Saat zuhur Jaafar sang wasit menunggu di ujung jalan setapak, teropong militernya tergantung di lehernya dan bola sepak di pangkuannya. Para pemuda berdatangan satu per satu dan mengelilinginya, berkelakar dengannya dan mengobrol dengan seru tentang striker di tim Sektor 32. Jaafar meyakinkan mereka. “Kita punya Allawi al‑Saba. Dia Messi-nya Sektor 29,” katanya.
Para pemuda bergantian mendorong kursiroda Jaafar. Salah satunya berkata, “Tim Sektor 32 mungkin bawa wasitnya sendiri.” Jaafar tak mengacuhkannya. Dia bilang dia tahu bagaimana menanganinya. Mereka sampai di lapangan, Jaafar melempar bola, dan para pemuda mengejar-ngejarnya.
Jaafar berusia 54 tahun, tapi semangatnya masih muda. Dengan renjananya pada olahraga, dinamismenya, dan tekadnya, dia membuat kagum para sahabatnya dan sedikit musuh-musuhnya. Dia telah menjadi pemain bilyar tenar di Sektor 29, dan ketika dia desersi dari ketentaraan polisi militer gagal menangkapnya. Dia seperti rubah, tetapi kecanduannya pada bilyar menjadi kejatuhannya. Pada suatu malam polisi militer mengepungnya di wahana bilyar Khorasan di Karada, di mana dia biasa berhadapan dengan pemain paling tenar lainnya di wilayah itu. Mereka mengirimnya ke perang Kuwait, dan begitu kembali kedua kakinya sudah kutung. Jaafar merupakan kawan yang baik, mudah akrab – begitulah orang-orang di Sektor memandangnya. Tapi beberapa orang menganggap miring pada gairahnya akan sepakbola dan caranya bergaul dengan para pemuda lokal di usianya yang setua itu.
Jaafar tak begitu mengacuhkan omongan-omongan semacam itu, karena para pemuda harus belajar dasar-dasar permainan itu. Dia mengorganisir pertandingan dan bertindak sebagai wasit mereka. Dia mengingatkan para pengritiknya perihal pemain tim nasional termasyhur yang muncul dari Sektor 29 dan yang didaku telah dilatihnya, menambahinya setiap waktu, “Akan kuciptakan keajaiban serupa keajaiban yang akan menyelamatkan seluruh negeri ini!”
Di tepi lapangan sepakbola ada Pembakaran Sampah besar yang mengepulkan asap putih menguarkan bau tengik ke seluruh area permainan. Para wanita, ada yang memakai abaya dan ada yang tidak, keluar dari rumah-rumah di sekitar lapangan menenteng kantong-kantong sampah. Jaafar memerhatikan mereka lewat teropongnya selagi para pemuda mengejar-ngejar bola, berteriak-teriak. Dengan teropongnya pun Jaafar menyaksikan permainan para pemuda.
Tim Sektor 32 tiba, didampingi seorang lelaki muda berjenggot, dan keduanya bersepakat bahwa Jaafar akan mewasiti babak pertama dan pria lain itu untuk babak kedua. Pertandingan dimulai. Jaafar mengemudikan kursi rodanya hilir mudik seturut lapangan dengan kecepatan tinggi dan bersemangat. Dia meneriaki para pemuda, entah menyemangati atau pun mencerca mereka, dan jika mereka terlalu jauh jaraknya dia akan mengikutinya dengan teropongnya. “Goooooooool!” teriak Jaafar. Wasit Sektor 32 protes bahwa Jaafar mendukung timnya sendiri dan tidak netral. Jaafar mengabaikan keberatannya. Dia mencemaskan para pemainnya seolah mereka anak-anaknya sendiri, dan jika mereka jatuh dia akan mengecek lutut dan kaki mereka apakah cedera atau tidak. Terkadang dia melamun dan melihat mereka seperti hantu-hantu dari peperangan dan terkenang ledakan meriam di garis depan.
Namun, kemudian benaknya balik ke pertandingan dan menyempritkan peluitnya untuk menghadiahkan tendangan penalti, seriang dan seantusias biasanya. Keringatnya berleleran selagi dia menggulirkan roda sekuat tenaga supaya tak ketinggalan mengikuti lari para pemuda yang memburu bola seperti kijang.
Jaafar meniup peluit. “Pelanggaran!”
“Sumpah, itu bukan pelanggaran, Jaafar,” protes salah satu pemuda.
“Kubilang itu pelanggaran. Jangan membantah, goblok.”
“Namun, Jaafar, kau melihatnya dari kejauhan.”
“Lalu, ini apa? Kau pikir aku buta?” kata Jaafar, memegangi teropongnya.
Pertandingan berakhir seri 2–2, dan para pemuda mendorong kursiroda Jaafar ke kedai kopi. Mereka berpisah dan dia mengingatkan mereka untuk persiapan menghadapi tim Sektor 52 pada pertandingan minggu depan.
Jaafar bermain domino di kedai kopi Shaab dan menyampaikan analisisnya kepada orang-orang tentang kualitas bermacam-macam klub-klub sepakbola Spanyol. Tawanya bergema di kedai kopi itu hingga potret besar imam Ali yang tergantung di dinding goyah. Pemilik warung kopi bercerita bahwa tentara Amerika akan menggeledah Sektor malam itu untuk mencari senjata.
“Apa maunya koboi-koboi itu? Karena merekalah aku kehilangan kaki dalam Perang Kuwait. Apa lagi yang mereka inginkan? Persetan dengan mereka. Suatu hari Amerika akan kalah,” Jaafar berkata dengan marah, lalu mengubah topik pembicaraan menjadi tentang sepakbola. Dia dan suporter Real Madrid mulai cekcok dan saling berseloroh. Jaafar suporter mania Barcelona dan kadang-kadang Liverpool.
Aku menungguinya di pintu kedai kopi. Dia keluar sambil terbahak dan menonjok akrab perutku. Kudorong kursirodanya menyeberang jalan. Dia menanyakan kabar adik perempuannya, ialah istriku, dan kubilang, “Dia sehat.”
“Kau mau beraksi meraibkan pisau hari ini?” tanyanya, terbatuk-batuk. Dia perokok berat.
“Tidak, tetapi mungkin aku mau membahas sedikit perihal tafsir mimpi.”
Kuketuk pintu dan Souad membukakannya. “Ah, kalian berdua,” katanya seraya mencium Jaafar di kepala. Dia membantuku meloloskan kursirodanya lewat ambang pintu. Kucubit bokongnya dan dia mengepret tanganku diam-diam, tetapi Jaafar tak memperhatikan. Di ruangan itu ada bangku kayu polos, dan Salih si jagal sedang mendudukinya. Allawi lesehan sambil bersila dengan tasbih di tangannya – posisi duduk seperti saat dia meraibkan pisau. Jaafar menjabat tangan Salih dan berkata, “Hei, Allawi, duduklah di bangku.” Allawi menjawab dengan pongah, “Aku tak pernah duduk di kursi atau bangku.”
“Maksudmu seumur hidupmu?”
“Tentu saja.”
“Tapi umurmu baru 15 tahun, sialan. Kalau ada yang mendengarmu, dikiranya kau setua dinosaurus.”
Jaafar terbahak seraya membetulkan letak foto ayahnya di dinding.
Souad pergi ke dapur, dan aku duduk di sebelah si jagal. Jaafar memutar kursirodanya berhadapan dengan kami. Souad kembali dengan membawa senampan teh, duduk di karpet dekat Allawi, dan menuangkan teh, tersenyum ramah pada semua orang dan mengedip-edipkan mata padaku beberapa kali. Kuembuskan ciuman padanya. Jaafar menoleh kepadaku dan berkata, “Hei, orang kasmaran, kita ada kerjaan. Kalau pertemuan sudah usai kalian boleh berciuman sepuasnya.”
Dalam suara mirip perempuannya yang ganjil, si jagal berkata, “Sekarang, Jaafar. Kalau ada yang mendengarmu, dikiranya ini pertemuan kelompok bawahtanah yang hendak mengubah dunia. Kita sudah meraibkan banyak sekali pisau, dan Souad selalu membuat pisau-pisau itu muncul lagi…. Dan itu sudah berlangsung selama sepuluh tahun.”
Allawi tertawa dan berkata, “Sudah kuraibkan pisau seumur hidupku. Tapi aku ingin terus meraibkan pisau lagi dan lagi, entahlah.” Jaafar mengubah topik dan menanyai Allawi apakah Umm Ibtisam akan datang hari ini. Dia menimpali, dia yakin kali ini, karena wanita itu telah berjanji tiga kali demi Abas putra Ali bahwasannya dia akan datang. “Dia pasti sedang menuju ke sini sekarang. Kau tahu kan, tentara Amerika jahanam itu telah menutup separuh jalanan.”
2
Kami sudah seperti satu keluarga. Keahlian kami menangani pisau bukan satu-satunya perekat. Kami pun berbagi masalah dalam hidup, kebahagiaan kami, dan kebodohan kami. Kami dieratkan oleh berbagai macam kesialan, dan beberapa kali kami dikecewakan pisau-pisau. Ada hal-hal lain yang merundungi hidup. Kami hampir terpisah dalam beberapa peristiwa, tapi kami dipersatukan kembali oleh keganjilan dan kesenangan yang ditimbulkan oleh bakat kami, oleh perasaan yang melingkupi kami semua – kecuali, mungkin, Salih si jagal – pisau-pisau itu bisa jadi pelipur lara dan memberi kami desir ketidakpastian.
Sepuluh tahun berlalu sejak kami menjadi satu tim dalam sihir pisau. Allawi bergabung tiga tahun yang lalu. Aku melanjutkan studi ke Sekolah Guru. Souad telah menginjak tahun keenam di SMA, jurusan IPA, dan bermimpi masuk Sekolah Kodekteran. Salih si jagal memperluas tokonya, menceraikan ibu anak-anaknya, dan menikahi seorang wanita muda yang menjadi gunjingan di pemukiman. Jaafar mencarikan kerja untuk Allawi di pabrik sepatu wanita. Dia tak mau Allawi keluyuran di pasar bermain-main dengan pisau. Jaafar sendiri seperti biasanya – sibuk dengan sepakbola, jadi wasit, domino, kedai kopi; selalu cemas dalam meyakin-yakin dirinya bahwa kelompok kami tidak akan bubar dan tetap mencari bakat baru dalam sepakbola dan sihir pisau. Dia percaya bakat pisau kami merupakan pekerjaan rahasia yang akan mengubah dunia. Perihal bagaimana dan mengapa dan kapannya, tetap tak berjawab; bukan urusannya. “Aku bahkan tak pernah baca koran seumur hidupku. Bagaimana bisa aku paham rahasia pisau?” katanya.
Si jagal, Allawi, Jaafar, dan aku punya bakat meraibkan pisau. Souad satu-satunya yang bisa memunculkannya kembali, tapi dia tak bisa meraibkan. Perbedaan bakat Souad makin menambah misteri bakat kami, yang tak berkembang selangkah pun meski sudah melewati tahun-tahun itu.
Dua tahun lalu aku ditugasi membaca buku-buku demi mencari tahu apa makna pisau, dan segera saja aku mendapat gagasan bahwa pisau sekadar metafora atas semua teror, pembunuhan, dan kebrutalan di negara ini. Itu fenomena nyata yang tak akrab, permainan luarbiasa yang tak bermakna, karena itu dipinggirkan oleh hukum-hukum yang saklek.
Kunikahi Souad satu setengah tahun yang lalu. Jaafar-lah yang mengatur pernikahan yang dipercepat ini dengan ayahku. Sepupu Souad telah mendekati Jaafar dengan lamaran untuk menikahinya. Jaafar tak mau Souad jauh-jauh dari kami dan tinggal di pedesaan. Dia tak paham kemunculan kasih-sayang angin-anginan di antara kami berdua. Ayahku langsung teryakinkan, terutama oleh tawaran Jaafar yang membuat ayahku tertarik. Katanya, dia akan membelikan rumah kecil untuk Souad dan aku. Ayahku langsung setuju karena dia ingin mengendurkan ketegangan di rumahnya. Kami sembilan bersaudara dengan tiga saudari yang tinggal bersama-sama dalam dua kamar, dan ayahku berjuang mempertahankan keluarganya bisa tetap hidup. Dia bekerja sebagai pembuat roti dan ibuku menyuntik orang sakit di sekitar, meskipun dia tak punya ijazah perawat. Nyatanya, dia bahkan butahuruf, dan karena dia baik hati, orang-orang menyebutnya malaikat pengasih.
Sewaktu muda aku bermain di tim sepakbola Jaafar. Dia menemukan bakatku tak sengaja. Dia melihatku meraibkan pisau yang tengah dihunus pemuda lain. Dia gembira sekali dan memelukku. Dengan riang dia mengajakku ke rumahnya dan mengenalkanku kepada Souad yang masih belia, yang matanya memancarkan semangat hidup sekuat dan seindah bunga. Esok harinya Jaafar mengajakku ke toko Salih si jagal dan mengenalkanku kepadanya.
Pada masa-masa itu biasanya kami berkumpul di rumah Jaafar, tapi ibunya dan kelima saudaranya akan mengganggu kami, maka kami pindah ke rumah Salih. Dia punya ruangan di atap rumahnya, tempatnya memelihara burung. Kami meletakkan pisau di atas meja kayu bundar dan membuatnya lenyap satu demi satu, lalu Souad memunculkannya kembali. Kami bertukar pandangan dan berusaha menganalisis trik. Tapi percakapan segera berubah dari soal pisau menjadi cerita-cerita tentang warga Sektor. Kami terus berkumpul di kandang merpati hingga aku menikah dan Jaafar membelikan rumah kecil untuk kami. Jaafar cukup makmur berkat bisnis yang digelutinya sejak muda. Dia mengedarkan majalah porno, yang terlarang, tetapi dia begitu berhati-hati menutupi jejaknya, menjualnya hanya di lingkungan orang berada.
Akulah yang menemukan Allawi dan mengajaknya ikut kelompok. Aku tengah membeli racun tikus di pinggir jalan pasar saat kulihat sekelompok anak dan orang dewasa di pojok pasar, berkerumun, penasaran. Allawi sedang duduk bersila seperti biasa, dengan beberapa pisau kecil anekarupa di dekatnya. Dia tidak menggratiskan atraksi pelenyapan pisau. Orang-orang akan memberinya sebungkus rokok atau uang sekadarnya yang cukup buat beli rotilapis atau membeli jus anggur atau jus delima, dan segera setelah dirasanya imbalan yang diperolehnya sepadan dia melemparkan pisau hingga tertancap ke tanah di depan penonton dan meminta mereka menyentuhnya agar yakin bahwa itu pisau asli. Kemudian dia akan meminta mereka agak mundur membentuk lingkaran yang agak besar agar dia bisa lebih bernapas dan berkonsentrasi. Allawi memandangi pisau selama tigapuluh detik, sama seperti aku, dan seraya airmatanya mulai berkilauan di matanya pisau itu mulai menghilang. Hadirin bertepuk tangan dalam ketakjuban dan memujinya, dan Allawi akan menunggu para penonton mulai mengeluarkan uang untuk memintanya mengulang trik dengan pisau lain. Masalah utamanya ialah bahwa dia harus bergantung pada pisau-pisau curian untuk menggantikan pisau yang diraibkannya. Itu membuatnya terlibat dalam situasi yang licin.
Airmata dan tigapuluh detik merupakan persamaan di antara kami semua jika menyangkut peraiban dan pemunculan kembali pisau-pisau. Seperti sudah kubilang, jika bukan karena Souad, pisau-pisau akan lenyap selamanya dan kami akan seperti Allawi sebelum dia bergabung – sekadar para pencuri pisau. Salih si jagal menghadapi masalah yang sama sebelum bertemu Jaafar dan Souad. Salih menyukai trik ini; di tokonya dia memandangi pisau-pisau dari kejauhan hingga mereka menghilang. Namun, setelahnya dia harus membeli pisau baru. Allawi memperoleh uang di pasar berkat unjuk kebolehannya, sementara Salih malah keluar uang. Jika bukan karena Souad, selorohnya, dia bisa mati kelaparan. Setiap hari Souad mengembalikan pisau-pisau yang telah diraibkannya, dan kami berkeyakinan inilah satu-satunya alasan si jagal tetap bersama kami selama bertahun-tahun itu.
Kami tetap mencari anggota untuk kelompok kami, yang bakatnya seperti Souad. Kami berkumpul setiap Kamis dan melenyapkan satu set pisau, dan Souad akan memunculkan mereka kembali dengan cara yang sama: airmata dan tigapuluh detik!
Mudah saja bagiku untuk meraibkan pisau. Aku memulainya dengan melenyapkan pisau-pisau ibuku di dapur semasa kecil. Pada awalnya ibuku jadi nyaris gila dibuatnya. Namun, saat dia mengetahui rahasiaku, bersama ayahku, dibawanya aku menemui seorang ulama untuk meminta pendapatnya perihal itu. Pria berserban itu menjelaskan pada mereka dengan yakin, “Putramu bersekutu dengan jin.” Dia menyarankan mereka untuk berdoa dan membersihkan pekarangan dua kali sehari – sekali di kala fajar dan sekali lagi pada senja hari. Ketika aku mulai tertarik sepakbola dan bertemu Jaafar aku berhenti melenyapkan pisau di rumah atau di rumah teman dan kerabat.
Sihir pisau tak memiliki maksud tertentu. Mungkin Salih si jagal memandang anugerahnya sebagai sebuah penyakit dan perhatiannya terhadap Souad tak lebih jauh dari sekadar penawarnya. Perasaan dan gagasan yang Souad, Jaafar, Allawi, dan aku miliki berbeda dalam beberapa tingkatan. Jaafar mengira itu adalah sebuah pekerjaan yang rahasia dan keramat dan meyakini apa yang kami lakukan, terlepas dari keabsurdannya, merupakan sumber kesenangan agung, khususnya saat dia memandang dirinya sendiri seagai bapak spiritual dan pemimpin kelompok.
Allawi kecanduan permainan itu. Seperti obat yang menghapus kenangannya atas kehilangan yang pedih kedua orangtuanya di masa belia. Ayahnya seorang pemabuk yang berseteru dengan tetangga dan membunuh seorang lelaki menggunakan pistolnya. Sebelum polisi datang salah satu putra orang yang tewas, yang telah melihat ayahnya berkubang darah berdiri di pintu rumah ayah Allawi dengan senapan Kalashnikov di tangannya. Ayah Allawi berdiri di balik pintu yang terkunci sambil memegang pistol, dan ibunya mencoba melarangnya keluar. Si putra orang yang tewas memberondongkan seisi magasin ke pintu. Pintunya roboh dan ayah dan ibu Allawi tewas.
Pisau jadi hiburanku dan bagian hidupku. Menelusuri misteri permainan itu, aku merasa seperti mencari sekuntum bunga langka di pegunungan. Seringnya terasa seperti sebuah petualangan dalam fabel. Sering kali aku merasa seolah tengah menjalankan laku keagamaan dengan sihir pisau. Realitas tak begitu menarikku sebesar indahnya misteri yang memikatku. Mungkin ini pula yang membuatku menulis puisi setelah aku menyerah untuk menemukan makna pisau.
Kebutahurufan merupakan salah satu dari banyak penghalang yang menambah-nambahi kegagalan untuk memahami aksi atau bahkan mengembangkan kemampuan kami selama tahun-tahun itu. Salih si jagal, Allawi, dan Jaafar tak bisa membaca atau menulis. Benar Souad berpendidikan, tetapi dia mengamalkan sulap pisau dengan sikap kekanakan. Dia selalu mengingatkanku, katanya, “Mengapa merumitkan masalah, sayangku? Hidup ini singkat dan kita harus menjalaninya. Perlakukan pisau seperti sebuah permainan yang menghibur kita dan jangan dipikir terlalu jauh.” Souad berulangkali menyarankan untuk membuka sebuah teater kecil di pemukiman untuk menghibur orang lokal dengan aksi peraiban pisau dan memunculkannya kembali, dengan harapan mungkin bisa memulihkan kemuraman perang dan pembunuhan yang tak ada akhirnya. Namun, Jaafar mengkhawatirkan para ulama, karena mereka bertindak seperti milisia pada saat itu. Kupikir kecemasannya benar; kapan saja mereka bisa menyatakan kami sebagai kafir, mungkin bahkan menuduh kami merusak masyarakat dengan takhayul asing yang diimpor dari luar negeri.
Takhayul mereka sendiri telah menjadi hukum, dan Allah telah menjadi pedang yang menebas kepala orang-orang dan mengumumkan bahwa mereka kafir.
Kebodohanku makin menjadi-jadi sewaktu aku berangkat mengerjakan tugas untuk meriset sulap pisau lewat bacaan. Pendidikanku tak banyak membantu. Buku-buku keagamaanlah yang pertama kusimak untuk menemukan referensi soal sulap itu. Kebanyakan rumah di dalam dan di sekitar Sektor kami menyimpan sedikit kitab dan terbitan lainnya, yang utama adalah Quran, hadis, kisah-kisah tentang surga dan neraka, dan bacaan tentang para nabi dan orang-orang kafir. Benar kutemukan banyak referensi tentang pisau di buku-buku ini, tapi malahan membuatku ketawa. Mereka hanya membahas pisau untuk jihad, untuk pengkhianatan, untuk penyiksaan dan teror. Pedang dan darah. Simbol pertempuran padang pasir dan pertempuran demi masa depan. Umbul-umbul kejayaan distempel dengan nama Allah, dan pisau perang.
Setelah itu aku pindah ke karya sastra. Itu tanpa sengaja. Sepotong kalimat mengaduk-aduk rasa bersemangat dalam diriku. Lalu pada satu hari, di kedai kopi, aku membaca sebuah artikel dalam koran lokal tentang pembantaian oleh gerombolan sektarian di sebuah desa di bagian selatan ibukota. Mereka membakar rumah-rumah yang di dalamnya orang-orang tengah tidur pada malam hari. Satu-satunya penyintas dalam lautan api itu adalah seorang bocah lelaki. Tubuhnya ungu dan, dan di tangannya tergenggam tikus ungu. Mereka menemukannya tertidur di ladang gandum. Kisahnya terabaikan dalam lingkaran kekerasan berdarah-darah yang keji yang setiap harinya terjadi di negara ini. Di kolom budaya koran itu ada wawancara dengan penyair Irak di pengasingan yang berkata, “Pintu tertutup: Itulah definisi keberadaan.”
Hari berikutnya aku pergi ke jalan Mutanabbi, tempat buku-buku dijual. Aku bukan pengunjung tetap. Aku sudah jeri oleh penampakan tumpukan buku di sana, di jendela toko buku, di kios-kios pinggir jalan, dan di atas gerobak kayu. Ratusan judul dan sampul. Aku tak bisa membeli satu pun buku hari itu. Aku tak tahu apa yang harus kupilih atau dari mana memulainya. Aku kembali ke Jalan Mutanabbi setiap Jumat dan perlahan-lahan muncul kepercayaan diriku. Aku mulai membeli buku puisi, novel, dan cerita pendek, yang lokal dan terjemahan. Kemudian kelompok kami memutuskan urunan uang untuk membantuku membeli buku lebih banyak lagi, dengan harapan aku menemukan kunci misteri pisau, dan segera saja rumah jadi penuh buku. Kami membuat rak di loteng kandang merpati, dapur, dan bahkan di kamar mandi. Setelah setahun keranjingan membaca aku tak lagi tertarik meriset misteri pisau, melainkan lebih pada kenikmatan akan pengetahuan dan membaca secara umum. Keajaiban kata-kata seperti hujan yang memuaskan dahaga jiwaku, dan bagiku hidup menjadi sebuah gagagasan dan impian: gagasan merupakan sebuah bola tenis dan mimpi menjadi dua raketnya. Aku tak paham kebanyakan buku tentang filsafat klasik. Namun, aku menikmati dan tertarik dengan buku-buku intelek tentang mimpi, semesta, dan waktu yang mulai kuminati. Kukira ini menimbulkan masalah bagi kelompok. Mereka menghujaniku dengan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang tengah kubaca dan apakah aku sudah menemukan petunjuk apa pun tentang misteri pisau di dalam buku-bukuku. Entah bagaimana caraku menjelaskan pada mereka.
Aku seperti hewan kecil yang memasuki sarang hewan besar. Aku merasakan baik kenikmatan dan kegairahan. Mungkin aku tersesat, dan satu-satunya kompasku adalah renjanaku dan ketakutanku pada ragam-ragam kehidupan. Satu gagasan membatalkan gagasan lain, dan satu konsep membenamkan konsep lain. Satu teori membuat teori lain menjdi lebih misterius. Antar perasaan saling bersaing. Satu buku mengolok-olok buku lain. Satu sajak menutupi sajak lain. Satu tangga menaik dan tangga lain menurun. Seringnya pengetahuan kudapati mirip dengan sulap pisau: hanyalah misteri yang absurd atau melulu permainan bersenang-senang.
Kucoba menjelaskan kepada kelompok bahwa riset pisau melalui buku bukanlah hal mudah. Proses yang rumit, dan hal-hal tertentu memakan lebih banyak waktu untuk bisa dipahami. Di sisi yang lain aku tak ingin mengecewakan kelompok, khususnya Jaafar, yang antusias terhadap urusan buku itu. Jadi, mulailah kuceritakan beberapa kisah tentang hal-hal luarbiasa lainnya yang terjadi di dunia ini dan tentang kekuatan tersembunyi manusia. Aku mencoba menyederhanakan untuk mereka pengetahuanku yang sederhana perihal parapsikologi, mimpi, dan misteri alam semesta dan alam. Aku merasa bahwa kami tersesat bersama-sama, makin jauh, dalam labirin dunia ini, tanpa layar dan tanpa kompas.
3
Souad membuka pintu dan seorang wanita kekar berusia 50 tahunan, berpakaian hitam-hitam, masuk. Dia menyalami kami dengan malu-malu. Salih si jagal menyilakannya duduk di bangku dan dia sendiri berdiri di dekat pintu. Jaafar memintanya duduk saja, tapi dia menolak.
Souad bertanya kepada wanita itu, Umm Ibtisam, bilamana dia ingin minum.
“Terima kasih; tolong kopi saja,” katanya.
Jaafar berusaha menghilangkan kesan si wanita bahwa dirinya tak begitu disambut. Dia mulai mengajak bicara tentang tingginya harga sayurmayur, menyesali fakta bahwa negera ini mengimpor sayuran dari negara tetangga padahal ada dua sungai besar dan banyak lahan subur. Lalu dia melompat ke pembicaraan tentang tingginya harga gas dan bensin sementara kami memiliki cadangan ‘tahi hitam’ bumi itu. Souad membawakan kopi untuk Umm Ibtisam dan kembali ke tempatnya. Dia menyesap kopi dan berkata kepada Allawi, dia sedang tergesa-gesa dan harus kembali kepada anak-anaknya. Allawi-lah yang menemukan Umm Ibtisam. Dia cerita, ketika sedang berjalan-jalan menapaki jalan kecil kuno di pusat Baghdad diperhatikannya sebuah toko yang khusus menjual pisau berbagai macam bentuk dan ukuran. Dia masuki toko itu dan mulai memilah-milah pisau. Seorang wanita berumur 50 tahunan menghampirinya dan menawarkan bantuan. Dia berkata, dia mencari pisau kecil yang dihilangkannya bertahun-tahun lalu, dengan gagang berbentuk hiu. Wanita itu memandanginya dengan keheranan dan berkata bahwa toko pisaunya bukan kantor barang-barang hilang. Allawi mencuri perhatiannya terlebih dahulu, begitulah istilahnya dia, dengan bertanya kepada wanita itu apakah dia tahu tentang kemampuan peraiban pisau. Si wanita bilang tak tahu apa maksudnya dan menawarinya sebuah pisau kecil dengan ukiran ular meliliti gagangnya. Allawi memeriksanya dan berkata, dia tahu bagaimana cara melenyapkan pisau itu. Dia duduk di tengah-tengah toko, dan setelah tigapuluh detik berkonsentrasi dan dua tetes airmata, pisau itu lenyap. Wanita itu marah dan mengusirnya.
Allawi pergi dan balik lagi keesokan harinya. Dia bilang, hanya ingin berbincang dengannya, tapi wanita itu tak mau dengar. Dengan nada sengit dan mengancam, Allawi berkata kepadanya bahwa dia bisa melenyapkan seluruh pisau di toko sekaligus.
Wanita itu menarik golok daging besar dari salah satu rak dan mengacungkannya di depan wajah Allawi.
“Apa maumu, bocah setan?” teriaknya.
“Tak ada. Cuma mengobrol.”
Allawi duduk bersila di lantai dan menanyai wanita itu apakah dia ingin melihat peragaan lain dalam penghilangan pisau. Dia tak membalas, hanya memandanginya dengan curiga dan memegang golok itu dengan tangannya. Langsung saja, Allawi mulai bercerita tentang anugerah yang bisa meraibkan pisau dan memunculkannya kembali dan tentang kelompok kami. Bodoh sekali dia, karena kami amat waspada dalam membicarakan tentang kelompok pada orang luar, tetapi Allawi telah menghabiskan banyak waktu di pasar dan tak keberatan memamerkannya kepada orang lain.
Allawi berkata, “Warna muka wanita itu berubah sewarna tomat ketika aku bicara soal sihir pisau. Dia duduk di kursi di depanku dan meletakkan golok di pangkuannya. Kemudian dia mulai terisak sedih.” Lalu wanita itu mendadak berdiri, menutup pintu toko, menyeka airmatanya, dan bercerita kepadanya kisah toko pisau itu, setelah membuatnya berjanji jangan pernah mengungkap rahasia wanita itu.
Wanita itu memiliki lima anak perempuan, dan suaminya tewas ketika bom mobil meledak di depan Kementerian Dalam Negeri, tubuhnya terbelah dua. Sebuah malapetaka.
Wanita itu tak tahu sama sekali bagaimana cara dia bisa membesarkan putri-putrinya. Kedukaannya atas mendiang suaminya menghancurkan hatinya dan mengganggu tidurnya. Dia bermimpi buruk, disaksikannya seorang lelaki bertubuh besar menyembelih suaminya menggunakan pisau. Mimpi buruk itu kerap terulang, dan setiap waktu si lelaki menyembelih suaminya memakai pisau berbeda. Umm Ibtisam berkata kepada Allawi dia tak paham mengapa pisau-pisau itu muncul dalam mimpinya.
Sebulan setelah mimpi buruknya dimulai, Umm Ibtisam menemukan sebilah pisau di halaman belakang rumahnya. Itu pisau kuno. Dia menghubungi saudara lelakinya karena waspada dengan kemunculannya yang mendadak. Adiknya mulai bertanya-tanya kepada para tetangga soal pisau itu, tapi tidak ada yang mengakui pisau itu milik mereka. Pisau itu menumbuhkan minatnya. Katanya, pisau itu seperti barang antik. Dia menenangkan saudarinya dan berkata dia akan meminta putra sulungnya untuk menginap beberapa malam bersamanya dan anak-anaknya. Adiknya itu datang kembali beberapa minggu kemudian dengan membawa sejumlah besar uang, setelah menjual pisau itu di pasar barang antik. Diceritakan olehnya bahwa pisau itu bernilai tinggi dan berasal dari zaman Usmaniyah. Si adik berkelakar, “Semoga kau temukan pisau lainnya dan membuat kita kaya raya.”
Umm Ibtisam berkata mimpi-mimpi itu kemudian berhenti. Namun, di tempat yang sama di halaman belakangnya enam pisau muncul, kali ini pisau dapur. Umm Ibtisam menyimpan pisau-pisau itu, dan kali ini tak bercerita kepada saudaranya. Pisau-pisau terus bermunculan, dan pada akhirnya dia bercerita lagi kepada adiknya. Dia tak bercerita kepada orang lain rahasia pisau-pisau itu, karena mereka menunggu untuk melihat sampai seberapa lama pisau–pisau itu muncul di halaman. Pisau-pisau itu tetap saja bermunculan, tapi jarang muncul yang antik. Satu kali, sebilah pisau dari zaman Abbasiyah muncul; adiknya menjualnya di pasar gelap dengan harga mahal. Dia berkata kepada saudarinya bahwa Allah memenuhi penghidupannya beserta putri-putrinya karena suaminya terbunuh tanpa alasan.
Dia menyarankan untuk membuka toko untuk menjual pisau-pisau itu. Saudaranya menyewa sebuah toko kecil di dekat rumah wanita itu, dan begitulah mulanya Umm Ibtisam mulai menjual pisau. Umm Ibtisam meminta Jaafar berjanji menjaga rahasianya, karena ini penghidupannya. Dia tak menambahi keterangan apa pun selain yang telah diceritakannya kepada Allawi, yang telah mengundangnya mengikuti pertemuan kami. Jaafar bersumpah atas nama Allah dan kehormatannya bahwa dia akan menjaga rahasianya, dan mengundangnya ikut bergabung ke dalam kelompok. Tapi dia menampik tawaran itu, karena ia tak ingin diganggu. Souad memeluk Umm Ibtisam, berurai air mata, mungkin karena sifat aneh penderitaan dalam hidupnya.
Souad mengantarnya hingga pintu dan memberikan sekantong penuh kue-kue, seraya berkata, “Bingkisan sederhana untuk para gadis.”
Kami membisu. Jadi, ada pisau-pisau muncul di tempat lain. Itu berarti jalan ceritanya makin menarik.
Kami semua merokok – Jaafar, Salih, Allawi, dan aku, dan bahkan Souad, yang menarik sebatang rokok dari bungkusku, meskipun dia tak biasanya merokok. Kami memerhatikan tebalnya kepulan asap rokok di kamar dan membuncahlah tawa kami terbahak-bahak berbarengan. Jaafar mulai terbatuk-batuk seperti seorang pria jompo. Kami keluarkan pisau-pisau kami dan mulai bermain. Kuceritakan kepada mereka tentang kitab paling awal dalam penafsiran mimpi, yang muncul dalam tablet dari kota Sumeria Lagash. Kisah itu menceritakan Gudea, penguasa Lagash, yang tengah bersembahyang di kuil ketika mendadak dia tertidur.
“Aku pergi kerja,” kata Salih dalam suara mirip perempuannya, dan berlalu.
4
Setahun sesudah aku lulus Sekolah Guru, Jaafar si wasit tiba-tiba menghilang. Tak ada RS atau kantor polisi yang kami lewatkan untuk mencarinya. Kami menghubungi orang yang punya kaitan dengan beberapa kelompok bersenjata dan geng penculik. Namun, sia-sia. Tampaknya bumi telah menelannya, seperti ribuan orang lain di negeri ini. Souad sedang hamil dua bulan dan menunda studinya di Sekolah Kedokteran. Aku sangat mencemaskannya. Dia frustrasi dan sedih, seperti seekor burung yang sayapnya patah dalam badai.
Anak-anak di Sektor 29 pun sedih atas menghilangnya Jaafar. Mereka mengorganisir sendiri turnamen sepakbola untuk tim-tim dari sektor lain dan menyebutnya Turnamen Sang Wasit Jaafar. Mereka mengirimiku undangan untuk mewasiti pertandingan final.
Hari-hari berlalu dengan lamban dan muram, seperti wajah menyedihkan negara ini. Perang-perang dan kekerasan seperti mesin fotokopian yang memuntahkan salinan-salinan, dan kami semua mengenakan tampang yang sama, sebuah wajah yang terbentuk oleh rasa sakit dan siksaan. Kami saling kelahi demi setiap butir gandum yang kami makan, bermuram durja akibat kesedihan dan ketakutan yang dtimbulkan oleh hal-hal yang tak diketahui dan yang tampak. Aksi pisau kami tak lagi jadi sumber kesenangan, karena waktu telah melenyapkan bakat misterius kami. Kami rontok satu demi satu, seperti manekin potel. Kelompok kami bubar. Tak ada lagi pertemuan atau diskusi. Kebencian telah menggilas jari jemari kekanakan kami, meremukkan tulang kami.
Tak mudah bagi lulusan baru sepertiku untuk mencari kerja. Kelompok keagamaan telah membuka madrasah yang mengajari anak-anak menghafal Quran. Mereka menawariku kerja di sekolah mereka sampai aku dapat kerja di pemerintahan, jadi, aku terlibat dalam pengajaran Quran untuk anak-anak dan menghentikan kegiatan berpisau. Dari waktu ke waktu aku menulis sajak-sajak yang marah, agresif, dan tak bermakna.
Allawi pindah ke ibukota dan mengamen berkeliling kota-kota di selatan. Dia bertandang ke pasar-pasar memamerkan kebolehannya meraibkan pisau-pisau, tapi penghasilannya amat sedikit. Kemudian kami mendengar kabar terbarunya: Dia menyelinap ke restoran dan ditangkap karena mencuri pisau-pisau di dapur. Dia dikirim ke penjara dan kami tak pernah lagi mendengar kabarnya. Souad, dengan bersahabat dan rasa sayang, melanjutkan mengunjungi Salih si jagal untuk mengembalikan pisau-pisaunya, dan sebagai balasannya Salih memberi kami potongan daging terbaik yang dimilikinya.
Pada satu pagi di musim dingin aku di madrasah tengah mengajari anak-anak Ayat Besi Quran ketika kepala sekolah masuk ke kelas dan mengabariku bahwa ada seorang pemuda aneh yang hendak bicara kepadaku tentang sesuatu yang penting.
Pemuda itu jangkung dan berusia dua puluhan tahun, namanya Hassan. Dia ingin mengobrol denganku perihal Jaafar si wasit. Aku minta ijin kepala sekolah untuk rehat dulu dan pergi ke kedai kopi terdekat dengan si pemuda. Kami memesan teh dan dia menceritakan kepadaku kejadian yang menimpa Jaafar: Tentara kemanan telah membebaskan beberapa sandera dari persembunyian teroris; Hassan salah satu yang dibebaskan. Katanya, dia berjumpa dengan Jaafar di tempat di mana mereka mengurung sandera, sebuah rumah di perkebunan di pinggiran luar ibukota. Mereka menculik Jaafar karena dia menjual majalah porno di lingkungan orangkaya tempat tinggal para polisi. Hassan bercerita tentang betapa brutalnya dia disiksa.
Para teroris mengatai Jaafar bahwa Allah mengazabnya saat kakinya diamputasi selama perang, tapi Jaafar tak bertobat dan tetap menjual foto-foto cabul dan asusila. Jadi, para teroris memutuskan untuk memenggal tangan Jaafar sebagai pelajaran bagi siapa pun orang jangak tak beriman. Para teroris mengumpulkan para sandera untuk menyaksikan proses pemotongan tangan Jaafar. Mereka tak bisa mempercayai yang terjadi selanjutnya. Hassan bercerita, setiap kali para teroris mendekati Jaafar, pedang yang mereka pegang raib, dan air mata bercucuran dari matanya. Para teroris tak punya lagi satu pun pedang atau pisau yang tersisa. Mereka takut pada Jaafar dan menganggapnya iblis. Mereka menelanjanginya di hadapan kami dan menyalibkannya di tembok. Mereka menggodamkan paku ke telapak tangannya, dan dia mulai menggeliat-geliat kesakitan, telanjang, dengan kaki buntungnya. Mereka memutuskan untuk mengutungi tangannya dengan peluru. Dua lelaki berdiri di hadapannya dan memberondongkan peluru ke tangannya. Satu peluru mengenai jantungnya, dan dia langsung mati. Mereka menyeret mayatnya ke sungai, mengumpulkan dahan-dahan kering, dan menuangkan bensin ke mayatnya. Mereka membakarnya sambil menggemakan, “Allah maha besar.”
Souad dan aku memperoleh putra yang tampan, dan kami menamainya Jaafar. Aku meneruskan bekerja di madrasah. Aku tak pernah siap untuk bercerita kepada Souad tentang nasib kakak lelakinya. Aku menahankan efek kengerian yang ditimbulkan oleh kematiannya, dan makin membesar cintaku pada Souad. Dia satu-satunya harapanku dalam hidup. Dia kembali kuliah di Sekolah Kedokteran, dan waktu mulai menyembuhkan luka, secara perlahan dan cermat.
Umm Ibtisam mengunjungi kami. Situasi keuangannya membaik secara menakjubkan. Dia bilang, kami orang-orang baik dan dia tak melupakan kami. Dia menawari kami untuk membuka toko besar untuk kami berjualan pisau.
Bisnis kami menguntungkan, meskipun terkadang secara tak sengaja aku meraibkan satu-dua pisau. Di malam hari aku mulai dengan menciumi jari kaki Souad, lalu merayapi pahanya, lalu ke pusarnya, payudaranya, ketiaknya dan leher, hingga kucapai telinganya, dan kemudian aku akan berbisik, “Sayangku, aku butuh bantuanmu!”
Dia akan mencubit bokongku, lalu merangkak naik ke atas dadaku, mencekikku dengan tangannya, dan berkata, “Hah, dasar sial, berapa banyak pisau yang kau raibkan? Tak akan kukembalikan sampai kau menciumiku seribu satu kali.”
Kuciumi setiap pori-pori tubuhnya dengan bergairah dan takzim, seolah dia merupakan kehidupan yang akan lekas hilang.
Saat Jaafar muda berusia lima tahun, bakatnya muncul: Seperti ibunya, dia mampu memunculkan pisau-pisau kembali.
***
Cerpen diterjemahkan dari karya Hassan Blasim
Hassan Blasim adalah penulis cerpen, penyair dan sutradara film Irak yang pindah tinggal ke Finlandia setelah mengalami masalah saat membuat film di Irak bagian utara, wilayah Suku Kurdi, pada 2004. Dia menulis karya-karyanya dalam bahasa Arab. Seribu Satu Pisau merupakan terjemahan dari A Thousand and One Knives yang termuat dalam kumcer The Corpse Exhibition yang diterbitkan Penguin AS pada 2014 dan dalam kumcer The Iraqi Christ (Comma Press, 2013). Penerjemahan ke bahasa Inggris oleh Jonathan Wright. Kumcer The Corpse Exhibition memenangi beberapa penghargaan, termasuk English Pen’s Writers in Translation Programme Awards. Blassim menjadi penulis Arab pertama yang memenangi Independent Foreign Fiction Prize berkat The Iraqi Christ.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …