Buku adalah jendela dunia, dan kegiatan membaca buku merupakan suatu cara untuk membuka jendela tersebut agar dapat mengetahui lebih tentang dunia yang belum kita tahu sebelumnya. Oleh karena itu, kebiasaan membaca harus ditumbuhkan sejak usia dini.
Berdasarkan studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan oleh Central Connecticut State University, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Itu artinya Indonesia menduduki peringkat ke-2 yang diurutkan dari bawah.
Pentingnya pendidikan dari rumah untuk anak-anak agar menumbuhkan minat baca menjadi tantangan bagi para orang tua untuk membangun generasi yang cemerlang dan tak gagap prioritas.
Dilihat dari sisi psikologis, kebiasaan bedtime story oleh orangtua kepada anaknya bermanfaat untuk mendorong rasa ingin tahu yang berdampak meningkatkan minat baca anak sejak usia dini. Sedangkan sosiologis memandang, untuk dapat meningkatkan kebiasaan membaca di Indonesia, perlu terlebih dahulu menanamkan persepsi, ketertarikan, dan kesadaran generasi muda akan manfaat membaca buku sebagai jendela dunia dan inspirasi kehidupan.
Hari ini kebiasaan membaca buku telah berubah. Sejak zaman Socrates sudah galib ditemukan jika membaca buku medium kertas adalah perantara teks demi teks yang kemudian dikonsumsi mata dan akal. Namun, di zaman big data ini membaca buku bisa dilakukan melalui gawai pintar, tablet, maupun komputer jinjing.
Pelan tapi pasti e-book atau e-reader telah banyak digunakan. Pada 2017, sebagaimana dilansir Techcrunch, Amazon mengumumkan 80 persen pengguna Kindle membaca sambil menggunakan fitur yang tersedia pada Kindle. Perubahan medium bacaan menjadi keniscayaan.
Meski demikian, bagi novelis Amerika Serikat, Ray Bradbury, dalam wawancaranya dengan Paris Review beberapa waktu lalu menyebutkan, buku—berbeda dari ‘mesin’—bahkan istimewa dalam hal cara orang memegangnya. Ada Aroma kuat dari setiap lembarnya yang sulit ditemukan padanannya dengan perangkat elektronik.
Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan CEO salah satu distributor buku yang bergerak secara independen berinisial MD. Sambil berbincang dan makan nasi goreng MD menyebutkan jika 10-15 tahun ke depan penjualan buku fisik, setidaknya di Indonesia, masih tetap akan bertahan, tak peduli dengan serbuan progresif buku elektronik. Orang Indonesia cenderung lebih menyukai aroma kertas buku, tambah pemuda yang digadang-gadang sebagai pesaing terberat distributor besar buku di Indonesia saat ini.
Secara terpisah MD juga sempat mengatakan jika dirinya pernah mengirim buku berjumlah ratusan pada pembeli yang berbeda-beda. Pesanan dan pengiriman tersebut tak lebih dari hitungan 72 jam. Membuat studi Most Littered Nation In the World yang dilakukan Central Connecticut State University patut dipertanyakan ulang.
Dielukan sebagai pesaing terberat distributor besar dan berpengalaman disuntangani oleh novelis termasyhur tak membuat MD tinggi hati, sebaliknya ia rupanya pemalu. Pemuda berkacamata yang sering mengenakan Hoodie dengan tampilan sedikit subur ini enggan mendapat sorotan publik yang terlalu sering. Ada sedikit kemiripan dandanan antara Elliot Alderson, tokoh utama dalam serial Mr. Robot dan pemuda berinisial MD ini.
Selamat! Kini Anda sudah paham kenapa saya menyematkan inisial.
Apakah membaca buku mengautomasi kemampuan menulis?
Hampir dipastikan seseorang yang hobi membaca juga terampil dalam menulis. Jika ada seseorang yang mengalami writer block alias menemui jalan buntu ketika menulis, itu berarti orang tersebut kurang banyak membaca, begitulah yang disampaikan Zen RS, penulis Simulakra Sepakbola yang belakangan berperan sebagai Editor at Large Tirto.id. Bayangkan terdapat lebih dari 20.000 kosakata Bahasa Indonesia, namun yang digunakan orang Indonesia dalam kesehariannya tak lebih dari 5.000 saja, ujarnya, bersemangat.
