Pada penghujung tahun 2017, banyak seremoni agama yang digelar oleh setiap pemeluknya. Ada perayaan Natal yang berlangsung khidmat di gereja. Ada Mauludan yang didendangkan dengan aneka salawatan di masjid kota-kota besar hingga pelosok daerah.
Juga ada haul (peringatan wafatnya) Gusdur yang diekspresikan dengan beragam tembang kebudayaan dan tahlilan. Bahkan sebagai penutup puncak tahun 2017, sudah lazim jika ada pagelaran terompet dan pesta kembang api yang menyeruak di setiap jalanan sebagai bentuk perayaan pergantian tahun.
Namun di balik beragam peristiwa tersebut ada kejanggalan yang membuncah di benak kita. Hal ini terkait dengan hamparan dalil agama yang dilontarkan sebagian muslim untuk mengharamkan ucapan natal, dalil bid’ah terhadap perayaan Mauludan dan tahlilan, serta dalil kafir (yahudinisasi) bagi yang meniup terompet dan menyalakan kembang api di tahun baru.
Sedikit-sedikit haram, sedikit-sedikit dalil, sedikit-sedikit gak boleh karena menyerupai tradisi kaum kafir. Bisa dibayangkan betapa ruwetnya hidup di zaman milenial bukan? Ini belum lagi soal isu air liur saat tiup terompet potensi tularkan berbagai penyakit. Beda konteks dong.
Dalil-dalil tersebut disengaja atau tidak di-share (dibagikan) sehingga bertebaran di media sosial (medsos) dan tidak sedikit yang meng-amini-nya di dunia nyata. Pertanyaannya mengapa dalil agama begitu mudah ditafsirkan sebagai alat justifikasi kegiatan-kegiatan kekinian?
Jika dicermati, fenomena tersebut bisa jadi bermula dari pengemasan penafsiran dalil-dalil agama dengan cara cepat saji (fast food). Dalam struktur berpikir simplistis, dalil agama yang disampaikan banyak mengacu pada pemaparan dalil secara ringkas dan parsial (juz’iyah) untuk menjelaskan sebuah dinamika kehidupan dengan mudah meskipun maksud dari dalil tersebut tidak relevan untuk merepresentasikan sebagai konstruksi sosial yang complicated (rumit). Ternyata yang rumit bukan cuman hubungan kita, yah? hehe
Implikasinya, sejumlah dalil agama yang dikonstruksikan dalam empat unsur tersebut masih bercorak normatif-literalistik akan bermetamorfosis—meminjam istilah Richard C. Martin dalam buku Approaches to Islam in Religious Studies—sebagai ajaran yang absolut, non-dialogical, apologetic-difensive, dan truth claim. Dalam konteks ini menjadi wajar apabila sejumlah dalil agama tersebut akan selalu berbenturan dengan pengetahuan umum (‘urf) maupun adat istiadat (‘adah) yang sebenarnya memiliki tirai kebenarannya sendiri.
Analisis tentang bagaimana model cepat saji (fast food) berkembang dan berpengaruh dalam segala dimensi kehidupan manusia, dikupas detail oleh George Ritzer dalam The Mcdonaldization of Society. Buku ini menggambarkan bagaimana dampak dari pola cepat saji yang mempengaruhi gaya makan masyarakat Amerika dan belahan dunia lainnya yang dimotori oleh restoran McDonalds.
Fenomena mcdonaldisasi yang dijelaskan Ritzer, dapat terjadi pula pada persoalan dalil agama yang selalu dikemas secara cepat saji, apalagi ditetapkan sebagai kebenaran tunggal yang dipaksa hadir dalam segala situasi.
Potret pembingkaian agama yang sedemikian rigid, disadari atau tidak telah masuk dalam satu wilayah—meminjam istilah Max Weber—sebagai kerangkeng besi (iron cage). Itu karena semua yang terkait dengan dinamika kehidupan masyarakat selalu merujuk pada ajaran agama yang normatif.
Akibatnya segala sesuatu yang menjadi kebiasaan masyarakat selalu diatur dengan rangkaian dalil agama. Yang apabila tidak termaktub secara jelas dalam nash (kitab suci), dianggap berlawanan dengan norma kenabian (bid’ah) dan pesan ketuhanan (syirik).
Sehingga sekumpulan dalil agama yang kerap didudukkan sebagai landasan teologis dan tidak diolah secara dialektis dan interkonektif tetapi hanya dengan logika positivistik (salah-benar) menghasilkan pandangan dan pemikiran yang otoritarian.
Sungguh, ini adalah masa ketika kualitas keimanan dan keislaman kita tereduksi sedemikian menyedihkannya. Hal-hal yang berskala tekstual dan permukaan, dirayakan sedemikian rupa di atas panggung Youtube dan Facebook, seolah itulah the way of life. Kita membonsai Islam hanya pada al-Quran dan sunnah, memahaminya dengan dangkal dan gegabah, sehingga buahnya menjadi saklekan.
Padahal perlu kiranya kita merenungkan kembali bahwa diperlukan berbagai upaya kritis agar dalil agama bisa didudukkan sebagai landasan teologis yang emansipatoris.
Dengan begitu masyarakat dapat memahami ajaran agama dengan utuh, bukan sepotong-sepotong sehingga mampu merepresentasikannya pada konteks kekinian. Terlebih arus mcdonaldisasi kian masif dan mulai merasuk dalam ajaran agama, kita perlu melakukan otokritik pada setiap dalil-dalil nash yang ditafsirkan secara cepat saji, cenderung serampangan, dan hanya bermodal cocoklogi.
Agar beragam dalil yang disampaikan secara substansial tidak kehilangan relevansi dan orientasinya. Desember pun bisa berakhir ceria.
Eh tapi kalau Desember kita sudah ribut soal pengharaman mengucapkan selamat Natal dan perayaan tahun baru, Januari ada topik ribut apa yah? Kan sepi? Nah kalo saran saya, kita bisa balik lagi ke topik ribut unggulan: Jokowi dan Pemerintahannya yang anti-Islam.
Begitulah kura-kura.
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …
1 Comment
Nyontek ini mah boss