Saya tidak ingat kapan tepatnya pertama kali menonton film Star Wars. Namun, untunglah ingatan saya masih menyisakan satu fragmen samar-samar ketika suatu sore yang hangat di tengah keriuhan sebuah acara pernikahan (atau mungkin sunatan; saya tidak begitu yakin) saat mas-mas yang disewa untuk memutarkan video memainkan film ini. Iya, jika kalian menikmati film ini di bioskop yang nyaman dan sejuk itu, saya berkenalan dengan film perang bintang ini melalui kaset video yang diputar di tengah keramaian pesta hajatan; hiburan yang biasa dipentaskan di pedesaan di masa dahulu, ketika saya masih kecil.
Ketika itu, saya yang belum akil baligh terkagum-kagum dengan pesawat berukuran besar yang mampu terbang tinggi hingga ke ruang angkasa; melesat dengan kecepatan cahaya, juga dengan kekuatan magis para ksatria Jedi, pedang laser yang suaranya berdengung-dengung seperti gumaman lebah, seragam prajurit yang futuristik, dan hal-hal lainnya dari film itu. Mungkin, hanya film Avatar karya James Cameron yang diputar tahun 2009 lalu yang bisa mengalahkan kekaguman itu. Bukan bermaksud membandingkan, tapi jujur bagi saya, hingga hari ini belum ada film yang lebih imajinatif, kreatif, tak terduga, luar biasa, gila, dari Avatar, ah… saya bahkan sampai menonton film itu dua kali, di bioskop yang sama.
Maka, setelah dipuaskan oleh seri pertama dari trilogy set ini, The Force Awaken (2015), saya menunggu-nunggu keluarnya seri kedua. Meskipun saya tidak menontonnya pada hari pertama tayang, saya meniatkan diri untuk secepatnya menonton dan itu terlaksana di hari Sabtu (16/12). Dan sekarang, saya sudah dalam masa tunggu untuk seri ketiga atau yang disebut juga episode IX yang direncanakan akan dirilis pada 20 Desember 2019 nanti.
***
Film The Force Awaken diakhiri dengan pemandangan sebuah pulau di planet Achch-To yang ada di galaksi paling sepi. Di pulau yang dikeliling samudera dan hujan lebat dengan angin kencang itu, pejuang wanita yang kisahnya menjadi bahasan utama di film sebelumnya bernama Rey itu berniat menemui sang legenda, harapan terakhir para pejuang, Master Luke Skywalker, ksatria Jedi terakhir yang masih hidup. Scene terakhir menampilkan wajah tuanya, seolah-olah ingin memberikan pesan pada kita bahwa ksatria yang sudah menua itu telah kehilangan semangatnya yang dulu menggebu-gebu. Ia seperti seorang lelaki tua biasa yang kelelahan dan dalam keputusasaan yang dalam hanya mampu merenungi beratnya beban yang ditanggung di pundaknya, tanpa bisa mengelak.
Maka menjadi wajar jika di awal film ini, Luke, sang master, alih-alih merasa senang, ia justru menolak. Ketika Rey berusaha membangkitkan ingatan Luke atas kejayaannya dengan memberikan lightsaber miliknya, ia justru membuangnya begitu saja, jatuh ke tepi samudera; sang master sudah menyerah, ia ingin melewati hari tuanya dan mati saja di pulau itu, sendiri dalam keadaan terlupakan.
Rey tak jera, ia sadar nasib alam semesta sedang dipertaruhkan. Maka, ia gigih mencoba terus membujuk sang master untuk kembali ke pertarungan antara terang dan kegelapan yang dipimpin oleh musuh bebuyutannya; Pemimpin Agung Snoke yang kejam, bersama muridnya, seteru Rey, Kylo Ren alias Ben Solo anak Han Solo dan Putri Leia yang dipenuhi kekuatan kegelapan. Dalam usahanya yang kukuh, Rey menemukan artefak-artefak Jedi di sebuah ruang, di dalam gua yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal Luke.
Hingga suatu ketika, terdapat momen di mana Luke menyerah dan mengajarkan pengendalian the force kepada Rey.
Luke Skywalker : “What do you know about the force?”
Rey : “It’s a power that Jedi have that lets them control people and… make things float.”
Luke Skywalker : “Impressive. Every word in that sentence was wrong.”
Selain itu, dalam usahanya mempelajari the force, Rey harus berjuang melawan kekuatan kegelapan yang mencoba menariknya dengan memanfaatkan kegelisahan Rey dengan masa lalu, juga asal-usul, dan orang tuanya.
Di tempat lain, markas para pejuang, Resistance, diserang dan dihancurkan. Putri Leia selamat. Namun para penyerang yang dipimpin Jenderal Hux, tak mau melepasnya dan terus mengejar hingga mampu mendesak para pejuang dalam posisi yang sangat sulit. Dalam keadaan genting itulah, jiwa para pejuang muncul, Finn yang popular di The Force Awaken kembali berjuang, yang kali ini dibantu oleh karakter baru bernama Rose, awak kapal berwajah oriental yang diperankan oleh Kelly Marie Tran, melalui pertemuan yang awalnya dari kesalahpahaman.
***
Secara umum film ini tak jauh dari gambaran film Star Wars yang lain, khususnya seri terakhir The Force Awaken. Film ini dipuji banyak kritikus, walau dicela oleh banyak fansnya. Hingga jika kita mengunjungi situs penilai atau aggregator film di sana akan nampak kontradiksinya. Jika biasanya para tukang kritik mencela, fans memuja, maka kini sebaliknya. Tapi mari kita lupakan soal penilaian dan rating.
Selalu ada yang mengejutkan dari film Star Wars. Di film sebelumnya, siapa sangka Han Solo, salah satu ikonnya, dihilangkan begitu saja dari film ini dengan cara yang sadis, dibunuh anak kandungnya sendiri. Begitu juga dengan film ini, ada tokoh yang juga dihilangkan alias dibunuh dengan cara yang mengenaskan. Seorang tokoh yang sakti mandraguna dibunuh hanya dengan satu gerakan kilasan pedang. Maka, sungguh wajar, jika fans yang sedari dulu menunggu-nunggu pertarungan dahsyat, saat disuguhi keremehtemehan seperti itu menjadi sangat marah dan kecewa. Ibaratnya menginginkan emas, yang datang justru besi batangan, yang sudah berkarat pula.
Tak lupa, Rian Johnson, sang sutradara juga bereksperimen dengan imajinasi. Kita akan bertemu dengan burung yang lucu, Porgs, yang mungkin hanya ada di film ini. Burung ini kemudian menghadirkan adegan dramatis yang lucu saat dipasangkan dengan Chewbacca. Selain burung, sang sutradara juga memunculkan seekor binatang dengan bentuk fisik seperti srigala namun bulunya terbuat dari kristal berkilauan. Kemudian, terdapat sebuah planet bernama Crait yang tanahnya berbentuk garam namun apabila diinjak berubah dari putih menjadi berwarna merah, seperti darah; dan lain sebagainya.
Namun, yang paling dahsyat di antara semuanya menurut saya adalah ketika Finn, yang masih diperankan John Boyega, dan Rose menjelajahi sebuah planet yang di permukaannya terdapat sebuah kota kecil bernama Canto Bight untuk mencari pemecah kode bernama DJ, yang diperankan Benicio Del Toro. Kota itu bukan kota biasa, melainkan kota yang mengingatkan kita akan pabrik-pabrik di pinggiran kota, tambang-tambang di pedalaman pulau, kantor-kantor mewah di kawasan pusat kota, dan pusat-pusat perbelanjaan.
Di sana, kita akan mudah menemukan buruh pabrik, penambang, karyawan level staff ke bawah dan juga sales dan pramuniaga yang setiap hari bekerja keras memerah keringat dan membanting tulang hanya untuk menyambung hidup; tanpa bisa menikmatinya-sekaligus menjadi sapi perah bagi para tuan-tuan pemilik modal. Iya, betul. Film ini menyuguhkan mantra kapitalisme.
Mantra yang pertama kali dilafazkan Adam Smith dan kemudian diteriakkan dengan kencang oleh John Calvin itu menggema dalam bentuk kota kasino mirip Monte Carlo yang megah; pelayan-pelayan seksi, minuman memabukkan, dan para pemain judi. Mereka menikmati kemewahan dan kemeriahan di atas tangis-rengek hewan seperti kuda namun dengan ukuran badan lebih besar, yang ditambatkan di belakang pintu; yang siap dilepaskan ke arena perlombaan oleh para budak; anak-anak yang dipekerjakan-bukankah ini sebuah pelanggaran; mungkinkah ini sebentuk kritikan terhadap mantra kapitalisme yang tak lagi manjur itu.
Maka, ketika dijelaskan bahwa kota itu bergerak dan tumbuh di atas kesengsaraan para budak-anak-anak, dan juga digambarkan sebagai markas penjualan senjata bagi para pihak yang berperang; the First Order dan Resistance, maka nampak semakin jelas; sentimen moral telah dilibas, yang dikejar hanya profit, keuntungan materi, mantra sakti kapitalisme diucapkan berulang-ulang tanpa henti, yang ironisnya digemakan oleh produk Hollywood; salah satu pusat berkumpulnya para kapitalis industri hiburan.
Maka ketika kota itu dihancurkan oleh simbol yang selama ini diremehkan, seolah-olah pengucap mantra sedang melakukan pertobatan atas kesalahannya.
***
Sehari setelah menonton film ini saya terhanyut dalam bacaan sejarah tentang keruntuhan khilafah Islam terakhir, Utsmaniah di Turki. Buku yang saya baca adalah karya Eugene Rogan, sejarawan Oxford, berjudul The Fall of Ottomans yang dijual di Indonesia menjadi The Fall of Khilafah.
Di masa itu, awal abad ke-20, banyak sekali negara-negara adidaya seperti Jerman, Turki, Inggris Raya, Austria-Hongaria, Perancis, dan Russia yang berperang dalam bloknya masing-masing. Namun, kita mengetahui saat ini, di antara negara yang telah disebut itu tak satupun yang masih pantas disebut adidaya-bahkan ada yang hilang dari peta dunia; sedangkan semua gelar adidaya sudah diambil Amerika Serikat, yang waktu itu tidak termasuk adidaya.
Kejatuhan sebuah negara adidaya adalah keniscayaan, yang kemudian digantikan oleh negara adidaya lain. Dan rasa-rasanya, film ini sedang menciptakan sebuah fondasi bagi munculnya generasi baru ksatria Jedi yang akan menghancurkan imperium dan the First Order, dan kemudian mendirikan jaringan kekuasaan yang baru. Karena barangkali, the Last Jedi itu sebenarnya tidak ada; karena akan selalu muncul ksatria Jedi baru yang sesuai zamannya.
Oh iya. Jika kamu kangen dengan Master Yoda yang bicaranya sering terbolak-balik itu, ia akan muncul sejenak dari kemoksaannya di film ini, yang walaupun sejenak bisa menjadi pengobat rindu sekadarnya. Mari kita dengar quotenya, lalu resapi : “The greatest teacher, failure is.”
You might also like
More from Tontonan
Sinopsis Sokola Rimba
Sinopsis Sokola Rimba Film "Sokola Rimba" merupakan adaptasi dari kisah nyata seorang wanita bernama Butet Manurung yang didedikasikan untuk memberikan pendidikan …
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …
Analisis Ending Film The Commuter
Analisis Ending Film The Commuter "The Commuter," sebuah film thriller yang dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan yang penuh …