“Above all, menurutku, it is not a bad movie, it is just a boring, boring, and once again, boring movie.”
***
Jika kamu menaruh ekspektasi yang tinggi terhadap film Murder on the Orient Express (MOTOE) garapan Kenneth Branagh yang saat ini tengah tayang di bioskop maka bersiap-siaplah untuk kecewa, film ini tidak akan memberimu kerutan kening, kejutan tak terduga atau sejenis momen yang akan membuatmu berteriak WOW (tentu saja kamu berhak menolak pendapatku ini. Bagiku film ini biasa saja, bahkan dengan sangat menyesal harus kukatakan: film ini membosankan!
Itu yang kurasakan saat menontonnya di bioskop pada Jumat (01/12) pukul 14.45 WIB. Selama hampir 10 tahun menonton film di bioskop, baru kali ini aku tertidur di saat film sedang diputar, sungguh sebuah rekor pribadi. Barangkali, jika saja tidak ada fragmen yang membuatku terjaga menjelang akhir cerita, aku akan terbangun tepat pada saat petugas bioskop mempersilahkan penonton keluar dari pintu bercahaya di sebelah kiri layar.
BACA JUGA: Orient Express: Dari Novel hingga Layar Lebar
Tapi beruntunglah, meskipun membosankan film ini jujur aku nilai amat sangat layak ditonton, terutama jika anda penggemar aktor-aktris kelas atas yang berperan di film ini: akting mereka tidak perlu diragukan lagi, Branagh sebagai sutradara berhasil dalam hal ini. Juga, jika kamu adalah pecinta film dengan plot yang lambat, shot-shot yang memanjakan mata, atau jika kamu menyukai pembicaraan-pembicaraan, maka ini tepat buat kamu tonton. Kecuali jika kamu menyukai film detektif dengan plot yang cepat dan mendebar-debar ala Sherlock Holmes garapan Guy Ritchie, ini bukan film yang cocok untukmu.
Hal lain yang menarik adalah garapan setting kereta yang mewah, klasik dan indah. Penonton disuguhi kompartemen unik, tatanan meja nan apik, pernak-pernik kereta yang menggoda, tentu saja pemandangan di luar kereta yang dingin nan syahdu di sepanjang jalur kereta Orient Express yang berangkat dari Istanbul, Turki dan berakhir di London, Inggris di tengah-tengah musim dingin, Winter.
Namun, jika kamu berniat menontonnya, maka saranku perhatikanlah hanya 3 fragmen ini: 15 menit awal, 15 menit akhir dan 5 menit pasca film selesai. Iya, di 5 menit itu kamu akan mendengar lagu orisinil yang syahdu berjudul “Never Forget” yang dinyanyikan oleh Michelle Pfeiffer, yang juga ikut bermain di film. Jika filmnya tidak mengesankan, soundtrack-nya cukup membuatku tertegun sejenak sebelum kemudian mencoba mencari tahu, mendengarkan, dan menikmatinya di waktu luang.
***
Rasanya tak adil jika ulasan ini tidak menceritakan plotnya. Maka beginilah ceritanya:
“Seorang anak lelaki berpeci putih tampak berlari dalam ketergesaan di bawah langit Jerusalem. Ia memegangi sebuah kotak, melintasi dengung ratapan para pendoa di Dinding Ratapan yang mengharukan. Tak lama kemudian ia menaiki tangga, berlari dengan keceriaan khas anak-anak di antara gedung-gedung berbatu di kota suci tiga agama itu dan saat mencapai tempat tujuannya ia menyerahkan kotak itu yang ternyata berisi dua butir telur.
Segera, lelaki yang menerima limpahan kotak itu berteriak 4 menit lalu mengambil telurnya, merebus dan menyajikannya ke hadapan seorang lelaki tua — yang tentu saja bilang : No!
Maka si bocah mengulangi perjalanan yang sama, kembali berlari, mendengar dengungan, menaiki anak tangga, menyerahkan dan ikut menyaksikan saat telur direbus, disajikan kembali, iya, 4 menit. Itu kuncinya. Dan kali ini si lelaki tua, sang detektif yang mendapuk dirinya the best detective in the world itu menerimanya. Telur ini tidak sempurna, tidak sama tinggi dan lebarnya, tapi begitulah telur, ia mengagumkan. Begitu katanya.
Dan, Hercule Poirot pun segera melakukan tugasnya: menyibak kasus pencurian relik yang hilang. Yang jika tidak dilakukannya dengan benar dan adil maka perselisihan antara penganut tiga agama akan terjadi karena tertuduhnya adalah seorang Imam dari kalangan muslim, Rabi dari Yahudi dan Pendeta dari Kristen. Begitu kata Kepala Polisi Jerusalem yang menyewa jasanya.
Ia pun memanggil ketiga tersangka, menjajarkan mereka berdiri di bawah tembok ratapan, dengan tanpa babibu menancapkan gagang tongkatnya di celah dinding, meminta penjagaan ketat di sebelah selatan dan kemudian mengungkapkan bahwa tidak mungkin orang-orang suci itu pelakunya, mereka baik, taat, dan sederhana. Ia menunjuk kepala polisi sebagai tertuduh, mengeluarkan bukti barang curian yang didapatkan di tas sang kepala polisi yang kemudian berlari ke arah selatan yang dijaga petugas tadi, karena terdesak ia berbalik badan dan terjatuh tepat saat mukanya menabrak tongkat yang tadi ditancapkannya itu. Sebuah impresi yang lumayan di 15 menit pertama.”
***
Menonton bagian pertengahan film ini mengingatkanku pada pertandingan Liverpool vs Manchester United tanggal 14 Oktober lalu. Pertandingan besar yang dimainkan di Anfield itu berakhir seri, nil-nil, nol-nol, nul-nul-tanpa satu gol pun tercipta- dan yang lebih mengenaskan dan menyesakkan, sebuah pertandingan big match yang digadang-gadang menarik, dipenuhi jual-beli serangan, gocekan maestro bola kelas dunia, atau umpan-umpan cantik dan tipa-tipu penyerang di depan gawang ternyata berjalan dan berakhir sangat membosankan. Bola hanya berputar-putar tanpa hasrat dan keinginan yang jelas untuk mengoyak gawang salah satu kesebelasan. Ia bagai bermain dengan dirinya sendiri.
Siapa sangka, pemain bola kelas wahid seperti Mkhitaryan, Martial, Young, Matic, Herrera, Lukaku di skuat MU, dan penyihir kecil Coutinho, Henderson, Firmino, dan Salah di barisan Liverpool tak bisa mengeluarkan magisnya. Atau barangkali, magis masing-masing terlalu kuat dan saling menyerap magis pihak lawan sehingga keseimbangan kekuatannya menihilkan magisnya permainan bola itu sendiri.
Dan Mou, oh Mourinho, dan kau Klopp, kurang hebatkah para pemain sehingga mereka seperti robot yang bertarung dengan angin. Kosong. Mengejar angin, Terkadang diburu angin. Kering tanpa imajinasi. Barangkali jika ada yang bikin polling permainan bola paling membosankan abad ini, Liverpool vs United tanggal 10 Oktober itu yang akan kupilih.
Benneth Branagh tentu bukan Mou atau Klopp. Ia bukan hanya seorang manajer, ia juga pemain-tidak seperti Mou. Ia sutradara sekaligus aktor. Barangkali hanya Sir Alex Ferguson yang setara dengannya — bukan hanya dalam pencapaian prestasi, tapi kepemilikan gelar Sir yang mengawali nama keduanya.
Ia adalah penerima 5 nominasi Academy Award, yang pertama di kategori yang berbeda. Filmnya tak terhitung jumlahnya, kadang sukses dan kadang gagal, seperti Sir Alex yang kadangkala juara lalu tahun berikutnya tanpa trophy satu pun. Tapi itulah hidup, itulah sepakbola dan itulah film. Tapi kita cukupkan bicara tentangnya. Mari kembali fokus, bahwa ia dalam film ini seperti Mou, pelatih yang kini memegang posisi Sir Alex, ia dibekali aktor-aktris kelas wahid, namun gagal menyajikan tontonan yang menarik dan menghibur. Maka mohon maaf saja jika film MOTOE garapannya bagaikan Manchester United di bawah Mou: membosankan, membosankan, dan sekali lagi, membosankan!
Walaupun harus jujur juga kukatakan bahwa Mou adalah pelatih favoritku sejak ia melatih Chelsea, Inter Milan, Madrid, kembali ke Chelsea dan sekarang Manchester United. Kebosanan tetaplah sebuah kebosanan, coach!
***
Setelah menyelesaikan kasus di Jerusalem, Hercule Poirot dipanggil untuk kembali ke Inggris. Singkatnya, berkat bantuan Bouc, temannya yang merupakan direktur bisnis The Orient Express, berangkatlah ia menumpang kereta, yang di dunia nyata benar-benar ada namun sudah berhenti beroperasi sejak 14 Desember 2009 lalu, dengan diiringi lambaian penduduk Istanbul di pinggir-pinggir jalur kereta, di atap-atap gedung; saat kereta berbahan bakar batubara dengan asapnya yang tebal dan suaranya yang nyaring meraung-raung itu pelan merambati punggung kota tua penuh sejarah itu, melintasi banyak tempat yang menyimpan kisah-kisah sejarah, memunggungi masjid-masjid agung, membelah di antara dua menaranya, berlari di pinggir selat yang tak lagi ramai oleh kapal-kapal dan kemudian karena musim dingin yang megah membuatnya tertambat saat salju yang baik menghadang perjalanan kereta, di wilayah yang jauh, di antara gunung-gunung dan di atas jembatan.
Barangkali, jika bukan karena kematian Ratchett yang dibunuh di kompartemennya dengan meningggalkan bukti-bukti yang banyak dan acak, dan barangkali jika bukan Bouc yang meminta, dan barangkali jika bukan karena Kolonel Amstrong yang pernah menyuratinya sewaktu masih hidup, bertutur tentang kisahnya, meminta bantuannya namun belum sempat dibalas yang membuatnya menyesal– barangkali jika bukan karena semua itu, iya, barangkali ia akan hanya terdiam, menikmati pagi dan senja yang muram di samping kereta di atas salju memandangi foto Katherine Grey yang lusuh dan selalu dibawanya kemanapun.
Tetapi kematian Ratchett (diperankan Johny Depp dengan hambar), yang kemudian ternyata bernama aseli Rassetti, pembunuh Daisy, anak dari Armstrong dan istrinya Sonia membuat Poirot harus menggunakan sel-sel abu di kepalanya untuk merangkai fakta dan bukti, mencari motif dan pelaku pembunuhan. Dan, sepanjang cerita yang membosankan itulah aku tertidur.
Tapi, walaupun tidur aku masih bisa menyaksikan satu persatu saat Poirot menginterogasi para penumpang, berkonflik dengan Arbuthnot, membongkar penyamaran sang professor gadungan hanya karena salah aksen saat menyebut Turin, terlibat masalah dengan dua sejoli pemarah-possesif, dan hingga ditikamnya Hubbard di bagian pundak belakang — yang ternyata bagian dari skenario untuk menyamarkan pelaku — aku sengaja tidak menceritakan detil, silakan baca di ulasan lain yang bertebaran di eyang Gugel– semuanya kulewati dengan mata terpejam atau antara buka-tutup dengan enggan.
Pada akhirnya, kecerdasan the best detective in the world ini kembali menunjukkan tajinya. Secara perlahan, setelah Poirot membuka penyamaran dari para penumpang maka cerita mulai menemui titik terang, iya. Ternyata, semuanya memiliki hubungan personal dengan Kolonel Armstrong: ibunya, anak pengacara kasusnya, detektif yang jatuh cinta dengan istrinya, dokter yang berhutang budi padanya, para pekerjanya, bahkan adiknya Sonia, dan tokoh lain yang semua menderita karena kematian Daissy, kematian Sonia, dan bunuh diri Armstrong karena tak kuasa menanggung derita– bertekad menuntut balas dan bekerjasama merencanakan pembunuhan Rassetti, dengan peran masing-masing, bahkan tiap pemeran menusukkan pisau ke tubuh Rassetti dengan dingin bak perayaan, gotong-royong dalam pelampiasan dendam.
Pada titik itulah prinsip Poirot diuji, akankah ia tetap memeganginya bahwa penjahat harus dihukum agar keseimbangan tercipta lagi, pembunuh harus diproses di pengadilan, tapi mereka semua adalah korban dari penderitaan– layakkah mereka mendapat kesempatan kedua?
***
Barangkali, jika kamu menonton dengan istrimu atau jika kamu seorang istri yang menonton dengan suami dan di pangkuanmu atau di kursi sebelah kiri dan kanan ada anak kecil yang kalian bawa, maka saranku keluarlah di 10 atau 20 menit sebelum film berakhir. Tentu saja, bukan karena endingnya tidak menarik, justru sangat menarik, tapi barangkali –jika kamu teliti barangkali kamu bosan dengan kata barangkali yang dituliskan berulang-ulang– ini akan menyelamatkanmu dari pertanyaan berbahaya yang keluar dari bibir kecilnya yang lugu.
“Mengapa para pembunuh itu dibiarkan, tidak dihukum? detektif itu kenapa berbohong? jadi aku boleh membunuh? nanti aku dibebaskan seperti mereka kan, ayah, bu?”
Lalu, sebelum bibirmu mampu bergerak untuk menjawab, telingamu menangkap lantunan nada dan suara indah Michelle Pfeiffer menyapamu dengan lembut.
“Please
Will you come home? Will you stay with me?
Say you’ll laugh, say you’ll understand
Say you’ll dance with me
Say you’ll smile that silly smile for me
Say you’ll hold me in your arms so sweet
Will you come home? Will you come home to me?
Home, my love.”
Tepat saat itulah pintu bercahaya yang letaknya di sebelah kiri layar akan terbuka, para malaikat penjaga akan menyelamatkanmu dari pertanyaan maha sulit yang barangkali seorang Branagh dan Mourinho pun tak mampu menjawab dengan meyakinkan.
Iya, sebab, barangkali, yang mampu menjawab hanya Agatha Christie — kita ada di dunia fiksinya, bukan realitas. Sadarlah!
You might also like
More from Tontonan
Sinopsis Sokola Rimba
Sinopsis Sokola Rimba Film "Sokola Rimba" merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang wanita bernama Butet Manurung yang didedikasikan untuk memberikan pendidikan …
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …
Analisis Ending Film The Commuter
Analisis Ending Film The Commuter "The Commuter," sebuah film thriller yang dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan yang penuh …