Puasa yang identik dengan menahan diri (lapar dan dahaga) merupakan pesan moral agar seseorang beranggapan dalam harta kita ada keringat orang lain
Tidak terasa puasa Ramadan telah berakhir. Tak heran jika banyak orang berharap ada perubahan dalam dirinya setelah sebulan berpuasa. Harapan itu tentu tidak berlebihan sebab ditinjau dari aspek teologi hingga antropologi agama, tujuan akhir berpuasa tidak lain adalah terjadinya perubahan.
Maka khatib dan ustaz seringkali menyampaikan bahwa sebulan berpuasa akan melahirkan manusia baru, yakni manusia yang lebih mengedepankan perilaku religius sekaligus merawat moralitas. Manusia baru tak membedakan sebelas bulan pascaramadan dan Ramadan itu sendiri. Roh Ramadan terus membimbingnya pada sebelas bulan lainnya.
Puasa yang identik dengan menahan diri (lapar dan dahaga) merupakan pesan moral agar seseorang beranggapan dalam harta kita ada keringat orang lain. Setumpuk harta yang dikumpulkan bukan hanya untuk kepentingan pribadi, di sana ada bagian dari orang miskin. Selain itu, mengendalikan hawa nafsu saat berpuasa juga akan membangun kesucian hati dan pikiran. Dalam taraf itu, seseorang akan bertindak berdasarkan kesucian hati dan mengupayakan cara-cara halal.
Manusia baru setelah puasa bisa ditelaah dengan teori liminalitas Victor Turner, seorang antropologi sosial. Turner meletakkan liminalitas sebagai aspek penting yang ada dalam sebuah ritual. Liminalitas dipahami sebagai tahap atau periode waktu di mana subyek ritual mengalami keadaan ambigu. Acapkali juga diartikan sebagai peralihan dan bersifat transisi.
Liminalitas memberikan kesempatan kepada orang untuk mengalami pengalaman dasar sebagai manusia di mana kesadaran akan eksistensi sebagai manusia meningkat. Juga memberi kesempatan kepada subyek ritual untuk merefleksi ajaran yang telah didapati. Lewat refleksi ini diharapkan ia dibentuk menjadi anggota masyarakat yang baru karena ada perubahan baik pandangan maupun kedudukannya.
Di dalam The Ritual Process, Turner menyebutkan, semua ritual melewati tiga tahap: separasi, liminal, dan reintegration. Meminjam konsep Turner ini, hakikatnya puasa melewati tiga tahapan. Pada tahap separasi, subyek ritual meloncat dari alam profan ke dunia sakral. Tahap liminal diartikan suatu fase di mana subyek ritual mengalami keadaan yang lain dengan dunia fenomenal. Dalam tahap ini berlaku antistruktur, di mana dalam dunia fenomenal manusia dibedakan oleh struktur. Dalam keseharian seorang pejabat dan rakyat biasa jelas berbeda struktur. Namun, saat melaksanakan ibadah puasa, pembatas struktur tak berlaku.
Kemudian saat beramai-ramai merayakan kemenangan Idulfitri merupakan tahap reintegration. Setelah mengalami penyadaran diri dan refleksi formatif, subyek ritual disatukan kembali dengan masyarakat sehari-hari. Namun, subyek ritual yang telah berpuasa mendapat nilai-nilai baru. Ia seolah menjelma menjadi manusia baru.
Dalam konteks ini, nilai-nilai baru dari proses liminalitas itu seharusnya berdampak positif bagi masyarakat. Esensi puasa bukan sekadar dimensi vertikal yang bakal lebih memahami hakikat dan makna ketuhanan, tetapi juga dimensi horizontal yang ditandai sejauh mana hasil ibadah itu mengalir kepada tetangga, kolega, kerabat, dan sanak saudara lainnya.
Justru saat masyarakat sedang menuju jurang kehancuran karena krisis moral, dimensi horizontal menjadi lebih bermakna. Betapa indahnya jika ”manusia baru” itu menularkan nilai-nilai baru yang tentu sarat bermuatan ajaran moral kepada sesamanya.
Manusia baru yang sehari-hari duduk di birokrasi akan menularkan nilai-nilai baru yang menyadarkan bahwa kleptokrasi merupakan sendi perusak bangsa dan agama. Manusia baru yang pengusaha akan mengingatkan bahwa main suap merupakan penyimpangan ajaran moral. Juga manusia baru yang menjadi anggota legislatif akan memberi contoh, mendahulukan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi merupakan nilai baru yang dipetik dari proses liminalitas itu.
Pun manusia baru dari kalangan pengguna media sosial. Ia tidak akan menjadi orang yang memproduksi informasi hoaks. Selain tidak menjadi produsen, juga bukan distributor dari berbagai informasi hoaks. Boleh jadi kita tidak memproduksi kebohongan, tapi bukan berarti kita sah menyebarluaskan kebohongan. Manusia baru akan senantiasa memetik nilai baru yang pada akhirnya pandai membedakan fakta dan hoaks.
Dimensi horizontal inilah lazim disebut kesalehan sosial. Mereka yang saleh adalah orang yang baik, unggul, dan mampu berbuat baik terhadap sesama serta memerbaiki lingkungan sekitar.
Hal tersebut menjadi penting, mengingat kini kehidupan masyarakat lebih didominasi corak solidaritas organis, meminjam istilah Emile Durkheim, di mana hubungan antarsesama lebih diorientasikan kepada vested of interest maka melalui ibadah puasa umat Islam dapat menarik tali hubungan sosial yang sudah kebablasan itu ke dalam koridor yang harmonis atas dasar persaudaraan yang ditandai dengan kemauan berbagi dengan kelompok yang lemah..
Alangkah indahnya jika kesalehan sosial itu kian menebal pascaramadan. Dari beberapa ciri saja bisa dibayangkan masyarakat yang terbangun dari ketebalan kesalehan sosial itu. Mereka paham aturan main sebenarnya sehingga hidup lebih disiplin dan tidak main terabas. Mereka paham makna kerja keras bukan bernafsu meraih kesenangan dengan cara secepatnya, korupsi misalnya.
Mereka menempatkan perbedaan sebagai landasan hidup harmonis, bukan pemicu konflik. Mari saling memaafkan, merajut kembali jiwa-jiwa yang terkoyak karena beda pilihan menuju rekonsiliasi yang fitri. Tidak ada lagi 01 dan 02. Yang ada adalah 03, yakni Persatuan Indonesia. Itulah ”manusia baru” yang diharapkan lahir pascaramadan.
You might also like
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …