit kecil inilah satu-satunya pendengar cerita-cerita saya.
Setelah kami berdua masuk mobil dan saya mulai menyalakan mesin dan hendak mengemudi, sayapun memulai cerita:Dahulu kira-kira pada tahun 2016 waktu saya masih kuliah, saya pernah menghadiri acara sastra di Taman Ismail Izrail, Cikini. Acara itu di helat untuk mengenang sang penyair besar Indonesia di abad 20 yakni WS Mandra. Waktu itu khalayak bukan main ramainya, penontonnya barangkali seperti penonton konser musik akbar, luar biasa meriahnya. Lalu di tengah kemeriahan itu saya tiba-tiba saja flashback, saya ingat dua tahun lalu, di acara serupa, jangankan penonton, panggungnya saja dibuat alakadarnya (panggungnya dibuat hanya dengan alas di depan galeri cipta). Saya jadi heran, mengapa baru pada tahun itu WS Mandra kembali digandrungi oleh orang banyak. Memang, ketika kita bicara puisi di medio 2000-2010 siapa yang bakal menjadi tandem atau lawan bicara, paling orangnya sama-sama saja, kalau bukan orang-orang yang bergiat di dunia seni teater, ya paling mahasiswa sastra.
Di toko buku pada masa itu pun sama, buku motivasi lebih digandrungi ketimbang kumpulan puisi. Apalagi WS Mandra yang sudah mati beberapa dekade lalu. Oh ya, kita akan kembali ke tempat di mana saya mengahadiri acara itu.
Karena terlalu banyak orang yang hadir saya pun dibuat bingung mencari tempat yang nyaman untuk menikmati acara tersebut, akhirnya tanpa pikir panjang, saya dan teman saya (yang turut hadir) merangsek masuk menempati sisi kiri panggung. Kedatangan saya disambut dengan seorang wanita yang sedang membacakan puisi karangan WS Mandra berjudul “Nyanyian Bebek”. Saya menikmati acara itu dengan ajek, awalnya. Namun, saat saya tengah fokus menyaksikan penuturan seorang tokoh tentang kesaksian semasa hidupnya bersama penyair Mandra, tiba-tiba terdengar suara tawa dari pengunjung lain yang berdiri di sisi kanan saya. Dalam hemat saya, inilah bagian terpenting, tentang kesaksian-kesaksian yang tidak tertulis dari mantan rekan-rekan maupun sahabat dari penyair Mandra. Edan mereka itu, untuk apa mereka datang ke sini, pikir saya.
Tidak sampai di situ, pengunjung-pengunjung lain pun bertindak serupa dengan pengunjung yang di sebelah kanan saya, mereka asik dengan percakapan mereka sendiri. (Sebetulnya saya ingin sekali berkata kasar saat menuturkan cerita ini, namun karena Dodit kecil yang mendengar, jadi kata-kata kasar itu lebih baik saya tahan dan saya katakan dalam hati saja).
Saat itu saya tetap berusaha fokus, sialnya mereka malah semakin tak ragu dalam tertawa (goblok! gumam saya dalam hati.) Sayapun memandang ke arah teman saya yang hadir, ia hanya geleng-geleng kepala. Namun, saat seorang dramawan terkenal yakni Joze Rizal Menua naik panggung dan membacakan puisi karangan Mandra, tiba-tiba penonton kembali khidmat. Tak lama kemudian acara selesai dengan penampilan musikalisasi puisi sebagai penutup. Saat itu saya dan teman saya beranjak meninggalkan tempat itu, namun tidak untuk pulang, kami nongkrong terlebih dulu di tempat biasa dengan kopi sebagai pemanis, kebetulan lokasinya masih di bilangan Taman Ismail Izrail juga.
Dan tak saya sangka, tempat yang saya tuju pun tidak kalah ramainya. Pengunjung lain juga sepertinya tidak langsung pulang dan turut ketempat yang saya tuju itu. Dan kau tahu, di tengah-tengah mereka yang sibuk makan, ngopi, ngobrol dan semacamnya, ada penampakan yang ganjil. Ya, seseorang terlihat sedang ngamen, namun dengan cara membacakan puisi. Puisinya pun saya kenal, puisi itu berjudul “Khotbah” karya WS Mandra.
Di saat teman saya asyik dengan gawai miliknya, fokus saya beralih kepada sang pengamen yang bisa dibilang tengah mempertontonkan dramatic reading dalam pembacaan puisinya. Saya menyimaknya dalam-dalam sembari membakar sigaret, dan beberapa sesap kopi. Kau tahu, para penonton yang tadi hadir dalam acara mengenang penyair Mandra itu, yang mungkin datang jauh-jauh untuk mendengar sebuah memoir sang penyair besar, yang sudah pasti di dalamnya terdapat pembacaan sajak-sajak, tak satupun dari mereka memperhatikan sang pengamen itu. Gila bukan? Yang memberi uangpun hanya lewat tanpa sedikitpun menikmati pembacaan puisi dari sang pengamen.
Coba kau pikirkan, apakah yang berbeda dari keduanya, toh dalam acara tadi tetap ada pembacaan puisi. apalagi ketika Joze Rizal Menua membacakannya. Mereka tampak khidmat dan memperhatikan beliau. Namun yang saya dapati di tempat saya ini, kenapa malah sebaliknya.
“Paman, sepertinya Paman telah melewati sekolahku,” sergah Dodit sembari menunjuk k ebelakang. “Waduh,” kata saya spontan. Jika saya melanjutkan perjalanan, arah putar baliknya cukup jauh dan kondisi lalu-lintas pun macet, daripada Dodit telat, akhirnya saya memutuskan untuk meminggirkan kendaraan dan menurunkannya.
“Aduh, maaf, saya keasyikan bercerita, ya.”
“Tidak apa-apa Paman. Memang biasanya begitu.”
“Oh iya, sepertinya kau tidak memiliki cukup waktu untuk membuat kesimpulan.” Doditpun hendak memberikan tangan kecilnya untuk salam dan pamit, lalu ia pun membuka pintu, “saya berangkat dulu ya paman,” katanya tanpa membalas pertanyaan saya. Namun sebelum ia benar-benar menutup pintu, saya pun memotong.
“Dit,” kata saya yang membuat ia menoleh. “Singkatnya, kau bertemu dengan kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan. Semisal sesuatu yang seharusnya terjadi, tetapi malah yang kau dapati itu yang sebaliknya, begitulah ironi.” Ia menganguk tersenyum sembari menutup pintu mobil dan bergegas masuk sekolah.
Ah iya, Sepertinya saya lupa memberitahu anda darimana Dodit kecil mendapat kata ironi yang ia tanyakan itu. Itupun baru saya ketahui setelah ia pulang sekolah, katanya kata itu terdapat dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia miliknya, “Kata itu kudapat dari puisi karya Aan Manjur Paman.”
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …