The Queen’s Gambit merupakan miniseries yang dirilis Netflix dan dibintangi oleh Anya Taylor-Joy. The Queen’s Gambit sendiri diadaptasi dari Novel dengan judul yang sama karya Walter Travis pada 1983. Ditulis dan diarahkan oleh Scott Frank, dibantu oleh temannya Allan Scott. Menceritakan tentang pecatur pilih tanding yang datang dari antah berantah. Seorang gadis yang memiliki kehidupan masa kecil tragis dan ironis.
Sebelum saya kisahkan masa kecil tokoh utama The Queen’s Gambit, saya juga ingin sedikit mengisahkan persinggungan masa kecil saya dan papan catur sebagai permulaan tulisan ini. Meskipun beda nasib.
BACA JUGA: 5 Rekomendasi Film Tentang Catur yang Memikat Para Pecinta Film
Di sebuah kota kecil yang asri dan berbunga, yang berlindung pada oksigen gunung Ciremai yang menenangkan, tumbuhlah lelaki yang saat remaja sempat menganggap Club 80’s adalah representasi kekerenan pasca Indosiar memutar Son Go Ku di hari Minggu. Tak ada perang dingin di sana. Tak ada tentara merah. Nihil inflitrasi Netherland. Tenang, damai, persis gunung Ciremai yang dilihat dari lantai dua.
Bocah itu begitu aktif, tidak bisa diam. Periang tapi yang paling sedih ketika sendirian. Saat kelas IV SD rumahnya hampir kebakaran lantaran iseng bermain api. Para tetangga berhamburan, bergegas memadamkan api dengan air yang diambil dari kolam ikan. Setelah api padam bocah itu hanya tersenyum tanpa merasa berdosa. Hm.
BACA JUGA: Anya Taylor-Joy: Siapa Dia dan 5 Film Epik yang Dibintanginya
Agar keaktifan saya terkontrol, Bapak sering mengajak bepergian dengan berbagai agenda dan kadang tanpa agenda. Misalnya, ke sebuah rumah yang isinya dipenuhi alat musik tradisional sunda, dari mulai kecapi, suling, kendang, bonang, dan lainnya. Tak jarang juga meluncur ke gedung olahraga untuk bermain badminton, meski sesekali saya enggan apabila sedang tidak mau.
Namun, menurut teman-temannya, Bapak adalah seorang pemain andal, gesit, juga lincah yang sukar ditaklukkan. Selain kerap mengecoh lawan dengan trik service-nya, Ia acapkali menggunakan suara untuk mengelabui lawan. Lawannya pun kesal, mentalnya jatuh. Tentu saja itu saat yang tepat menghancurkan lawan secara puputan. Ya, cara itu efektif mematikan.
Terkadang Bapak juga mengajak bermain tenis meja di rumah Pak RT. Ia juga mengajari saya bagaimana bermain tenis meja. Satu-satunya olahraga yang sampai saat ini masih saya kuasai.
Belum cukup sampai di situ ada juga momen bukan sekali-dua saya diajak ke pasar oleh Bapak tidak untuk berbelanja melainkan bermain catur. Bapak melawan Uwak saya yang memang seorang pedagang di pasar saat itu. Secara sengaja Bapak bertandang ke toko Uwak. Saya menyebutnya Wak Udin. Seorang pedagang baju Pasar Kepuh.
Permainan catur Bapak dan Wak Udin menyemarakan seisi rumah. Pasalnya, mereka tak hanya memainkan pikiran dan tangan, namun juga saling meledek. Tentu saja permainan catur seperti itu tidak akan kita temukan pada pertandingan catur resmi. Kecuali mungkin membuat konten YouTube permainan catur online.
Saya juga sering melihat Bapak bertanding melawan Wak Udin baik itu di rumah, di rumahnya, maupun di toko. Alhasil, ada masa sewaktu SD saya sering bermain catur, tapi karena seringnya kalah saya jadi tidak terlalu suka permainan catur.
