Lara,
Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring nelayan, ada sesuatu yang mendesak untuk keluar, yang tak bisa lagi hanya kusimpan dalam kotak berdebu bersama kenangan kita yang lain.
Malam terakhir kita sebelum kau berangkat ke Zurich masih jelas di ingatanku. Senyummu seperti matahari yang tenggelam di ufuk barat, memberikan cahaya terakhir sebelum gelap. Air mata yang kau usap diam-diam seperti hujan gerimis di musim kemarau, dan genggaman tanganmu yang terasa kuat namun juga rapuh, seperti ranting pohon yang siap patah. Kau berkata kita akan baik-baik saja, bahwa jarak tak akan memisahkan kita. Namun, jauh di dalam hati, aku tahu bahwa malam itu adalah awal dari akhir.
Setiap kali aku pergi ke tempat-tempat favorit kita, seperti kafe kecil di sudut jalan atau taman di mana kita biasa berjalan-jalan, atau gang kecil-kecil belakang kompelk, hatiku seolah teriris-iris. Rasanya seperti ada lubang besar yang tidak bisa diisi dengan apa pun, seperti perahu nelayan yang karam di tengah lautan. Semua itu hanya mengingatkanku pada kenyataan bahwa kau tidak lagi di sini, bahwa kita tidak lagi bisa berbagi momen-momen sederhana tapi berharga itu.
Lara, aku mencoba tegar. Aku mencoba menjalani hariku seperti biasa, bekerja keras dan berusaha tersenyum di depan keluarga, teman-teman, dan makam Mama. Tapi, setiap malam, ketika aku sendirian, bayanganmu selalu datang menghantuiku. Aku membuka kotak berisi foto-foto kita, barang-barang kecil yang dulu penuh makna, dan surat-surat yang tak pernah kukirimkan. Setiap kali, rasa sakit itu datang kembali, lebih tajam dan menyakitkan dari sebelumnya, seperti duri yang menusuk daging.
Aku melihat fotomu di media sosial, bersama teman-teman barumu di bawah pengunungan beku, sebeku diriku kini. Kau terlihat bahagia, seolah-olah kehidupan barumu telah memberimu kebahagiaan yang mungkin tidak bisa kuberikan. Aku senang melihat senyummu, tapi juga hancur karena tahu aku bukan lagi bagian dari dunia itu. Seperti kapal yang berlayar menjauh, kau telah meninggalkan dermaga tempat aku berdiri.
Maafkan aku, Lara, jika aku terlalu lemah untuk melupakan. Maafkan aku karena tidak bisa berada di sisimu saat kau memulai petualangan baru. Aku selalu merasa bersalah, merasa gagal sebagai kekasihmu, seperti petani yang kehilangan panennya karena badai.
Mungkin aku harus belajar untuk merelakan, untuk menerima bahwa kita telah memilih jalan yang berbeda. Tapi hingga saat itu tiba, izinkan aku untuk mencintaimu dalam diam, dalam surat-surat yang tak pernah sampai, dan dalam kenangan yang selalu kusimpan dalam hati. Seperti pelaut yang menunggu angin baik, aku akan menunggu, meski tahu harapan itu mungkin sia-sia belaka.
Dengan penuh kerinduan,
Maman
More from Fiksi
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …