Uty mencoba untuk memberanikan diri bertanya kepada Pak Abo.
“Pak, bapak tahu dengan Rentak Kibanaran?”
“Rentak Kibanaran itu yang tahu hanya Kemantan, tapi Kemantan sudah pergi ke tengah hutan. Dulu Rentak Kibanaran digunakan untuk menyembuhkan orang sakit,” tutur Pak Abo.
Kemantan adalah dukun sakti yang kami cari. Berdasarkan informasi dari Pak Abo, Kemantan pergi karena orang-orang di luar sana sudah mulai rakus. Orang-orang di luar sana merusak hutan mereka. Hutan-hutan mereka tebangi untuk dijadikan lahan perkebunan sawit. Tidak sedikit orang-orang suku pedalaman yang mati akibat kebakaran hutan. Kemantan lari ke tengah hutan untuk menyelamatkan hutan ini. Satu kata yang paling membekas dari Pak Abo.
“Tanah adalah Bapak kami, sedangkan hutan adalah Ibu kami. Jadi jika Hutan dirusak maka durhakalah perusaknya. Tuhan akan murka dengan orang yang merusak Ibunya sendiri. Jika hutan rusak, tanah sebagai Bapak pun akan rusak. Maka akan tiba yang namanya bala. Bala akan datang untuk kita semua yang tidak menjaga Ibu dan Bapaknya.”
Kata-kata ini membuatku terenyuh. Meski mereka tinggal di tengah hutan, tapi mereka punya pikiran yang jauh lebih baik dan berhati mulia. Mereka menjaga hutan untuk kestabilan umat manusia di seluruh muka bumi ini. Namun, sangat disayangkan orang-orang yang berpikiran maju dan modern terlalu rakus, yang mereka pentingkan adalah BANK-Saku (saku milikinya sendiri). Mereka tidak pernah memikirkan nasib anak cucunya di masa mendatang. Berita akhir-akhir ini membuat kita semakin takut, kebakaran hutan di Riau menelan banyak korban. Dampak asapnya tidak hanya dirasakan oleh orang-orang di pulau Sumatera, namun dirasakan juga oleh penduduk negeri jiran seperti Malaysia dan Singapura.
Aku dan Uty tidak dapat menggali informasi yang kami butuhkan terkait Rentak Kibanaran, karena Rentak Kibanaran yang tahu hanya Kemantan. Akhirnya kami terpaksa harus pulang dengan tangan kosong. Sebelum pulang sesuai tradisi yang sudah kami dapat sebelumnya, kami pulang harus meninggalkan sebungkus garam kasar dan rokok. Garam dan rokok aku serahkan ke pak Abo.
Kami meninggalkan perkampungan Palang Tuha. Uty melangkah seperti tidak semangat. Betapa tidak, perjuangan menuju kampung ini tidaklah mudah. Apa yang kami cari tidak bisa kami temukan. Kini kami harus mendaki kembali dan menyusuri jalan yang tadi kami lalui.
“Bang Uty lapar,” Uty mengambil gawai dari saku celananya. “Udah jam 1 siang, Bang.”
“Nanti dulu ya, Ty.”
Kami akhirnya tiba di bibir sungai tempat tadi kami meninggalkan rakit. Pak Mahdi, sepertinya sedang bingung.
“Rakit kita tidak ada,” ucap, Pak Mahdi.
“Waduh, gimana dong, Pak,” sontak aku kaget.
“Rakitnya pasti ada yang bawa ke hilir. Kita naik lagi ke atas bukit, nanti dari atas bukit kita jalan ke arah barat sekitar 1 km. Kita nyebrang dari sana, disana airnya tidak terlalu dalam, karena ada bebatuan tapi arusnya cukup deras.”
“Ya sudah, Pak, bagaimana baiknya aja,” ucapku.
“Bang, Uty lapar,” rengek Uty.
“Sabar ya, tahan sebentar. Makan yang ada dulu di tas.”
“Masak Uty makan garam bang.”
“Cemilan, abis?”
“Tadi Uty tinggal di motor bang. Yang di tas Uty cuma garam sisa yang tadi.”
“Sabar ya, Ty.”
Setelah berjalan cukup jauh, aku mendengar suara gemercik air yang jatuh. Sayup-sayup suara itu semakin keras. Tampak di ujung sana sekitar 100 meter air terjun nan indah. “Oh semesta, kau begitu sempurna,” bisikku dalam hati.
“Pak, itu air terjun apa namanya?” Tanyaku, ke Pak Abo.
“Itu namanya air terjun Lembah Anak.”
“Kenapa disebut Lembah Anak, Pak?”
“Dikatakan Lembah karena air terjun ini berada di lembah. Sedangkan Anak, konon katanya, kalau tiap habis hujan warga kampung sering melihat anak-anak yang mandi disana. Anak-anak itu semua perempuan. Mereka bercahaya, bajunya terbuat dari akar-akar pohon. Tapi entahlah, saya juga belum pernah lihat,” jelas, Pak Abo.
“Uty cium bau kentang rebus?” Tanyaku, ke Uty.
“Iya, Bang. Hidung abang udah, bener?” Ledeknya.
“Kami menyebutnya Samba Dewa,” potong, Pak Mahdi.
“Apa itu Samba Dewa, Pak?” Tanyaku heran.
“Nanti saja kalau sudah sampai perkampungan kita cerita lagi. Intinya kita harus berjalan cepat. Sebelum maghrib sudah harus tiba di perkampungan.”
Aku dan Uty penasaran apa yang dimaksud Samba Dewa pada aroma kentang rebus. Tapi kami terpaksa harus berjalan lebih cepat. Aku dan Uty berpegangan sementara di depan kami Pak Mahdi berjalan semakin cepat.
“Abaaaaaanggggggg,” Uty berteriak tiba-tiba. Uty menunjuk ke arah selatan.
“Uty lihat, apa?” Tanyaku.
“Uty lihat ada anak kecil lari. Anak-anak itu ke bawah bang, ke arah sungai.”
“Uty lihat sosoknya seperti, apa?”, aku berusaha untuk menenangkan dia.
“Anak itu kayak anak-anak Palang Tuha bang. Yaa, persis sekali.”
“Uty yakin?” Tanyaku.
“Ayo jalan, kita harus segera turun dan menyebrang,” potong Pak Mahdi, lagi.
“Kalian pelan-pelan, di bawah sana ada goa. Mungkin anak-anak itu bersembunyi di dalam goa. Yang jelas mereka bukan hantu,” Pak Abo, meyakinkan.
Tidak berapa lama kemudian kami hampir sampai ke bibir sungai. Tepat di kiri jalan tempat kami berdiri sekarang, ada sebuah goa kecil. Goa ini bernama Goa Macan. Berdasarkan informasi dari pak Abo, goa ini dulunya dihuni oleh macan hutan. Namun, akibat kebakaran hutan macan di sini lari ke kampung dan banyak yang mati ditembak warga. Sekarang hanya tinggal goanya saja.
“Bang lihat itu di depan goa,” Uty menunjuk bibir goa.
“Iya kok ada rokok yang belum dibakar.” Aku mendekat sambil membungkukan badanku. Rokok itu ditaro diatas 1 buah tempurung kelapa, dengan 3 buah kembang kelapa, dan 4 batang rokok. Rokok itu sepertinya aku kenal dari mereknya.
“Ini rokok yang kita kasih ke suku Palang Tuha, Ty. Nih, lihat mereknya sama,” ujarku.
“Mungkin anak-anak Palang Tuha itu yang meletakkannya di sana,” timpal pak Abo.
“Untuk apa, Pak?” Tanya Uty, heran.
“Bapak juga tidak mengerti. Yang jelas kita harus segera pergi dari sini,” tegas Pak Mahdi.
Tepat di depan kami mengalir air sungai yang sangat deras. Memang tampaknya tidak terlalu dalam karena banyak bebatuan. Pak Mahdi menyarankan agar tas sandang Uty ia saja yang bawa. Setelah tas sandang Uty ia angkat tinggi-tinggi, ia berusaha berjalan melawan arus sungai untuk menyeberang. Di ikuti Uty di belakangnya, kemudian aku. Air sungai ini setinggi satu meter, jadi kami terpaksa harus mengangkat tinggi-tinggi tas agar tidak basah. Sungai ini lebarnya sekitar 40 meter.
“Bang, Uty takut. Arusnya terlalu kencang. Uty gak bisa berenang”
“Uty pelan-pelan aja. Tahan badan jangan sampai terbawa arus,” saranku.
Tiba-tiba Uty terpeleset. Ia terbawa arus. Aku melihat kepalanya sempat terbentur bebatuan terjal. Tas aku lempar sekuat-kuatnya ke pinggir sungai. Aku langsung berenang mengejar Uty. Aku sempat raih tangan kanannya, kepalanya beberapa kali muncul dan tenggelam lagi. Ia seperti kehabisan tenaga. Arus terlalu deras aku tak mampu menahan genggamannya. Tangan Uty lepas. Aku masih berenang di tengah arus yang deras. Aku kehilangan Uty. Pak Mahdi yang juga ikut berenang kehilangan Uty.
Pak Mahdi berusaha menarik tubuhku agar segera ke bibir sungai. Kami berlari di pinggiran sungai dengan harapan bisa menemukan Uty. Sungai sudah kami susuri hingga sampai di sungai yang airnya tenang, namun tubuh Uty tak juga kami temukan. Hatiku berkecamuk, takut dan sedih menjadi satu. Tak terasa air mataku menetes. Aku bingung harus bagaimana, aku bingung harus mempertanggung jawabkan kejadian ini seperti apa. Aku takuuuuut.
Pak Mahdi berusaha merangkulku. Sarannya agar kami minta tolong suku Palang Tuha untuk membantu mencari Uty.
“Deddy, bapak coba panggil orang-orang Palang Tuha untuk cari Uty. Deddy di sini saja, siapa tahu nanti Uty muncul.” Pak Abo berlari dan pergi meninggalkanku sendiri. Ia pergi mencari bantuan ke suku Palang Tuha.
Hari sudah menjelang malam. Rona senja sudah hampir tertutup oleh pepohonan hutan. Aku terus berdoa agar Uty selamat dan baik-baik saja. Aku tidak menggubris dinginnya pakaian yang basah ini dan dinginnya angin senja tengah hutan.
Tidak berapa lama kemudian orang-orang Palang Tuha datang. Mereka ramai sekali kuhitung hampir 30 orang, terdiri dari anak kecil hingga dewasa, dari laki-laki hingga perempuan. Di antara mereka kulihat ada yang membawa ayam jago dan beberapa peralatan yang tidak aku mengerti.
“Tadi kalian ada cium bau Samba Dewa?” Tanya Pak Abo kepadaku dan Pak Mahdi.
“Iya Pak, kami sempat cium bau Samba Dewa sebelum turun ke sungai ini,” jelas, Pak Mahdi.
“Berarti kawan kau masih hidup,” jelas pak Abo sambil menatap wajahku.
“Lah kita cepat bejudi. Biak budak tu cepat dibalekkan.” (Ayo segera kita bermain judi, agar anak itu segera dikembalikan). Tutur pak Abo kepada warga Palang Tuha.
Aku masih tidak mengerti. Uty hilang bukannya bantu cari, mereka malah gelar main judi. Sungguh tak masuk di akal! Bukannya membantu mereka malah bersenang-senang, keparat! Pikirku.
“Ayo kau ikut juga,” pinta, Pak Abo.
“Tapi Pak teman saya….,” jawabku, ragu.
“Sudah, kau ikut main judi.”
“Bapak bagaimana sih. Ini teman saya hilang lho pak. Teman saya hilang, hilang! Kok Bapak malah ajak saya main judi. Saya gak habis pikir dengan kalian semua,” kataku dengan nada tinggi dan marah.
Pak Mahdi menghampiriku.
“Ded, di sini judi itu adalah ritual. Judi itu cara untuk mengumpulkan para Jin dan Setan. Jadi kalau kita main judi maka Jin dan Setan akan datang. Temanmu itu dibawa oleh Jin. Jika dia mau kembali, maka kita harus mengalihkan perhatian mereka. Judi inilah caranya. Jin-jin akan berkumpul, nah di saat itulah kita bisa mengambil Uty kembali.”
Sejenak aku berpikir, luar biasa juga cara berpikir mereka. Judi adalah perbuatan jin dan setan. Jika main judi maka akan ada jin dan setan di samping kita. Aku ikuti saja siapa tahu ritual ini benar adanya.
Pak Abo memerintahkan anak-anak untuk mencari kayu bakar dan dibuat seperti api unggun. Kayu-kayu itu dikumpulkan dihalaman yang cukup luas. Api sudah dinyalakan dan hari mulai gelap. Semua sudah berkumpul. Pak Abo membaca mantra:
“Alam bubut, alam bubut
Kami mencari kalam yang kabut
Alam bubut, alam bubut
Kami bermain ikut disambut
Alam bubut, alam bubut
Hantu puak dan jin ikut meraut
Alam bubut, alam bubut
Hentak bumi rentak disambut
Kalam kalam kalam
Hai kalam datanglah kalam.”
Pak Abo membaca mantera sambil kakinya menghentak-hentakkan ke tanah. Semua memperhatikan dengan seksama. Selanjutnya, kami diminta untuk menyabung/ mengadu ayam. Semua melingkar, dan masing-masing harus memasang taruhan judinya berupa rokok atau garam. Permainan ini kami lakukan hampir satu jam, namun aku belum juga melihat tanda-tanda ada sesuatu.
“Kita harus terus main sampai bau Samba Dewa tercium,” tutur pak Abo.
Semua hiruk pikuk berteriak memenangkan ayam jagoannya. Tidak hanya para lelaki juga ibu-ibu berteriak suka cita melihat ayam-ayam itu diadu.
Sekelabat aku seperti melihat bayangan hitam. Tiba-tiba aku merasa orang-orang di sini seperti semakin banyak, tapi wajahnya bukan seperti wajah orang-orang Palang Tuha.
“Lanjutkan bermain, pura-pura tidak tahu,” bisik pak Abo.
Tiga jam berlalu, hari semakin gelap. Ayam-ayam yang diadu pun sudah tampak lelah dan beberapa K.O. Arlojiku sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Uty tak juga ditemukan, hatiku semakin bertanya-tanya apakah ritual ini nantinya akan jadi sia-sia. Bedebah!
“Kita ganti judinya,” ajak, Pak Abo.
Kami ganti permainan judi dengan permainan yang diberinama Judi Klotok. Permainan ini terdiri dari tiga batok kelapa dengan posisi tertelungkup menghadap tanah, di dalamnya masing-masing ada satu buah dadu terbuat dari kayu kami harus menebaknya. Mereka yang benar menebak angka dadu dalam kelotok adalah pemenangnya. Satu orang berperan sebagai pawang klotok yang bertugas mengguncang batok kelapa tersebut.
Permainan ini sudah berlangsung selama dua jam. Itu artinya waktu sudah menunjukan pukul 11 malam.
“Ini permainan yang disukai oleh para Jin,” bisik Pak Abo kepadaku.
“Maksudnya, Pak?” Tanyaku.
“Baru saja mereka berbisik ke telinga saya. Mereka meminta taruhan. Jika tebakanmu di tiga kelotok ini benar sebelum jam 12 malam, maka Uty akan kembali. Namun jika tidak, Uty akan menetap bersama mereka,” jelas, Pak Abo.
“Apa, keparat, bajingan?!” Aku kaget dan tidak bisa menerima ini semua. Tapi ini harus aku jalani. Ini artinya aku punya waktu satu jam untuk menebak tiga dadu dalam tiga kelotok ini secara benar dan berurutan.
Setengah jam berlalu, tebakanku selalu salah.
“Bau Samba Dewa belum tercium,” Pak Abo berbisik di telingaku, “waktumu hampir habis, pikirkan dengan tenang jangan gegabah. Apa yang kau temui selama perjalanan di sini mungkin akan bisa menjawab semuanya.”
Aku berpikir sejenak dari perjalanan di Jakarta aku menerima data luas hutan TNBT 181.202 Hektare, setelah itu aku naik travel dengan mobil Innova bernomor polisi BH 2021 BI, kemudian dilanjutkan naik mobil omprengan berwarna merah marun dengan nomor polisi BH 134 LA. Selama perjalanan aku melihat buah-buah yang ranum dan melihat rumah dengan 1 pintu utama, 3 buah jendela kayu berjejer, dengan bentuk rumah persegi 4 bertuliskan LA. Di bibir sungai aku melihat tulisan TNBT 181.202 la, yang seharusnya Ha. Setelah itu aku melihat di bibir goa macan 1 buah tempurung di atasnya berisi 3 bunga kelapa dan 4 batang rokok yang mereknya aku kenal. Aku yakin dibalik angka-angka yang aku ingat jelas ini adalah teka-teki itu.
“120!!!” Teriakku.
Si pawang membuka dan ternyata tebakkanku, salah.
“202!!!” Teriakku lagi, namun ketika dibuka tetap tebakkanku salah.
Kali ini aku yakin seyakin-yakinnya tebakkan ku benar.
“134!!!” Teriakku, yakin.
Angka yang muncul dibalik batok kelapa adalah angka 3, 6, 1.
“Waktumu tinggal sedikit, Nak,” ujar Pak Abo di sampingku.
Aku melihat arlojiku sudah menunjukkan pukul 23.45 WIB, artinya tersisa lima belas menit lagi. Aku coba berpikir sekuat tenaga soal kombinasi-kombinasi angka yang aku temui. Aku menyusun angka-angka itu di tanah. Pertama aku menulis angka 181.202, 2021 BI, dan selanjutnya kombinasi angka 134 dan huruf LA. Ya, aku menemukan semua kombinasi angka ini. Kombinasi angka ini adalah petunjuk mengapa aku bisa sampai ke sini dan mengapa aku harus memecahkan semua ini. Ini bukan soal angka di dalam dadu tapi ini sebuah angka di mana aku dan Uty adalah alasan yang ditunjuk oleh mereka untuk menyampaikan pesan. Aku ingat aku pernah membaca sebuah artikel tentang makhluk halus terkait angka 181.202, jika angka ini disusun menjadi huruf dan dibalik maka artinya adalah KIBANARAN. Mobil innova yang aku tunjuk juga simbol KIBANARAN yang berarti makhluk halus. Ya, aku sekarang berada di halaman rumahnya makhluk halus. Sedangkan angka 134 aku pernah baca maknanya adalah angka Angle atau angka malaikat. Konon, makhluk-makhluk ini disimbolkan dengan angka 1, 3, dan 4. Namun, jika 134 digabung dengan huruf LA maka akan menjadi 13=B 4=A LA=LA yang artinya BALA. Dalam perhitungan judi kelotok BALA itu adalah susunan angka yang terdiri dari angka paling tinggi yakni angka 6. Para jin dan setan sangat gembira jika musuhnya mendapatkan angka BALA 6.
Perlahan aku meniupkan suara angin dari mulutku seperti orang yang bersiul kecil. Aku meminta untuk semua mengikutiku. Semua meniupkan suara angin. Angin-angin terasa semakin kencang. Sayup-sayup aku mencium bau Samba Dewa. Samba Dewa adalah bau kentang rebus. Konon katanya kehadiran Kibanaran atau mahluk halus ini ditandai dengan bau Kentang Rebus.
Aku berteriak
“Kebeneran itu telah tiba, aku berjanji jika pulang nanti ke kota, aku akan sampaikan agar hutan ini dijaga. Agar hutan ini dirawat. Bukan hanya untuk makhluk-mahkluk di dalam hutan tapi juga untuk kepentingan makhluk yang ada di bumi ini,” sejenak aku terdiam.
“Kibanaran, alam kita berbeda tapi kita punya kepentingan yang sama. Kita harus sama-sama menjaga dan merawat hutan ini. Jika hutan ini hancur bukan hanya kau yang terkena bencana tapi kita semua kena BALA,” teriakku lagi.
“Aku yakin angka dibalik batok ini angka Balaaaaaaaaaaaaa…..”
Tempurung dibuka oleh pawang, muncul angka 6, 6, dan 6.
Tiba-tiba sayup-sayup dari balik pepohonan ada suara orang berlari
“Abaaaaaanggggggg,” Uty berteriak sambil berlari.
“Utyyyyyyyyyyyyyyyy,” teriakku. Aku melihat tubuhnya seperti dipenuhi dengan lendir berwarna hijau.
“Uty tidak apa-apakan?” Tanyaku, sambil merangkul tubuhnya. Warga Palang Tuha semua mendekat ke arah Uty dan memastikan Uty baik-baik saja.
“Uty baik-baik aja, kok.” Uty melihat sekeliling, dia seperti bingung orang-orang ramai berkumpul. “Uty ketemu Kemantan, Bang,” bisiknya, pelan.
“Ya, sudah Uty tenang dulu.”
Uty menggengam tanganku. “Bang, janji jangan cerita sama siapa-siapa dengan apa yang terjadi hari ini.”
“Iya, janji,” ucapku.
Selama menghilang Uty telah dipertemukan dengan Kemantan lewat makhluk yang bernama Kibanaran. Uty diberi banyak informasi terkait gerak Rentak Kibanaran.
***
Enam bulan berlalu, akhirnya tiba saatnya Uty mempersembahkan karyanya dengan judul karya “BALA”. Karya ini digelar di gedung pertunjukkan Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki, dengan beberapa orang penari. Uty sebagai koreografer hanya menonton, Uty duduk di sampingku di kursi penonton paling tengah. Sekilas kami mencium bau Samba Dewa. Uty melirik ke arahku, aku hanya memberi isyarat dengan tersenyum dan menggerakkan alis. Di atas panggung aku melihat ada seorang penari yang berpakaian kuning keemasan. Ia hanya duduk tapi kemudian menghilang.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
2 Comments
Gatau gue orgnya emg terlalu perasa atau gimana yg jelas selama baca ini gue bisa ngerasain gimana deg degannya deddy pas nebak nomor, gimana suasana suku palang tuha pas berjudi dan sabung ayam, dan lain-lain. gile bener ini chapter terakhir yang paling ditunggu-tunggu dan bikin dag dig dug pas bacanya, bener-bener gabisa diungkapkan dengan kata-kata. Sumpah, keren. Dan seperti yg diduga duga, nomor yg ada di chapter 1 & 2 itu mengandung makna tersendiri. DAN BENER KAN 134 LA ADALAH BALA OMG!!! BYE MAU BACA LAGI, GA BOSEN BOSEN DEH BACANYA. SEMANGAT AUTHOR!
Masya Allah ……. Banggggggg sumpah keren. Awal bacanya takut tapi tetap seru dari awal sampai akhir bacanya . Bacaan ini sangat mengandung arti tentang kehidupan, dimana bumi ini harus di jaga,jangan sampai keserakahan oleh oknum oknum tertentu bumi kita menjadi rusak dan tidak bisa dinikmati oleh anak cucu kita kelak. Dari awal sampai akhir selalu ada nilai didalam ceritanya . Sebenarnya ija mau nambah lagi apa yg ija pikirkan. Tapi ija lupa , sebab masih teringat awal sampai akhir cerita . 😂😂. Jangan bosan-bosan nulis lagi bg . 👍👍