Manfaat menulis sendiri memang banyak, salah satunya adalah sebagai terapi pikiran. James W. Pennebake, psikolog yang mengajar di Southern Methodist University, Amerika Serikat, menganjurkan agar konsistenlah dalam menulis. Dalam hal ini adalah menuliskan apa yang ada dalam hati dan pikiran. Menurutnya, menulis adalah bagian dari terapi hati dan pikiran yang pada gilirannya dapat merilis tekanan dari berbagai macam stimulasi.
Saya sendiri sepakat dengan Pennebake bahwa menulis merupakan salah satu terapi hati dan pikiran yang dapat merilis berbagai tekanan hidup, paling tidak salah satunya. Saya pernah mengalami titik terendah dalam hidup, atau sebut saja segala kebalikan dari titik kulminasi. Yang membuat terminologi amor fati hanyalah lelucon belaka. Sebuah komedi berdiri. Ketika masa itu menghampiri, saya melakukan satu hal yang tampak remeh temeh ternyata sangat membantu: menulis.
Kendati demikian, untuk menulis dengan baik dibutuhkan membaca buku dengan tekun. Agar wawasan mengenai berbagai hal semakin bertambah, terutama pengalaman menemukan kosakata baru, sehingga memungkinkan kita untuk menemukan manfaat-manfaat baru. Begitupun juga yang dilakukan oleh 3 orang kesohor dalam dunia teknologi yang sejak kecil terkenal dengan rajin membaca buku. Bill Gates, Mark Zuckerberg, dan Elon Musk. Rupa-rupanya Trio Milyuner ini tak mampu melepaskan buku dari kehidupan sehari-harinya.
Bill Gates misalnya, pendiri perusahaan Microsoft ini sejak kecil hobi sekali membaca buku. Bahkan, menurut orang tua orang terkaya di dunia versi majalah Forbes ini pernah membuat aturan dilarang membawa buku ke kamar. Gates kecil, saking sukanya membaca buku tak jarang ia membawanya ke tempat tidur.
Beberapa buku yang direkomendasikan Gates antara lain The Best We Could Do oleh Thi Bui, Believe Me: A Memoir of Love, Death, and Jazz Chickens oleh Eddie Izzard. Tak hanya itu Gates pun tak ragu menuangkan pemikiran-pemikirannya di blog pribadinya.
Lalu ada Mark Zuckerberg, yang juga CEO Facebook ini dekat dengan berbagai buku. Pendiri Facebook karena ‘keisengan’ ini menyebut dengan membaca buku kita bisa mengetahui banyak hal baru di agama maupun budaya yang berbeda. Zuckerberg memang dikenal menyukai budaya dan sejarah.
Tak terkecuali juga dengan pendiri PayPal, SpaceX, Tesla, dan baru-baru ini Boring Company. Siapa lagi kalau bukan Elon Musk, selain dikenal memiliki hobi mengisengi (Dengan guyonan) karyawannya, ia juga dikenal gemar membaca buku. Di awal karirnya sebagai programmer, Musk bahkan mempelajari pemrograman komputer dari buku. Adapun beberapa buku yang digemari oleh Musk antara lain The Lord of The Rings karya J.R.R. Tolkien dan Zero to One yang ditulis oleh Peter Thiel.
Ketiga orang tersebut menyadari betapa membaca buku bukanlah persoalan sepele belaka, lebih jauh lagi agar nampak terlihat pintar yang malah berlaku sebaliknya, dengan membaca buku sama pentingnya dengan mengembangkan produk baru yang inovatif dan bermanfaat bagi banyak orang. Meminjam penggalan lirik Efek Rumah Kaca dalam lagunya yang syahdu nan membuai; karena setiap lembarnya mengalir berjuta cahaya, karena setiap aksara membuka jendela dunia.
You might also like
More from Bermain
Mainan Tradisional Jaman Dulu: Warisan Budaya yang Membangkitkan Nostalgia
Mainan Tradisional Jaman Dulu: Warisan Budaya yang Membangkitkan Nostalgia Mainan tradisional jaman dulu memiliki pesona tersendiri yang membedakannya dari mainan modern. …
Mainan Jaman Dulu yang Terlupakan
Mainan Jaman Dulu yang Terlupakan Di sudut-sudut desa dan lorong-lorong kota, masih tersimpan kenangan tentang mainan jaman dulu yang kini mulai …
Nostalgia dan Dinamika Suara Radio Elshinta Jakarta
Nostalgia dan Dinamika Suara Radio Elshinta Jakarta Awal Mula Elshinta: Melodi dan Berita di Udara Jakarta Radio Elshinta resmi diluncurkan pada 14 …