Lain saya lain pula dengan Elizabeth Harmon, tokoh utama serial The Queen’s Gambit yang sangat tergila-gila akan permainan catur, sampai-sampai atap kamarnya ia asumsikan sebagai papan catur. Beth, begitulah ia disapa, tak hanya berimajinasi ia benar-benar bermain sungguhan dalam pikirannya.
Tumbuh dan Berkembangnya Beth Harmon
Seperti sudah saya singgung sebelumnya Elizabeth Harmon memiliki masa kecil yang tragis dan ironis. Jelas ia tidak tumbuh di kaki gunung Ciremai di sebuah kota kecil yang hijau, asri, dan berbunga berlatar 90-an. The Queen’s Gambit berlatar tahun ‘50-60-an di mana adalah masa perang dingin antara Rusia Vs Amerika.
Beth memang terdidik di lingkungan intelektual berkat ibu dan ayahnya. Namun, hubungan ibu dan ayahnya tidak berangsur baik, mereka berpisah. Ayah Harmon pun enggan mengakui keberadaan mereka, yang kemudian menjalin hubungan dengan yang lain. Sang ibu frustrasi berat yang akhirnya memilih jalan buntu: bunuh diri.
Harmon pun jadi “yatim-piatu.” Ia akhirnya tinggal di panti asuhan sejak berusia 9 tahun. Ia tumbuh dan berkembang menjadi gadis dingin dan hemat bicara. Ketika dunia seakan-akan tak mampu menghadirkan apa-apa lagi untuknya, Beth mulai tertarik pada sebuah papan catur saat melihat seorang janitor bermain catur sendirian di rubanah panti asuhan. Dengan demikian permainan catur mengubah hidup Elizabeth Harmon dari masa kecil yang murung untuk selama-lamanya. Bermain catur adalah darahnya, permainan catur adalah jantungnya.
Dengan kerja keras para pembuat serial ini, The Queen’s Gambit pun memperoleh pengakuan dari Grandmaster Jennifer Shahade. Pada wawancaranya dengan Vanity Fair, Shahade mengakui jika serial ini memotret dunia catur yang valid dan akurat. Kita tidak perlu mengerti dunia catur untuk menikmatinya, kita hanya perlu menyimak suguhan narasi dan sinematografi dengan detail yang ciamik pada setiap episodenya.
Tokoh utama seperti Beth Harmon dengan cerita yang kuat seperti ini adalah sesuatu yang jenius! Tak heran serial The Queen’s Gambit menyedot perhatian 62 juta penonton dalam 28 hari sejak penayangan perdana di Netflix.
Mengenal Elizabeth Harmon Lebih Dekat
Elizabeth Harmon merupakan karakter utama yang kehadirannya mendominasi dalam serial ini secara keseluruhan. Penokohan yang manusiawi dan tidak berlebihan berhasil disuguhkan dengan sangat baik. Kepribadian Beth Harmon adalah paradoksal, meskipun ia perempuan dengan anugerah kecerdasan pikiran dalam bermain catur, Harmon tak serta merta menjadi putri Jasmine yang mendapat akhir bahagia yang instan.
Beth dideskpripsikan sebagai sosok perempuan kaku nan beku dan tak banyak bicara. Ia hanya fokus dan mudah beradaptasi. Beth tak banyak mengetahui keadaan dunia di luar sana karena masa kecilnya tidak memungkinkan untuk bebas merdeka. Kefokusan itu membuatnya pandai bermain catur. Yang ada di kepalanya hanyalah catur, catur, dan catur. Tak ada yang lain. Di sisi lain Beth juga memiliki kekurangan bahwa ia tak cukup punya jiwa yang besar ketika menghadapi kekalahan. Ia bisa sampai berhari-hari memikirkan kekalahan tersebut. Kekalahan itu dibawa ke hati dan rasanya sangat jijik sekali. Di samping itu Beth juga punya masalah kecanduan obat penenang sejak tinggal di panti asuhan. Semakin dewasa ia pun melebarkan kecanduannya pada alkohol.
Akting Anya Taylor-Joy yang memerankan sosok Elizabeth Harmon The Queen’s Gambit sungguh di luar dugaan bagusnya. Penokohan dalam serial ini memungkinkan Anya untuk bereksplorasi pada ruang-ruang tak terbatas, liar, dan menyenangkan. Beth kecil yang diperankan Isla Johnston juga terasa pas ketika karakter sudah mulai berkembang ke Beth remaja hingga dewasa yang tampak halus, sinkron dan linier.
Plot Cepat Namun Tidak Terburu-buru
Untuk ukuran miniseries yang hanya memiliki 7 episode, eksekusi plot yang cepat namun tidak terburu-buru berhasil disajikan dengan tepat. Alhasil, episode-episode dihidangkan dengan kisah padat dan jauh dari bikin ngantuk. Pengembangan karakter tampak mengalir dan cair, tidak dipaksa-paksakan.
Misal, episode pertama mengisahkan masa kecil Elizabeth Harmon di panti asuhan, lalu beranjak remaja dan mulai aktif berkompetisi hingga lulus sekolah. Beberapa lompatan menghiasi sejumlah cuplikan namun sangat halus sekali eksekusinya. Ada pula kilas balik masa kecil Beth yang muncul dengan apik dan rapi. Kisah ini menjamin bahwa kita bakal menyukai karakter Elizabeth Harmon dengan segala dinamika kehidupannya yang kuat sekaligus rapuh. What doesn’t kill you makes you stronger, begitu kalau kata Nietzsche.
Ada saatnya kita merasa memenangkan dunia, ada kalanya kita depresif dan haru. Namun, sesungguhnya intisari dari sebuah olahraga adalah menumbuhkan mental dan jiwa yang sehat.
Estetika yang Estetik; Trashy, Classy, Nasty
Dalam segi penokohan dan penampilan karakter Elizabeth Harmon mengalami perkembangan yang kentara. Jika kita perhatikan penampilannya saat diadopsi Alma Wheatley dan suaminya dari Lexington, pakaiannya sangat lusuh, tidak enak dipandang. Kontras ketika ia sudah dikenal sebagai atlet catur dengan busana klasik dan elegan. Harmon diajari bagaimana berpenampilan menarik, classy dan elegan oleh ibu angkatnya. Harmon bahkan mengoleksi busana-busana modis dan mahal. Gaya semacam ini tak terhenti pada Beth, namun juga pada Benny Watts juara US Champion dengan dandanan a la cowboy. Ada juga Vasily Borgov sang juara dunia, seorang Grandmaster yang selalu mengenakan jas rapi seperti menegaskan, “Hey dunia saya ini pecatur terbaik di muka bumi!” Sebuah pernyataan lantang balutan busana.
Pemilihan lokasi di setiap kompetisi juga terlihat menarik yang masing-masingnya mempunyai identitas membekas. Kita bisa sebut gedung sekolah yang biasa saja malah cenderung sederhana, namun di tempat itulah debut pertama ELizabeth Harmon berlangsung sebagai pecatur jempolan yang divalidasi publik. Ada juga hall megah yang pemandangannya mencerminkan kebudayaan eropa yang begitu luas dan agung hingga venue pertandingan final melawan Borgov di Moscow, Rusia.
Kisah indah, haru sekaligus kacau tersaji pada serial ini. Bisa dibilang ini adalah salah satu serial terbaik di Netflix yang pernah ada!
You might also like
More from Tontonan
Orient Express: Dari Novel hingga Layar Lebar
Orient Express: Dari Novel hingga Layar Lebar Orient Express adalah nama yang memicu imajinasi, menggambarkan kemewahan, misteri, dan perjalanan epik melintasi …
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …
Analisis Ending Film The Commuter
Analisis Ending Film The Commuter "The Commuter," sebuah film thriller yang dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan yang penuh …