Bukan Desember namanya kalau tidak hujan, ya hujan itu menyambut kami dengan riang gembira. Mobil Innova yang kami tumpangi berhenti di Simpang Granit. Salah satu daerah yang terletak di perbatasan antara kabupaten Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir.
Aku dan Uty bergegas mengambil tas sandang yang lumayan besar di bagasi belakang. Kami segera berteduh di warung pinggir jalan. Aku melihat arlojiku menunjukkan pukul 15.00 WIB.
“Bang, kita naik apalagi ini,” dengan kacamata dan wajahnya yang setengah polos, Uty tampaknya tidak khawatir.
“Kita berentiin aja mobil-mobil yang lewat siapa tahu ada yang mau kasih tumpangan.”
“Tapi hujan, Bang.” Jawabnya, lagi-lagi dengan polos, tapi memang masuk akal juga kami tidak mungkin berdiri di pinggir jalan dengan posisi hujan-hujanan.
“Ya sudah, Uty di sini saja. Biar abang yang berentiin mobil. Eh tapi, biasanya mobil-mobil kayak truk atau mobil pribadi gitu lebih gampang kasih tumpangan kalau cewek yang minta. Hahaha.”
“Kalau gitu kita bedua aja, Bang, tasnya kita titip di sini biar gak basah.”
“Oke.” Kami pun ke pinggir jalan raya sambil hujan-hujanan.
15 menit berlalu, tidak juga ada mobil yang memberi kami tumpangan. Akhirnya, kami memutuskan untuk berteduh di warung, karena hujannya mulai deras.
Kriiik kriiiikkk, setengah jam berlalu. Hujan belum juga reda. Uty duduk sambil mengepal dan meniup tangannya. Tampaknya dia kedinginan.
“Bang, Uty lapar.”
“Cemilan yang tadi abis?”
“Abis Bang, tadi Uty makan selama di perjalanan”. Bukan Uty namanya kalau tidak makan. Padahal perbekalan cemilan yang tadi dibawa rasanya itu hampir sama ukurannya dengan tas sandang yang kami bawa. Ya itulah wanita, selalu bercita-cita ingin kurus tapi tak bisa menahan nafsu makannya.
Satu jam berlalu, hujan pun reda. Kami kembali berdiri di pinggir jalan dengan tas sandang. Sebuah mobil omprengan modifikasi Elf berwarna merah marun dengan nomor polisi BM 134 LA yang sudah tidak layak pakai, berhenti di depan kami.
“Rengat, Bang?”, tanyaku
“Iya, naiklah, Dek.” Jawab, si sopir.
Tampak penumpangnya sudah memenuhi kursi, tersisa dua kursi paling belakang. Aku dan Uty di persilakan masuk. Uty duduk di samping jendela dan aku duduk di tengah. Tepat di samping kananku terdapat seorang lelaki paruh baya, berkumis tipis dengan kaus coklat.
“Darimana, Dek?”, tanya lelaki di sampingku.
“Jakarta, Pak.”
“Kok, kalian dari Simpang Granit?”, tanyanya, penuh heran.
“Tadi kami salah naik mobil, Pak,” jawabku, dengan nada malas menjelaskan karena sudah kesal dengan mobil Innova yang kami tumpangi tadi.
“Terus kalian mau kemana?”
“Rengat, Pak.”
“Orang Rengat, ya?”
“Tidak, Pak, kami mau ke Palang Tuha.”
“Siapa yang sakit, jauh betul kalian ke sini,” lelaki paruh baya itu bertanya sembari memandang Uty, mungkin di pikirannya Uty sedang sakit diguna-guna dan butuh dukun sakti.
“Tidak ada yang sakit, Pak. Kami mau penelitian, tugas dari kampus,” jelasku.
“Oh saya pikir, ada yang sakit. Hati-hati kalian, nanti tak bisa pulang.”
“Kok, gitu pak,” tanyaku seolah penuh penasaran, padahal aku sudah tahu jawabannya pasti sama saja dengan tanggapan orang lain.
“Iya, katanya, kalau sudah masuk kesana susah pulang.” Ini kebiasaan orang kita, selalu percaya dengan ‘katanya’ padahal belum tentu benar. Aku tidak takut dengan kalimat ini, aku yakin kalau belum dijalani, ya, mana kita tahu.
Kami pun tiba di Rengat tepat pukul 18.30 WIB. Sesuai dengan rencana kami menginap di salah satu penginapan yang ada di kota Rengat. Aku dan Uty mengambil dua buah kamar. Posisi penginapan kami tepat di depan Danau Raja. Danau kebanggaan masyarakat Indragiri Hulu. Aku tak tahu banyak sejarah danau ini, yang penting bagiku persiapan untuk besok berangkat ke Kec. Batang Gansal di mana tempat suku Palang Tuha berada.
Setelah makan malam di salah satu warung makan di pinggir jalan, aku dan Uty berdiskusi untuk persiapan besok. Hal pertama yang harus dilakukan adalah kami harus menghubungi rekanan yang sudah kami hubungi sejak di Jakarta. Namanya Lia aku kenal dengan Lia di salah satu komunitas seni. Dulu kami pernah gabung di salah satu pagelaran pertunjukkan yang ada di TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Lia menjanjikan untuk meminjamkan motornya agar bisa kami gunakan selama perjalanan menuju hutan Taman Nasional Bukit Tigabelas.
***
Pagi hari setelah sarapan, kami bergegas untuk berangkat. Motor yang dipinjamkan Lia sudah siap untuk dipakai. Aku dan Uty tidak sempat bicara banyak dengan Lia, karena kami harus mengejar waktu.
Motor Supra berwarna hitam ini meskipun sudah tampak tua, namun tetap kokoh. Aku dan Uty segera mengengkol. Barang yang kami bawa cukup banyak. Kami sudah mempersiapkannya jika tiba-tiba kami harus bermalam di sana.
Kami melewati tikungan-tikungan tajam dan jalan berkelak-kelok. Hari tampaknya menerima kami dengan gembira, matahari bersinar cerah. Aku berharap hari ini tidak turun hujan. Pemandangan kiri kanan terhampar pepohonan karet dan diselingi dengan pohon sawit. Udara hari ini rasanya segar. Sudah lama aku tidak menghirup udara sesegar ini. Maklum, hidup di Jakarta penuh dengan polusi.
Sekitar satu jam setengah perjalanan sudah kami tempuh, tibalah di kecamatan Batang Gansal. Aku bertanya di salah satu warung pinggir jalan.
“Permisi Pak, mau tanya. Kalau mau ke Desa Puah tempat yang ada orang Palang Tuha di mana ya, Pak?”
“Masuk saja ke dalam.” Sambil menunjukkan tangannya ke arah jalan yang ada di seberang warung. “Lurus saja jangan belok-belok, ikuti jalan. Sampai diujung ketemu rumah-rumah petakan yang bentuknya sama semua. Nanti baru tanya lagi di sana.”
Aku dan Uty langsung melanjutkan perjalanan. Sekitar 4 km telah kami lewati, jalanannya bagus karena sudah di aspal. Namun, setelahnya kami menempuh jalanan tanah kuning bercampur bebatuan. Di kiri dan kanan jalan berjejer pohon karet, beberapa pohon rambutan juga kulihat. Tampak buahnya yang ranum dan belum dipetik.
“Bang, itu rambutan sepertinya memanggil-manggil nama, Uty.” Guraunya. Aku tahu maksudnya Uty ingin makan buah itu.
“Husstt, bisaaa aeee….”
Sepertinya aku sudah melewati 2 km perjalanan dengan kondisi tanah kuning, saat ini tampak di depan jalanan yang rusak parah. Jalannya penuh dengan air seperti kubangan. Uty terpaksa harus bejalan, karena aku takut oleng dan terjatuh. Beberapa kali kami menemui jalanan seperti ini, dan lagi-lagi Uty harus turun.
Setelah melewati jalanan seperti kubangan itu kami tiba di perumahan warga. Sesuai dengan arahan yang kami terima melalui Mbah google, bahwa di sana ada pemandu yang siap mengantarkan kami ke perkampungan Palang Tuha. Pak Mahdi namanya, lelaki setengah baya dengan aksen melayu ini, sudah lama tinggal di sini. Setelah bercakap-cakap sebentar, kami pun melanjutkan perjalanan. Pak Mahdi menggunakan motornya dan berjalan menuju tempat kami berdiri.
Kami melewati jembatan panjang terbuat dari kayu yang sangat besar di belah dua. Kayu inilah yang menjadi jembatan dengan panjang sekitar 6 meter. Tinggi jembatan dari dasar sungai sekitar 7 meter. Cukup tinggi dan sedikit takut melihat ke bawah. Di bawahnya mengalir sungai dengan air yang jernih. Suara gemerisiknya membawa kesejukkan tersendiri.
“Bang, cium bau kentang rebus, gak?”, tanya Uty.
“Nggak, Ty. Uty lapar, ya?”
“Nggak Bang, tapi Uty cium bau kentang rebus.”
“Ah, itu halusinasi Uty aja. Uty pasti pengen makan kan.”
“Gak, Bang, beneran.” Aku tak menggubris, ku tahu anak yang tak bisa dibilang kurus ini pasti sedang menahan lapar dan mulai berhalusinasi. Maklum perutnya seperti karet bisa fleksibel kapanpun dan dimanapun.
Setelah melewati jembatan kayu kami melewati jalanan kecil yang ditumbuhi semak-semak. Di kiri dan kanannya terdapat beberapa pohon rambutan yang buahnya sudah memerah, serta ditambah aroma yang sudah tak asing lagi. Ya, apalagi kalau bukan buah durian. Aromanya yang khas menusuk hidungku. Aku melihat di kiri dan kanan banyak pohon durian sedang berbuah, tidak hanya itu ada juga pohon duku yang buahnya sudah cukup menguning. Buah-buah sepanjang jalan ini membuat kami tergiur. Aku sempat berpikir apa buah-buah di sini boleh diambil dan dimakan. Ah, aku coba menepis pikiranku jangan-jangan ketika aku makan malah nanti tidak bisa pulang.
“Bang, kok bau kentangnya makin tercium, ya.”
“Ty, ini bau duren. Noh durennya, bukan kentang,” sambil tangan kiriku menunjuk pohon duren yang ada di depan kami.
“Bener Bang, Uty bisa bedain kali bau kentang dengan bau duren.”
“Ya udah ntar kalau balik ke jakarta kita makan kentang sepuasnya di KAEFCEH.”
Setelah melewati jalanan dengan rumput yang panjang ternyata perjuangan kami belum berakhir. Kami harus melewati jalan setapak dengan motor yang akhirnya setengah kokoh ini. Tidak hanya setapak, tapi juga dilengkapi jurang yang terjal di kiri jalannya. Huufffhhh…, napasku mengehela panjang. Belum lagi bebanku tidak sedikit. Bagaimana tidak, motor ini membawa seorang wanita yang tidak bisa dibilang gemuk tapi cukup banyak lemaknya, ditambah lagi barang bawaan kami yang lumayan menyusahkan. Ketika melewati turunan aku berteriak dalam hati sambil menahan napas, takutnya masuk ke dalam jurang. Tidak lama kemudian “taaaak” suara keras dari rem kaki berbunyi. Aku hanya melirik sedikit. Aku merasa ada yang aneh dari rem ini, benar saja ternyata rem kaki patah. Oh My God, itu artinya untuk melewati jalanan turunan aku juga harus mengandalkan rem tangan, dan itu sangat berbahaya.
“Kenapa, bang?”, tanya Uty.
“Rem kaki patah, Ty.”
“Terus gimana, Bang?”
“Bisa sih jalan, tapi pake rem tambahan. Kaki abang harus ikutan nahan biar gak kegelincir.”
“Hati-hati, Bang, nanti turunan yang curam Uty jalan aja.”
Perjalanan tetap berlanjut, Uty tampaknya tidak takut dan dia bukan tipe orang yang suka mengeluh. Meski begitu tetap saja, beban yang kubawa semakin berat, ditambah dengan tidak adanya rem kaki.
Sekitar 20 menit perjalanan, kami tiba di sebuah rumah panggung di tengah hutan. Rumah tersebut terbuat dari kayu dan lumayan kokoh. Atapnya terbuat dari seng, dan di bawahnya tampak beberapa ekor anjing sedang berjaga-jaga. Halaman rumah tersebut terhampar rumput ilalang yang indah. Rumput-rumput ini seperti menyambut kami dengan suka cita, angin yang semilir seolah ikut tersenyum menyambut kedatangan kami. Di belakang rumah tampak jejeran bukit-bukit kecil yang tandus, tampaknya pohon-pohon di sini dibabat habis oleh seseorang untuk dijadikan lahan perkebunan. Sedangkan di depan rumah itu, juga berjejer pohon-pohon hutan yang tumbuh di atas bebukitan kecil. Indah, sejuk, dan asri itulah yang aku rasa.
Pak Mahdi memarkirkan motornya di bawah pohon akasia yang berada di depan rumah tersebut, disusul aku dan Uty dengan tas sandang kami masing-masing. Aku sempat melongok ke arah pintu rumah. Rumah itu tampak sepi dan tidak ada tanda penghuni di dalamnya. Rumah ini terdiri dari 1 pintu utama dan 3 jendela kayu berjejer, dengan bentuk rumah persegi 4, di depan pintu bertuliskan ‘LA’.
Pak Mahdi segera mempersilakan aku dan Uty untuk menuju sungai yang ada di depan rumah tersebut.
“Rumah suku Palang Tuha ada di balik bukit itu. Jadi kita harus menyusuri sungai ini untuk sampai ke sana, setelah itu baru kita sedikit mendaki.” Sambil menunjuk ke arah bukit yang ada di hulu sungai.
“Kita naik apa, Pak?”, tanya Uty.
“Kita naik rakit.”
Pak Mahdi turun ke sungai, ia mendorong rakit yang terbuat dari bambu itu ke bibir sungai.
“Pelan-pelan,” sambil Pak Mahdi memegang bambu sebagai kayuh.
Uty naik duluan ke rakit disusul aku.
Air sungai ini begitu jernih, ikan-ikan kecil terlihat melintas di bawah rakit kami. Sementara Pak Mahdi terus mendorong rakit dengan kayuh bambunya. Aku dan Uty berdiri memposisikan badan agar seimbang. Terasa di sepatuku, basah terkena air sungai yang masuk dari sela-sela rakit bambu. Airnya sejuk sekali, ingin rasanya aku melompat dan berenang.
Tiba di hulu sungai Pak Mahdi mempersilakan kami turun. Setelah pak Mahdi mengikat rakitnya di bibir sungai, aku dan Uty diminta untuk berjalan di belakangnya. Di bibir sungai ini tampak ada satu pohon besar yang dipaku sebuah papan bertuliskan TNBT 131.202 la. Aku sempat bertanya dalam hati ini pasti menunjukkan ukuran hutan TNBT, tapi kenapa belakangnya ‘la’ Bukan ‘Ha’, ah mungkin tulisannya memudar jadi huruf ‘H’-nya menyerupai huruf ‘l’.
Hutan di sini begitu indah, pepohonannya rindang dan asri. Sayup-sayup aku mendengar suara binatang hutan seperti kera dan burung.
Jalan yang kami lewati berupa jalan setapak dan mendaki. Akar-akar pohon tampak berjejer sepanjang pendakian. Sepanjang jalan Uty beberapa kali berhenti. Dia tampak lelah mendaki dan meminta untuk istirahat sebentar dan minum air.
Sekitar sepuluh menit kami mendaki, Pak Mahdi masih jalan dengan posisi di depan kami, diikuti Uty dan aku di belakang. Jalanannya memang agak sedikit licin karena habis hujan, kami harus super hati-hati.
“Bang, abang idungnya masih tersumbat, ya?”, sambil berjalan memegang dahan-dahan kecil sebagai penopang
“Maksudnya?”, tanyaku heran. Karena perasaan alergiku dinginku sedang tidak kambuh, jadi hidungku rasanya normal saja mencium bau.
“Uty cium bau kentang rebus, Bang.”
“Hmmmm…, mulai dah berhalusinasi faktor perut lapar. Abang ciumnya bau kentut Ty, abang kebelet boker. Hahahaaa.”
“Ihh joroook.”
“Hahaha, habisnya dari kemarin belum boker, Ty. Tapi kayaknya masih bisa ditahan sampai besok. Haha!”
Tiba di puncak bukit, kami berhenti lagi sejenak. Dari atas bukit tampak di bawah sana atap-atap rumah berjejer rapi. Pak Mahdi menunjuk ke arah bawah.
“Itu rumahnya, sedikit lagi sampai.”
Dari atas sayup-sayup terdengar lolongan anjing. Sepertinya anjing-anjing ini tahu bahwa akan ada tamu yang datang.
“Bang, Uty takut sama anjing”
“Udah Uty pura-pura gak tahu aja. Ingat kita jaga sikap.”
Beberapa menit kemudian kami tiba di halaman perkampungan warga suku Palang Tuha. Anjing-anjing di sana seperti menyambut kami dengan ramah, meski taringnya yang panjang seperti tidak bersahabat. Beberapa anak kecil tampak berlarian ke arah kami, mereka hanya menggunakan celana dari kain yang diikat tanpa baju. Kemudian mereka mengambil posisi jongkok tepat di kanan dan kiri jalan. Mereka memperhatikan kami dengan tatapan tajam. Salah seorang anak menggerakkan dua buah jari telunjuk dan manisnya ke arah bibir. Awalnya aku tidak mengerti, kemudian diarahkan oleh Pak Mahdi agar kami memberikan rokok yang memang sudah aku persiapkan sebelumnya ketika berada di Rengat. Rokok-rokok itu pun aku bagikan ke mereka. Aku pikir mereka akan menghisapnya, namun disembunyikan dibalik kainnya. Aku juga masih belum mengerti apa maksud dari rokok yang disimpan itu, apakah nanti akan ia gunakan sendiri atau bagaimana.
Pak Mahdi menghampiri seorang anak laki-laki yang berdiri menghadap kami.
“Pak Abo di mana?”, tanyanya.
“Ambek pinang di sano, Pak,” (ambil pinang disana) sambil menunjuk ke arah timur.
“Panggil sebentar, ada orang datang,” pinta Pak Mahdi ke anak tersebut.
Kami menunggu di sebuah rumah yang terbuat dari kayu, atapnya terbuat dari daun enau yang sudah mengering. Lantainya terbuat dari susunan batang pohon pinang. Tangga rumah ini agak sedikit aneh. Tangganya berdiri tegak terikat pada sebatang pohon kecil yang ada di depan rumah. Jarak dari tangga ini sekitar 1 meter dari kaki lima rumah.
Tidak lama kemudian pak Abo datang. Ia tampak berjalan membawa sebilah parang. Ia memakai celana pendek coklat berwarna kusam tanpa pakaian. Ia menyapa kami dan meminta kami untuk menunggu sebentar.
Tangga yang berdiri tegak tadi dilepas ikatannya pada sebuah pohon, dan ketika dilepas tangga itu langsung jatuh dan merapat ke bibir kaki lima rumahnya. Ternyata fungsi tangga ini agar tidak ada binatang yang bisa naik ke rumah.
Beberapa menit kemudian pak Abo keluar dengan mamakai baju kaus berkerah dan celana yang lebih rapi. Tampaknya Pak Abo ingin agar tamunya merasa lebih nyaman. Dia mempersilakan kami untuk masuk.
Aku pun memperkenalkan diri dan menyatakan maksud kami datang ke tempat ini. Agak menjanggal sih ini, yang butuh data untuk penelitian siapa yang banyak ngomong siapa. Pasalnya si Uty takut, dia takut kalau salah ngomong dan sepertinya dia sudah kemakan mitos selama di perjalanan. Sesekali aku sempat melirik agar Uty menjelaskan apa yang ingin ia tanyakan. Tapi ia malah meminta agar aku saja yang bicara dan seolah-olah jadi jubir plus menganggap dirikulah yang sedang penelitian.
Pak Abo berdiri, dia mengambil sesuatu di sudut rumahnya.
“Ini lampu zaman kami dulu.” Dia memperlihatkan sebuah lampu yang terbuat dari anyaman bambu.
“Lampu ini dulu bahan bakarnya, damar.” Ia menjelaskan lagi bahwa damar itu batang pohon yang menjadi fosil, pengganti minyak.
“Sekarang zaman udah modern, kami tak lagi pakai damar,” tambahnya. “Kami sekarang pakai lampu colok pakai minyak tanah.”
Astaga, aku pikir zaman modern yang dia maksud adalah lampu dari tenaga surya atau lampu yang di-charge pakai baterai, ternyata lampu pelita yang terbuat dari botol kaca dan diisi dengan minyak tanah. Betapa jauh tertinggalnya mereka di sini. Di kota orang-orang menikmati penerangan listrik siang dan malam, minyak tanah hampir dilupakan malah mungkin telah punah. Bersambung….
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
3 Comments
akhirnya di post juga setelah lama nunggu, semoga chapter 3 nya segera di post yaaa saya semakin penasaran. Good job thor, keep writting! Semangaaaaaaaaattt
Thor, apakah TNBT itu singkatan dari Tyara nan Baik haTi ?