Sungguh minggu yang padat. Niatku untuk menulis tentang kesehatan jadi terbengkalai. Hari gizi Kamis kemarin pun telah usai tanpa menjadi essai. Kendati demikian, aku ucapkan terima kasih kepada teman-temanku karena berhasil membuatku sibuk dengan pementasan drama itu. Setidaknya aku bisa menulis lebih luas, mengenai seni dan hal-hal yang terkait dengannya. Aku juga berterima kasih padamu, yang kritis, mempertanyakan nilai-nilai kegunaan pementasan seni itu.
Mungkin aku tidak objektif, karena begitu sebal mendengar kamu mengatakan, “kegiatan yang tidak terlalu penting itu adalah pementasan seni.” Mungkin aku memang tidak adil kalau jadi berpikir, bahwa deretan rumus matematika, modul-modul bahasa inggris, dan materi-materi pelajaran sekolah lainnya itu begitu terlewat memaksakan kehendak, untuk dikatakan “penting” bagi anak bangsa. Dalam hal ini, benda-benda itu terlalu lebay secara proporsi. Tapi yang perlu digali kembali adalah mengapa anak-anak begitu menyala, riang tatkala melihat segala bentuk pementasan seni di lapangan? Mengapa anak-anak nampak antusias tanpa pernah dipinta untuk menyimak segala bentuk seni di lapangan? Mengapa anak-anak begitu berat hati tatkala kamu pinta untuk mengerjakan soal-soal LKS? Mengapa anak-anak mengerutkan dahi tatkala kamu perintah untuk mencatat sesuatu yang kamu tulis di papan tulis? Mengapa? Ya, kamu boleh berkata, itulah seni, cuma hiburan. Tak lebih.
Tapi, aku kira jawabannya bisa lebih dari itu. Kamu bisa lihat pada anak-anak tersebut. Bertanya pada mereka, atau amati saja mereka. Misalnya, carilah yang kamu kenal. Amati ia secara “seni” kemudian tes ia secara sains, atau sebaliknya. Misalnya, pinta mereka bernyanyi, kemudian tanya mereka soal MTK. Karena aku mungkin agak tidak objektif lagi, kalau menyimpulkan bahwa mereka yang pandai bernyanyi (atau penyuka seni bentuk apapun) pasti pandai dalam sains, minimal logika matematika.
Sebelum hari ini, sebetulnya aku ingin menuliskan tentang hubungan seni dan kesehatan manusia. Tapi pengalamanku denganmu membawaku untuk menulis kemana-mana. Lagi pula, sudah banyak kesimpulan penelitian yang menyatakan kesenian memang menumbuhkan kesehatan. Aku setuju, karena kesenian mengandung “gizi” yang kamu boleh teliti sendiri. Maka, bolehkah aku agak kasar? Maksudnya, apabila dibanding-bandingkan, mana yang berperan penting bagi kesehatan manusia, Sains atau “Art”? Bolehkah aku tidak objektif untuk memilih yang kedua?
Seni. Suatu temuan yang begitu multi. Suara, Gerak, Rupa, dan kata-kata. Secara awam ini mudah sekali untuk dideteksi. Carilah orang sakit demam, misalnya. Apabila itu temanmu, cobalah bawakan padanya selembar uraian temuan fisika mutakhir, atau produk-produk temuan mutakhirnya, misalnya kamera digital, atau alat kesehatan quantum. Kemudian, bawakan juga tayangan film, atau lagu klasik, mungkin sastra (novel misalnya), lalu amati mana yang mereka sentuh lebih lama.
Aku tidak berkata bahwa sains tidak penting bagi anak-anak sekolah. Tapi aku hanya merasa, bahwa sains yang dihadirkan dalam materi pelajaran kepada anak-anak sekolah itu, tidak boleh tidak ditata ulang secara esensi, substansi, maupun proporsi. Ini sederhana, mengapa pelajaran seni di sekolah umum lebih sedikit alokasi waktu belajarnya dibanding MTK misalnya? “Karena tidak di-UN-kan”. Yap mungkin itu ucapmu dalam hati. Cukup logis. Kamu memang ilmuwan. Seperti yang dipahami banyak guru besar, bahwa ilmuwan bergerak dengan nalar.
Aku senang mengingat pemahaman seorang Guru Besar Estetika, Bambang Soegiharto, bahwa pendekatan sains cenderung melihat realitas dari pola-pola abstrak yang berlaku umum. Sedangkan seni mampu melihat realitas secara lain. Sains menyingkat realitas berdasarkan kepentingan pragmatis manusia. Sedangkan seni justru mampu menyingkap realitas itu sendiri. Air di sungai di mata sains tak lebih dari stok energi yang menggiurkan, tanah menjadi sekedar deposit mineral yang aduhai, udara sebagai gudang nitrogen dan oksigen yang begitu manis. Sains bahkan mampu menjadikan manusia sebatas benda mati (objek) dalam anatomi-anatomi. Sedangkan seni, bekerja menyatu dengan apa-apa yang diekspresikannya. Seni bekerja tidak dengan logika nalar, tapi juga dengan logika “rasa”, air dan pohon akan menjadi makhluk hidup yang bisa berlarian, dan menangis di mata seni.
Sebelum ketidakobjektifan ini berlanjut, mungkin pemahaman Daoed Joesoef yang baru bepulang beberapa hari yang lalu bisa menengahi kesubjektifan aku dan kamu. Dalam salah satu bukunya, ia sebut Unity In Variety dari Coleridge (budayawan inggris). Yang mana seni dan sains memiliki goal yang pada dasarnya adalah sama, yaitu kesatuan dalam keanekaragaman. Baginya, seni dan sains lahir dari induk yang sama, budaya imaji-kreatif. Daoed Joesoef mempredikatkan temuan Newton berdasarkan daya imaji. Newton menangkap adanya suatu kemiripan di antara dua penampilan yang tidak serupa, yaitu gerakan apel ke bumi dan gerakan bulan di angkasa. Newton menemukan dua ekspresi dari suatu konsep tunggal, yakni gravitasi.
Untuk itu, aku tidak menuduh sains itu jahat dan seni itu baik, dan kamu boleh meneruskan berpikir bahwa sains lebih penting dari seni. Tapi, bukankah pada kenyataannya keduanya selalu bekerja sama pada perkembangan hidup manusia. Tentu kamu akan jengah menatap komputer jinjingmu kalau di dalamnya tidak ada program multimedia beserta karya animasi-animasi lainnya. Boleh jadi, kamu hafal nama-nama alfabet pun karena nyanyian yang membuatmu girang dahulu kala. Maka pesanku, kalau kamu menyukai pizza, janganlah lantas mengolok-olok pecinta kerak telor. Bolehkah kita simpulkan saja, bahwa seni akan merasa percuma tanpa sains, dan sains akan mati kesepian tanpa seni. Mereka sepasang kekasih.
You might also like
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …