Sebulan telah berlalu, Ichi masih konsisten dengan latihannya. Namun ada yang aneh, teror itu semakin meresahkan. Setiap kali latihan selalu ada saja teror-teror yang menghantui kami.
Sore itu sehabis hujan menjelang maghrib, aku dan Ichi duduk di bawah pohon jamblang di samping gedung musik. Di antara pohon jamblang itu ada sebuah jembatan yang menghubungkan antara gedung musik dengan gedung tari.
“Chi, lu udah dapat tanggal pertunjukan untuk ujian lu?” Tanyaku ke Ichi.
“Udah Bang, tanggal 6 September,” terang Ichi.
“Eh ya, lu kan belum jelasin detail ke gue dua musik yang selama ini lu bawa latihan itu musik apaan?”
“Oh itu, ntar deh bang gue lagi malas jelasinnya. Panjang ceritanya.”
“Yah lu mah, gitu.”
“Bang, lu tau gak?”
“Gak tau.”
“Ah lu. Pak Arman, sejak kelas vokal minggu lalu masuk rumah sakit.”
“Kenapa dia? Patah hati sama lu.”
“Taek lu. Katanya si doi pas pulang sore itu lewat lorong ini.” Ichi menunjukkan koridor bawah penghubung gedung tari dan musik. “Dari belakang seperti ada yang mukul kakinya. Tapi gak sempat lihat siapa. Sampai sekarang kakinya pincang, ada bagian tulang kakinya yang retak.”
Dari atas pohon jamblang sekelebat ada bayangan putih-putih.
“Chi, barusan lu lihat gak di atas?” Tanya ku ke Ichi dengan pikiran yang mulai aneh.
“Iya, Bang,” jawab ichi pelan.
“Lu tau kan kisah pohon jamblang ini?”
“Iya tau. Bang kita jalan pelan-pelan,” bisik Ichi.
Bulu kudukku merinding, kami jalan pelan-pelan kemudian setengah berlari.
***
Latihan hari berikutnya, tepat hari sabtu malam. Recital hall tampak sepi, hanya ada aku, Ichi dan Robby si pianis. Robby baru masuk hari ini menggantikan Roland. Roland mengundurkan diri dengan asalan kepalanya sering pusing. Robby mahasiswa semester 5 jurusan musik dengan mayor piano. Kami duduk bertiga di bibir panggung. Ichi di tengah, aku di kiri dan Robby di kanan.
Ichi seperti biasa mengenakan baju kaos gombrong, celana jeans menggantung, kacamata besar, rambut semrawut dengan sepatu kets berwarna putih. Robby mengenakan jeans hitam, berbaju coklat. Sementara aku seperti biasa, karena pulang dari kerja pakaianku selalu rapi dengan atasan kemeja, celana bahan dan sepatu pantopel.
“Robby, kok gue baru lihat lu sih. Kemana aja lu?” Tanyaku kepada Robby.
“Gue ada kok, gue lagi sibuk ngulik-ngulik musik.”
“Mau buat karya?” Tanyaku.
“Kagak sih bang. Tapi gue udah tau kok, Kak Ichi mau bawa musik apa untuk tugas akhirnya.”
“Waah hebat lu, padahal gue baru mau jelasin hari ini.” Terang Ichi sambil tepuk tangan.
“Iyalah, kan Kak Ichi hits di kampus ini. Jadi kalau ada gosip tentang Kak Ichi segera menyebar luas.” Terang Robby semangat. “Kak, saran gue sih, lu jangan bawain musik reverse deh.”
“Lah, kenapa?”
“Itu musik bikin orang sakit kepala tau, Kak.”
“Ya, berarti orang itu otaknya bermasalah. Justru itu yang mau gue cari tahu.” Terang Ichi menggebu.
“Terserah Kak Ichi, sih. Tapi, kalau bisa jangan.”
“Iya Chi, kemarin pas dengarin reverse pala gue juga ikutan runyem. Itu musik kayak suara kuntilanak sama suara anak kecil nangis. Serem tau.” Timpalku.
“Emang gitu musiknya.” Jawab Ichi malas. “Robby, biasanya lu kalau ngulik musik gitu di mana? Diruang piano, ya?”
“Kadang di sana, tapi gue lebih senang kalau cari inspirasi di tempat sepi dan sempit.”
“Chi, udah sejam lebih nih. Udah mau jam 9. Mana yang lain?” Tanyaku ke Ichi.
“Gak tau, nih.” Ichi membuka gawainya. “Ah elah, sebel deh gue.”
“Kenapa, Chi?” Tanyaku.
“Masa ini yang bantuin gue semua pada gak bisa datang. Padahalkan mereka udah komit sama jadwal latihan gue.” Curhat Ichi dengan wajah sedihnya.
“Alasannya, apa?” Tanyaku sambil menatap wajah Ichi.
“Alasannya bikin kesal. Masa jawabannya hampir sama, lagi ada masalah sama pacar, mau nyelesain masalah ama pacar, lagi patah hati butuh waktu sendiri, baru putus, bla bla..kan taik alasannya.”
“Ya udah, mungkin mereka lagi butuh waktu. Lagi ini juga kan Sabtu malam.”
“Ya masa kompak sih alasannya. Kok bisa bareng?” Terang Ichi dengan wajah kesal
“Tapi iya juga, sih,” pikirku heran.
“Mungkin pacarannya 1 orang buat rame-rame kali. Hahha…” Ledek Robby sambil tertawa.
“Bisa jadi tu Chi hahaha.” Timpalku. “Lah, lu sendiri kagak ikutan putus ama pacar lu?”
“Udah putus gue,” jawab Ichi dengan kesal.
“Terus lu gak ikutan sedih?” Tanya Robby
“Ngapain gue sedih, orang gue yang mutusin dia,” terang Ichi
“Hebat lu, Kak.” Sahut Robby dengan wajah salut. “Lu mirip temen dekat gue tau, Kak.”
“Mirip apanya?” Tanyaku. “Mirip berantakkannya? Hahaha.” Gelakku, habisnya Ichi selalu berpakaian semerawut ke mana-mana kalau di luar kampus jalannya pakai sendal jepit yang kebesaran.
“Cantiknya.” Terang Robby seraya terdiam.
“Tuh kan, gue cantik. Berarti Robby matanya kagak siwer. Hahaha.” Gelak Ichi dengan suaranya yang melengking.
“Ya udah Kak Ichi kita balik aja.” Saran Robby.
Robby akhirnya pulang duluan. Aku dan Ichi pulang setelah membereskan alat-alat yang ada di recital hall. Kami turun ke lantai dua, kemudian Ichi singgah dan masuk ke ruang HM untuk menaruh speaker portable. Aku menunggu di luar dekat pintu koridor penghubung gedung tari dan musik, sambil menghabiskan setengah botol air mineral. Setelah airnya habis botol air mineral aku buang ke tong sampah yang ada dipojok koridor dekat pintu. Tiba-tiba mataku tertuju pada bungkusan plastik putih. Aku coba buka perlahan, isi di dalamnya beberapa batang lilin dan satu lembar foto perempuan, tapi wajahnya tidak jelas. Aku pikir itu sampah, bungkusan itu aku ambil dan aku masukkan ke dalam tong sampah.
Tidak berapa lama Ichi ke luar dari ruang HM, aku dan Ichi beranjak turun ke lantai dasar. Lampu tiba-tiba padam. Tak ada sedikit pun cahaya yang terlihat. Ruangan semua gelap. Ichi memegang erat tanganku. Kami meraba turun ke lantai bawah. Dari belakang seperti ada bayangan besar melintas. Bulu kudukku merinding. Hari itu kampus sedang sepi, seperti biasanya hari sabtu jarang ada aktivitas di kampus.
Aku dan Ichi berjalan pelan-pelan sambil menyalakan lampu senter yang ada di gawai. Tiba-tiba aku terpeleset, aku seperti menginjak sesuatu yang licin di lantai. Ya lantai itu seperti berminyak. Aku jatuh terduduk. Ichi tertawa melihat kujatuh. Handphone yang aku pegang lepas dan lampunya mati.
Dari belakang ada yang menarik Ichi. Bayangannya hitam dan besar. Aku tak bisa melihat jelas, mulut Ichi dibungkam. Aku segera berdiri namun tiba-tiba kaki kanan ku terjerat oleh tali dan kepalaku terbentur tembok. Aku sempat tak sadarkan diri.
Beberapa menit kemudian, aku sadar. Di sekitarku masih gelap gulita. Aku ketakutan, badanku gemetar. Ichi sudah tidak ada. Aku meraba-raba mencari gawai milikku yang terjatuh. Gawai kunyalakan, aku berusaha menelepon Ichi tapi tak ada yang angkat. Selang beberapa detik, muncul pesan Whatsapp dari Ichi, “Soon there’ll be candles and prayers that are sad”. Aku telepon lagi dan aku balas namun tidak ada respons. Baterai gawaiku tinggal 4 persen, selang beberapa detik kemudian gawaiku mati.
Malam itu aku tambah panik. Dengan sedikit keberanian aku mencoba untuk menaikki anak tangga menuju lantai 2. Tidak sengaja aku menendang sesuatu. Barang itu aku raba, di antara gelap aku masih bisa melihat sedikit dan aku kenal barang itu. Barang itu adalah tas milik Ichi. Tas Ichi aku buka berharap ada handphone, ternyata nihil. Di tas Ichi hanya ada buku catatan. Tas aku bawa, aku mencoba mencari pertolongan di luar. Di luar gedung tampak sepi, hanya ada cahaya bulan.
Aku kembali membuka tas Ichi dengan harapan ada sesuatu yang bisa aku gunakan untuk penerangan. Barang-barang semua aku bongkar, termasuk buku catatan milik Ichi. Di remang-remang cahaya bulan aku melihat coretan-coretan Ichi. Di antara coretan itu aku tertuju pada sebuah rangkaian kalimat berbahasa inggris, sepertinya itu adalah lirik lagu. Aku melihat sebuah tulisan besar pada bagian atas lirik itu Gloomy Sunday By Billie Holiday. Tulisan itu pastinya sebuah judul lagu. Entah mengapa aku merasa ada sesuatu dari lirik ini. Lirik ini aku baca perlahan.
GLOOMY SUNDAY
By Billie Holiday
Sunday is gloomy,
My hours are slumberless,
Dearest the shadows
I live with are numberless
Little white flowers will
never awaken you
Not where the black coach
of sorrow has taken you
Angels have no thought of
ever returning you
Would they be angry
if I thought of joining you
Gloomy Sunday.
Gloomy is sunday
with shadows I spend it all
My heart and I have
decided to end it all
Soon there’ll be candles
and prayers that are sad,
I know, let them not weep,
let then know
that I’m glad to go
Death is no dream,
for in death I’m caressing you
With the last breath of my
soul I’ll be blessing you
Gloomy Sunday
Dreaming
I was only dreaming
I wake and I find you
asleep in the deep of
my heart
dear
Darling I hope that my dream
never haunted you
My heart is telling you
how much I wanted you
Gloomy Sunday.
Aku melihat satu kalimat yang sangat tidak asing, ya kalimat ini yang menerorku akhir-akhir ini Soon there’ll be candles and prayers that are sad. Pada bagian lembar berikutnya bertuliskan lirik lagu Szomorú Vasárnap. Aku makin bingung, apa hubungannya Ichi dengan semua ini. Barang-barang Ichi aku masukkan lagi ke dalam tas. Tiba-tiba terdengar suara orang berjalan. Aku langsung hening untuk memastikan siapa orang itu.
Bersambung
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …
2 Comments
Hmmm….padahal adrenaline sudah naik tapi bersambung 😂
Yahh abg . Kegantung bangettt . Di tunggu selanjutnya yaa bg.