Teta menatap sisa-sisa hujan yang masih menggenang di teras depan rumahnya. Bagi sebagian orang, kondisi seperti ini bisa saja menjadi puisi atau lirik lagu. Tapi tidak untuk perempuan dengan rambut hitam sebahu itu. Baginya, hujan membawa kenangan buruk beberapa tahun silam.
Teta sama sekali tak membenci hujan atau anti terkena hujan.
Bukan hujannya.
Hanya saja kenangan yang dibawa hujan yang masih saja sering menusuk-nusuk perasaannya. Rasanya seperti mencoba menghindari sesuatu yang pasti.
Rintik hujan mengingatkan Teta pada rasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum pada bagian perutnya. Genangan yang ditimbulkan hujan mengingatkan pada air mata Ibu saat Teta berumur enam tahun. Waktu itu Teta juga sering menangis. Apalagi saat perutnya melilit kelaparan.
Dan Ibu tak bisa memberinya apa-apa selain air mata yang terus mengalir dari kedua mata sayunya.
“Aku pernah merasakan lapar yang benar-benar lapar, Ajam.”
Ajam balas menatap Teta. Dia hapal betul kebiasaan perempuannya ini saat mereka ‘menikmati’ momen hujan turun.
“Waktu itu aku dan Ibu belum makan dua hari setelah kami diusir dari rumah keluarga almarhum Ayah….” Teta tersenyum masam.
“Kau menangis karena perutmu sakit?” tebak Ajam.
Teta mengangguk. Ajam menangkap luka di mata indah Teta tiap ia bercerita tentang kenangannya tentang hujan.
“Saat aku mulai menangis, Ibu akan ikut menangis. Kau tahu, aku tak bisa menebak apa yang ada di pikiran Ibu saat itu. Bahkan sampai sekarang, aku tak tahu apa yang di pikirkan Ibu ketika ia masuk ke toko kelontong dan mencoba mencuri roti… untuk mengganjal perut kami.
“Waktu itu hujan turun… sangat deras, Ajam….”
“Teta….”
Arteta menggeleng. “Aku tidak apa-apa,” katanya sambil tersenyum tipis. “Tiap kali aku bercerita tentang kejadian itu, aku pasti tak sanggup menyelesaikannya. Kau tentunya penasaran kelanjutannya ‘kan?”
Ajam memang penasaran. Sudah puluhan kali ia mendengar cerita yang sama dari bibir kekasihnya. Tapi cerita yang sama selalu berakhir di bagian saat ibunya mencuri roti. Setelah itu, Teta akan menangis dan Ajam tak tega memintanya melanjutkan cerita.
“Ibu mungkin benar-benar tak punya uang sampai harus mencuri dua bungkus roti saat itu…. dan kami ketahuan oleh pemilik toko.
“Beruntung, pemilik toko tak melaporkan kami ke polisi. Hanya saja ia mengajukan syarat yang kelak akan mengubah jalan hidupku…” Mata Teta mulai berkaca-kaca.
Ajam menggerakkan tangannya untuk menggenggam tangan Teta, berharap genggamannya bisa mengalirkan kekuatan.
“Sejak hari itu aku harus berpisah dengan Ibu… Pemilik toko membawaku ke panti asuhan sedangkan Ibu dibawa pergi bersamanya. Kalau Ibu menolak, pemilik toko mengancam akan melaporkan kami berdua ke kantor polisi. Selama dua bulan di panti asuhan kerjaanku hanya menangis mencari Ibu. Bulan keenam aku di panti, ada sebuah keluarga yang mengadopsiku. Ya, mereka keluargaku yang sekarang….”
Ajam cukup terkejut dengan cerita Teta. Ia baru tahu kebenarannya. Ia baru tahu kalau orang tua perempuan yang disayanginya itu ternyata bukanlah orang tua kandungnya.
“Aku pernah mencari Ibu di tempat terakhir kali kami dipisahkan. Sayangnya ruko itu telah dijual. Aku kehilangan jejak Ibu. Aku bahkan mengunjungi rumah keluarga Almarhum Ayah. Tapi mereka yang memang sejak aku masih di dalam kandungan sangat membenci aku dan Ibu, tak mau mengakuiku dan kembali mengusirku.” Kali ini air mata menetes di pipi Teta.
“Beruntung orang tua angkatmu adalah orang yang sangat baik.” Ajam meremas tangan Teta.
Perempuan bergigi gingsul itu tersenyum sambil mengangguk pelan. “Mereka sangat baik. Aku diasuh seperti anak kandung mereka.”
“Apakah kamu masih mau mencari Ibu kandungmu? Aku bisa membantu kalau memang–”
“Aku sudah menemukannya, Ajam.” Teta memandang Ajam lekat. Cara pandang yang menurut Ajam penuh dengan kesedihan, luka, dan amarah sekaligus.
“Oh, ya? Syukurlah… Bagaimana keadaannya?” Ajam terlihat senang.
Teta memaksakan diri untuk tersenyum. “Setelah enam belas tahun berpisah dengannya, akhirnya aku menemukannya beberapa hari lalu… aku masih ingat betul wajah ibuku, meski rambut dan wajahnya sudah menua.”
“Di mana sekarang ibumu tinggal? Apa dia baik-baik saja?”
“Ibuku… telah menjadi istri pemilik toko tempat ia mencuri roti waktu itu. Setahun setelah aku dibawa ke panti asuhan.”
Tanpa sadar Ajam mengembuskan napas lega.
Teta masih menatap mata kekasihnya. Mencari adakah celah untuknya kini bahagia dengan lelakinya?
“Ajam….”
“Hmm….”
“Ibuku… aku menemukannya di rumahmu saat kau membawaku bertemu kedua orang tuamu,” kata Teta dengan suara tercekat. “Ibuku… adalah istri ayahmu, Ajam.”
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …