Mengapa corak pertumbuhan ekonomi tidak terkait dengan perbaikan kesejahteraan orang miskin dan hampir miskin? Bank Indonesia memperkirakan, di tahun ini pertumbuhan ekonomi akan berada pada kisaran 5,1-5,5 persen. Ini artinya tahun ini sedikit lebih baik yang sebelumnya hanya 5,1 persen di tengah berlanjutnya pemulihan ekonomi global. Anehnya, kenapa masih saja terjadi gizi buruk di NKRI? Ya, karena corak pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak terkait dengan perbaikan kemakmuran warga.
Ekonomi, pertama-tama adalah urusan mata pencarian (livelihood). Mata pencarian adalah istilah untuk sumber daya pemenuhan kebutuhan hidup. Jika menurut kalian ini terdengar menyimpang dari teks ekonomi, maka ada perlu kalian periksa kembali mengenai definisi ekonomi.
Mungkin kita telah melupakan atau dipaksa lupa mengenai perkara ekonomi sebagai urusan mata pencarian. Salah satu penyebabnya adalah karena kita diajarkan untuk tersesat dalam mengartikan ekonomi sebagai mekanisme pasar (the market system). Itu tidak berarti mekanisme pasar tidak berguna bagi ekonomi, tetapi menyamakan ekonomi dengan mekanisme pasar adalah kesesatan besar. Dan kesesatan itu makin disempurnakan oleh kredo heroik membangun ekonomi a la Adam Smith (invinsible hand) yang dijejalkan pada kurikulum pendidikan sejak Orde Bobrok yang berbunyi,“mengeluarkan modal sekecil-kecilnya, mendapat keuntungan sebesar-sebesarnya.” Sapu habis.
Suatu rumusan yang telah melahirkan peradaban liberalisme ekonomi, politik, dan terutama penindasan. Betapa tak relevannya UUD 45 pasal 33 ayat 1 yang menyatakan, “ekonomi disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan.” Yang terjadi adalah “ekonomi disusun sebagai Join Venture korporasi multinasional dan negara berdasarkan azas neo-liberalisme.” Jelas lah membuat kita sebagai warga biasa (tak bermodal) menjadi tegopoh-gopoh untuk sekedar survive.
Dengan mendefinisikan bahwa ekonomi adalah mekanisme pasar berarti kita akan memasuki belantara ekonomi akumulasi modal. Yang jauh berseberangan dengan arti ekonomi sebagai urusan mata pencarian semata-mata. Apalagi pasal dan ayat inferior itu. Dengan demikian terjadilah pemisahan tajam antara ekonomi akumulasi dan ekonomi survival. Ekonomi akumulasi berurusan dengan pelipatgandaan keuntungan tanpa kaitan dengan urusan mata pencarian, sedangkan ekonomi survival berurusan dengan soal bertahan hidup di jurang kemiskinan tanpa kaitan dengan soal akumulasi. Seorang pemikir ekonomi, Sismonde de Sismondi sempat mengatakan, mengartikan ekonomi sebagai mekanika pasar sangatlah sesat.
Begitupun, urusan mata pencarian orang miskin juga sekadar menjadi omong kosong kebijakan ekonomi. Maka, ekonomi juga hanya menaruh perhatian pada mereka yang mampu melakukan aktivitas akumulasi dan bukan mereka yang berjerih payah di hutan angker ekonomi survival. Sosok nyata ekonomi survival itu tentulah sekitar 150 juta lebih warga negara.
Dalam buku pelajaran ekonomi, eksternalitas positif—mata pencarian orang miskin hanya dampak tak disengaja dari ekonomi akumulasi. Seketika ekonomi dipahami sebagai mekanisme pasar, padahal mekanisme pasar terutama mengejar mereka yang berdaya beli. Maka, ekonomi juga tidak punya urusan langsung dengan mata pencarian orang miskin dan hampir miskin yang berjuang memenuhi kebutuhan hidup. Karena kini urusan pokok ekonomi adalah akumulasi. Bagaimana dengan modal hanya Rp.1000 dapat berlipatganda menjadi Rp.10.000, Rp. 100.000, Rp.1.000.0000, dst dengan berbagai macam cara. Kreativitas kita dipertaruhkan di lapangan ekonomi survival. Padahal kita tidak sedang tumbuh, kita semua bertahan.
Sejalan dengan yang saya katakan di atas pemerintah dengan bangganya membuat paradigma lewat media-media arus utama (elektronik, cetak, dsj) jika pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan di tengah krisis ekonomi global yang melanda berbagai negara eropa pasca lumpuhnya Wall Street, New York, Amerika Serikat.
Seakan prestasi yang patut diapresiasi oleh setiap warga negara yang padahal kabar oxymoron belaka, atau ketika media menayangkan statistik penjualan mobil bermerek Midun Car, misalnya, naik dengan persentase 78% dibanding tahun lalu yang cuma 73%.
Takkah kita bertanya, apa poin dari dari hal-hal yang tak bermutu itu? Ya, tak ada. Hanya sekadar portfolio perusahaan saja.
Tingginya pertumbuhan ekonomi tidak dengan sendirinya memberantas kesusahan untuk bertahan hidup. Ini karena upaya (akumulasi modal) mengejar pertumbuhan secara besar-besaran justru akan meningkatkan inflasi dan suku bunga. Yang telah banyak mengobrak-abrik mata pencarian warga di mana hari ini kita digiring memasuki gerbang kompetisi ekonomi dibantu oleh televisi yang terkonvergensi dengan platform-platform digital yang sangat berpotensi menimbulkan hal-hal yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.
You might also like
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …