Entah kapan kira-kira tepatnya saya mulai mengenal perkakas masak itu: panci presto. Jika ingatan saya tak berkhianat, saya melihat wujud panci presto pertama kalinya ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Saat itu mungkin, saya menonton sebuah demo memasak di rumah tetangga sebelah. Atau lebih tepatnya demo mempraktekkan kecanggihan (dan keajaiban?) alat-alat masak modern.
Seorang sales dengan pakaian yang necis menjajakan beragam peralatan masak itu di sana. Setelah memperkenalkan diri dan barang daganganya, ia mulai mendemonstrasikan alat-alat itu. Yang pertama, adalah wajan teflon. Ia menumis gula pasir yang dibikin meleleh, lalu dituangkannya jagung kering. Kemudian jagung-jagung itu merekah dan jadilah berondong jagung. Saya sempat mencicipinya, dan ternyata enak.
Setelah itu, ia membuka alat selanjutnya, sebuah panci dengan penutup yang aneh. Saat itu, saya tak tahu namanya.
“Inilah panci presto ajaib ibu. Dalam waktu sepuluh menit saja, apapun yang ibu masak dalam panci ini akan langsung matang dan lembut.”
Para ibu-ibu hanya bisa menatap alat itu dengan takjub. Sedangkan kami, para bocah yang belum akil baligh, masih sibuk berebut jagung berondong.
Dan benar, ketika sang sales memasukkan sekerat daging ke dalam panci itu, jadilah daging itu tanak hanya dalam waktu 10 menit saja. Cepat sekali, batin saya. Lembut dan matangnya pas. Bim salabim, semua berkat panci presto.
Ibu saya tentu saja terjerat dengan kehebatan panci presto itu. Dan akhirnya ia pun membeli seperangkat alat masak itu dengan sistem kredit. Tanpa sepengetahuan ayah. Ia mencicil dari sisa uang belanja.
Sejak itu, ibu saya suka sekali memasak apa pun dengan panci presto. Daging ayam dan daging sapi yang biasanya direbus saja dipanci biasa, kini selalu direbus dengan panci presto. Dan memang, rasanya jauh lebih nikmat. Semuanya lunak dan lembut. Bahkan sampai tulang belulangnya. Sungguh, saya berterima kasih atas keajaiban panci presto itu.
Panci presto memang punya cara kerja yang unik. Panci ini mengadopsi beberapa pripsip fisika sederhana, yaitu tentang sifat-sifat dasar uap. Panci presto dibekali tutup yang lebih rapat ketimbang panci model biasa. Bahkan, desainnya memang khusus dibuat agar bisa dipress atau ditekan.
Nantinya, uap akan terhalang kerapatan tutup dan akhirnya menimbulkan tekanan panas yang luar biasa. Ini disebabkan karena uap yang harus mengepul dibiarkan tertahan di dalam panci.
Karena tekanan yang luar biasa itu, maka timbullah suara dari lubang kecil tutupnya. Saya suka sekali mendengarkan suara berisik panci presto itu. Suara yang bersumber dari tekanan uap yang mengebul itu memang terdengar cukup melodius. Suaranya seperti perpaduan antara kerisik daun dan lengkingan peluit.
Maka sejak saat itu, panci presto membetot imajinasi saya untuk memikirkan banyak hal. Andaikan semua hal yang liat dan keras bisa dibikin lunak dan lembut hanya dengan panci presto.
Saya bayangkan panci presto ini bahkan bisa melunakkan batu. Mungkin, kisah tentang ibu yang memasak sebongkah batu itu tak bakal jadi kisah aru. Dan tentu saja, di dunia ini takkan mungkin ada busung lapar. Batu bisa dimasak sampai jadi lunak dan enak.
Atau saya bayangkan panci presto ini bisa melunakkan hati para perempuan yang pernah menolak cinta saya. Saya barangkali takkan pernah patah hati.
Namun, imajinasi-imajinasi tentang panci presto itu langsung mentok, ketika saya membayangkan wajah para politikus di negeri ini. Imajinasi saya seperti membentur tembok baja yang kokoh.
Saya kira, kedunguan dan kebebalan orang-orang itu kelewat alot. Bahkan, imajinasi liar saya pun tak bisa mencapai itu.
Membayangkan orang-orang di parlemen melakukan hal-hal yang semestinya seperti sebuah cita-cita utopis. Pada titik itu, panci presto pun tak bakal bisa melunakkan hati mereka pada rakyat. Rakyat yang diam-diam mereka jarah dengan pajak dan kebijakan-kebijakan aneh.
Barangkali, benar kata seloroh seorang kawan: terus bekerja, jangan berharap pada negara!
Maka sebaiknya kita berharap saja pada panci presto.
You might also like
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …