Work From Bali semacam oase di tengah padang pasir dan tandus. Work From Bali menjadi perbincangan hangat belakangan ini berkat afirmasi lord LBP yang mengajak para ASN (Aparatur Sipil Negara) agar work from Bali saja. Tujuannya agar geliat pariwisata Bali kembali mencuat secara signifikan, ekonomi lokal dan daerah pun kembali hidup. Hal yang jauh-jauh hari dilakukan JRX yang kebebasannya tinggal menghitung hari itu. Jika dilihat dari sudut pandang ekonomi, maka hal itu adalah langkah tepat. Sebuah permulaan yang bagus.
Selama pandemi tak sedikit orang yang merasa terpenjara karena tempat-tempat dan pelaku usaha pariwisata ditutup sepenuhnya, terlebih lagi di saat pandemi merangsek pertama kali di Depok. Di 3 bulan pertama Indonesia benar-benar berada dalam keadaan gelap gulita. Kadang saya berpikir ini lebih mengerikan dari perang senjata, keadaan sekitar yang depresif merangkak pelan-pelan menuju ubun-ubun dan meledak dengan perlahan di setiap inci anatomi kepala. Kematian terjadi secara melambat. Jeritan tanpa suara memenuhi udara.
Industri pariwisata dan MICE (Meeting, Incentives, Conferencing, Exhibitions) adalah yang pertama kali tersiksa tanpa ampun. Orang-orang dilarang bersentuhan apalagi berkerumun, sementara core bisnisnya adalah berkumpul dan berkerumun. Kapan kalian terakhir kali nonton konser musik dalam skala besar? Boleh jadi dalam waktu yang lama hal itu tidak akan terjadi. Alhasil, industri tersebut hanya memiliki 2 opsi: Pivot business atau let it die!
Seorang kawan, tenaga ahli MICE bercerita jika kantornya pada saat itu menjual alat-alat kesehatan proteksi Covid-19 agar ada arus kas yang masuk sehingga mampu bertahan, kawan lainnya kena lay off dan harus mencari pekerjaan baru sementara banyak perusahaan pailit, mencari pekerjaan tak semudah mengatakan I love you pada gebetan, kadang saya juga menjadi pekerja lepas untuk menambah pundi-pundi, sebab nampaknya hal tersebut pilihan masuk akal saat itu dengan segala dinamika yang ada, sebelum akhirnya berlabuh ke tempat baru.
Saya masih ingat presiden Jokowi mengumumkan pasien pertama Covid-19 adalah warga Depok, seorang dosen tari dan anak didiknya. Padahal sebulan sebelumnya presiden mempromosikan pariwisata Indonesia dengan gencar. Mengajak turis-turis mancanegara agar berdatangan. Benar saja mereka pun berdatangan lengkap membawa paket sarscov-2. Hasilnya? Ya, tidak salah lagi, pariwisata malah mati suri, Covid-19 berhinggapan. Angka positif naik secara eksponensial. Kondisi yang benar-benar suram bagi segenap warga Indonesia dan dunia.
Pada 3 bulan pertama saya sendiri benar-benar kebingungan dengan kondisi yang ada, seolah ilustrasi apokalips dipertontonkan dengan sangat halus yang dipertebal dengan kegagapan otoritas menyikapi persoalan. Ibarat sedang naik pentas di panggung American Got Talent’s untuk menunjukan kebolehan diri, yang terjadi malah gagap dan pingsan saat melihat ribuan pasang mata audiens. Setelahnya, lampu-lampu panggung yang tergantung di atas putus dan berhamburan, semua orang yang ada di ruangan kesakitan dan panik. Apa yang dilakukan oleh orang panik? Ya, apapun, termasuk berbuat hal-hal bodoh dan merugikan.
- Menurut data resmi per 22 Mei 2021 sekitar 1.758.898 orang terkonfirmasi Covid-19 dan 48.887 meninggal dunia. Fatality rate 2,7%.
Jelas itu bukan kabar yang sama sekali menggembirakan. Perlu diingat deteksi Covid-19 di Indonesia itu jauh dari sempurna, tidak terstruktur, sistematis, dan masif. Konfirmasi positif dan fatality rate probabilitasnya jauh lebih tinggi dari yang tercatat. Artinya, dosis vaksinasi harus tersedia berkali-kali lipat.
- Penduduk Indonesia ada 270 juta jiwa, 70% darinya adalah 189 juta jiwa. Per orang mendapat 2 kali dosis vaksinasi, maka minimal dosis vaksin yang harus tersedia adalah 378 juta dosis.
Berdasar kalkulasi virologi, herd immunity baru bisa tercipta ketika minimal 70% penduduk suatu wilayah sudah divaksinasi. Mengingat produksi vaksin yang terbatas dan berebut dengan negara-negara lain, maka Indonesia perlu mencoba menggunakan berbagai jenis vaksin yang tersedia dan sudah diuji secara klinis yang melewati berbagai fase uji. Meski ini hal yang sangat sulit mengingat posisi tawar Indonesia dihadapan negara adidaya dan negara produsen vaksin itu rendah, tapi harus dilakukan. Semua pilihan tak ada yang manis.
Kabar gembiranya, kini vaksinasi sudah mulai jalan pelan namun pasti. Memberi harapan bagi warga yang ingin bangkit dari keterpurukan dan memulai usahanya lagi setelah dihajar apokalips bertubi-tubi setahun setengah ke belakang ini. Vaksinasi adalah harapan untuk mencapai sistem kekebalan tubuh yang memungkinkan penerima vaksin dapat beradaptasi dengan Covid-19 yang diprediksi selamanya berdampingan dengan homo sapiens.
Jadi, inisiatif lord LBP soal Work From Bali bagi para ASN di bawah kementeriannya adalah stimulan yang masuk akal dalam membangkitkan industri pariwisata. Namun, kita juga perlu mempertanyakan beberapa hal;
- Apakah penyaluran bantuan anggaran bagi mereka yang terdampak Covid-19 sudah terdistribusi dengan baik?
- Apakah sistem kesehatan kita yang menjadi prioritas utama memerangi pandemi sudah dibangun secara serius?
- Apakah sudah ada jaminan bagi kita sebagai warga negara mendapat hak-hak kesehatan tanpa melalui proses drama panjang yang jauh dari membahagiakan?
Jika sudah, mari kita Work From Bali dengan membawa hati seriang dan segembira mungkin, bila perlu tak usah menggunakan uang negara dan tak hanya ASN, menikmati keindahan pulau dewata adalah mimpi basah para penduduk pulau Jawa.
Hidup di Bali, Mimpi Basah Penduduk Jawa
Saya sendiri memang kepikiran untuk untuk tingal di Bali dalam waktu yang lama. Terbersit untuk membawa keluarga kecil saya ke sana. Menikmati matahari terbit di pantai sambil mengamati burung bernyanyi di sekitarnya adalah energi yang sepenuhnya positif dan layak dikonsumsi setiap hari.
Komunitas internasional yang tidak sulit untuk ditemukan, yang memungkinkan kita membuat jejaring untuk tumbuh dan berkembang lalu menciptakan kebergunaan adalah kebutuhan di hari ini yang mustahil dihindari.
Internet memang mendobrak batas-batas kewilayahan, ras, agama, dan hal-hal yang selama ini kita pikir tak mampu ditembus, saya tak pernah terpikir sebelumnya jika rekan kerja saya adalah orang Hongkong dan tinggal di sana, Inggris dan tinggal di sana, Singapura dan tinggal di sana.
Semuanya terhubung hanya dengan koneksi internet dan menghasilkan bisnis berkesinambungan, namun energi daring tentu lain dengan luring. Memangnya apalagi yang membuat kita manusia jika bukan sentuhan emosi langsung? Jika suatu saat tercipta EI (Emotional Intelligence) dan dipergunakan secara massal, mungkin itulah tanda-tanda kepunahan sapiens di bumi.
Hadirnya AI (Artificial Intelligence) saja sudah cukup membuat kemanusiaan kita terusik, apalagi jika hadir juga EI (Emotional Intelligence). Jelas bakal lahir “Ubermensch” yang pilih tanding. Tapi dunia sedang menuju ke sana, gas sudah ditancapkan sejak Sillicon Valley pertama kali berdiri, para inovator sedang berlomba menciptakan alat untuk mengintervensi pergerakan sentinel of sky’s net, meski Indonesia dari dulu masih menghadapi persoalan yang sama: Urusan administrasi kependudukan harus difotokopi terlebih dahulu. What a joke, man!
Kembali ke Bali. Saya berkehendak menghidupi hal-hal itu. Lingkungan yang suportif membikin semangat dalam menjalani hari-hari untuk tumbuh dan berkembang, menyeruput secangkir blue tamblingan yang dibuat secara cold brew kala matahari terbenam, bertemu orang-orang baru dari berbagai belahan dunia dan mempelajari banyak hal, ah sungguh pemandangan imajiner yang menyenangkan.
Beberapa testimoni orang luar Bali yang kini tinggal di Bali pun menyebut jika dalam menjaga kerukunan warga sudah sesakral orang-orang dalam beribadah, kendala untuk hidup berdampingan hampir tidak ditemukan. Berjalan bersama meski berbeda atas nama cinta dan kemanusiaan. Yang menyebalkan tentu akan selalu ada, dimanapun itu. Namun, dari 50 orang dan ditemukan hanya 3 orang yang kurang asyik rasanya itu masih bisa ditolerir.
Jika suatu nanti saya berkesempatan untuk tinggal di Bali hal-hal yang bakal saya persiapkan adalah tentu saja mental dan finansial. Keduanya harus jalan beriringan, tidak bisa dipilih salah satu, sama seperti ekonomi atau kesehatan, keduanya harus seiring sejalan. Sisanya, ya, persiapkan saja apa yang mesti dipersiapkan.
Kamu, apakah berminat juga untuk tinggal di Bali?
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …