Menikah merupakan saat yang (lumayan) penting dalam siklus kehidupan manusia. Seperti halnya sebuah baju, pernikahan mempunyai tren mode yang terus berubah. Pada masa lalu kita mengenal kisah Siti Nurbaya karya novelis kenamaan Marah Rusli sebagai suatu penggambaran perjodohan di masa lalu sebagai sesuatu yang umum dilakukan.
Sekarang mungkin kita akan mencibir jika ada orangtua yang menjodohkan anak‐anaknya karena sekarang tren telah berubah. Muda‐mudi zaman now pada umumnya berpacaran sebelum memasuki jenjang pernikahan.
Namun suatu tren baru muncul pada beberapa tahun terakhir ini, terutama pada muda‐mudi muslim. Setelah sebelumnya muncul tren menikah dini untuk mencegah perzinaan. Dan akhir‐akhir ini berkembang pula suatu mode pernikahan tanpa melalui proses pacaran.
Pernikahan tanpa pacaran ini dilakukan baik dengan pasangan pilihan sendiri maupun dengan orang yang dijodohkan oleh ustadz-nya. Yang kemudian ‘moncer’ dengan nama Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran.
Indonesia Tanpa Pacaran, dibuat sekitar awal tahun 2015 dan digagas oleh penulis La Ode Munafar, seorang pemuda asal Kab. Muna, Sulawesi Tenggara yang juga menulis buku berjudul sama. Dia mengaku membuat gerakan di Instagram, Facebook, dan Line karena menerima banyak curahan hati remaja ‘yang rusak masa depannya karena pacaran.’
Ada asumsi bahwa perilaku seks remaja pranikah semakin meningkat tiap tahunnya. Yang kemudian membuat beberapa kalangan masyarakat mendesak pemerintah untuk memasukan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas di sekolah, terkait hubungan seks remaja pranikah.
Nah, La Ode dengan Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran memilih pendekatan agama karena dia menganggap ‘Indonesia memiliki banyak warga muslim’.
Sungguh mulia bukan?
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pacaran, kita tidak perlu merasa berbeda dan iri pada mereka yang tidak pernah pacaran. Toh, berpacaran atau tidak, gak jauh berbeda.
Berpacaran itu tidak (selamanya) buruk, kenapa kesannya selalu memandang rendah yang pacaran, pacaran itu juga banyak membawa dampak positif untuk kehidupan yang akan datang, jika pacaran itu benar-benar dijadikan ajang ‘taaruf’ untuk menikahi si dia. Yang terpenting, jangan pacaran untuk melakukan hal-hal maksiat.
Apalagi jangan sempitkan makna pacaran hanya seputar nafsu, menuruti nafsu atau hal-hal negatif lainnya. Karena sebagian orang di luar sana berpacaran dengan sebenar-benarnya pacaran. Berpacaran sebagai ajang proses saling mengenal satu sama lain sebelum melangkah ke jenjang pernikahan. Nah, ini baru pacaran yang kaffah.
Berpacaran akan selalu tampak buruk dan bermakna buruk selama kita selalu memaknai pacaran itu hanya seputar nafsu saja. Coba lihat makna pacaran dari sisi yang berbeda, pasti akan menemukan makna berbeda.
Yang salah adalah ketika kamu menyentuh seseorang (lawan jenismu) kemudian melakukan sesuatu yang dilarang oleh agamamu. Bukan pacarannya yang salah tetapi perbuatanmu yang salah.
Kenapa yah, dengan semakin booming-nya Gerakan Indonesia Tanpa Pacaran, kita kemudian dengan begitu mudah meremehkan mereka yang pacaran? Padahal mereka yang berpacaran tidak berarti bahwa mereka melakukan zina. Catat itu.
Lagi pula pembuktian zina dalam hukum fikih (hukum Islam) sangatlah ketat. Harus menghadirkan empat orang saksi (sementara dalam kasus pembunuhan dan pencurian cukup dua orang). Empat orang saksi itu harus memenuhi syarat laki-laki muslim, merdeka, dan adil.
Keempat orang saksi itu juga harus melihat langsung dan aktual penetrasi penis ke dalam vagina. Dalam melihat itu penetrasi itu, keempat saksi harus yakin betul telah menyaksikan bahwa kulup penis (hasyafah) benar-benar tenggelam sempurna dalam farji (vagina).
Tidak hanya itu. Dalam fikih klasik juga diatur, jika seseorang menuduh orang lain melakukan zina, namun ia tak berhasil memenuhi syarat-syarat pembuktian itu, si penuduhlah yang justru kena dakwaan qadzaf (tuduhan zina) dengan hukuman 80 kali cambukan.
Jadi kalau ada yang meremehkan, merendahkan, apalagi mengidentikkan pacaran dengan zina, yah jelas keliru. Karena sejatinya berpacaran atau tidak pacaran sama saja. Yang membedakan adalah apa yang mereka lakukan. Apakah itu mendatangkan keburukan atau tidak.
Tentu orang yang cerdas pasti akan memanfaatkan betul-betul momen pacaran dengan saling mengenal lebih jauh seseorang yang akan dijadikan teman hidupnya.
Pacaran sebelum menikah memang tidak penting-penting amat tapi tidak bisa dipungkiri jika itu perlu dilakukan sebagai proses saling mengenal atau pendekatan. Karena kadang kepribadian seseorang tidak sama seperti apa yang terlihat dari luarnya.
Ada yang tampak terlihat buruk dari luar tapi ternyata berhati malaikat. Fyuh! Begitu pula ada yang tampak seperti malaikat dari luar tapi aslinya menyeramkan.
So, jangan jadikan pacaran sebagai kedok. Aslinya cuma pengin ‘enak-enak saja’. Menghancurkan hidup orang lain dengan berpura-pura ngajak pacaran, mengobral janji ingin menikahi, tapi aslinya cuma mau mengambil ‘kehormatan’ orang lain. Haduh.
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …