“Kapitalisme itu jahat. Kapitalisme itu tak punya hati nurani. Kapitalisme tak bermoral. Kapitalisme itu…”
Ketika mendengar ujaran-ujaran seperti itu, saya bisa dengan mudah tahu siapa orang yang mengucapkannya. Pertama, ia adalah orang kiri yang dengan istiqomah mengimani bahwa kapitalisme adalah penyebab masyarakat teralienasi dari hidupnya dan satu-satunya juru selamat hanyalah Marxisme. Kedua, ia adalah orang yang selama ini merasa dizalimi oleh sistem kapitalisme—buruh manufaktur, misalnya. Ketiga, ia adalah orang yang hanya ingin jadi snob—yang barangkali saya misalnya.
Lantas, apakah ujaran-ujaran tentang kapitalisme itu benar adanya?
Tanpa bermaksud gegabah, saya hanya bisa menjawab: saya tidak tahu.
Saya sebetulnya, percaya bahwa memang kapitalisme itu bajingan. Kapitalisme membuat hidup saya, kadangkala menjadi tercerabut. Apalagi, kini kita semua sudah memasuki era kapitalisme lanjut. Sebuah evolusi lanjutan dari kapitalisme klasik. Dan tentu saja, jauh lebih canggih. Kapitalisme lanjut bukan hanya bisa membuat seorang buruh lelah karena diperas semua daya kerjanya. Tapi lebih dari itu, kapitalisme lanjut membuat beberapa masalah baru yang jauh lebih canggih: krisis moneter global, inflasi, ketimpangan sosial, dan lain sebagainya.
Kapitalisme lanjut adalah bukti paling nyata dari daya hidup kapitalisme. Tetap kuat dan tak mati-mati. Meskipun sudah banyak juru selamat yang berusaha menumbangkan sistem ini.
Oiya, tapi pernahkah kamu berpikir bahwa kapitalisme juga punya sumbangsih besar dalam peradaban umat manusia?
Kamu main gawai—peduli setan itu produk Apple atau Xiaomi, karena siapa? Karena kapitalisme. Semua para pengusaha teknologi yang punya digit uang tak terbatas. Mereka juga punya IPO (Initial Public Offering) saham lho. Salah satu portfolio kapitalisme lanjut yang paling menyebalkan. iPad yang kamu pegang, diongkosi oleh Steve Jobs yang mendapatkan dana-dana investasi dari para investor. Mereka semua kapitalis yang super kaya. Bahkan, gawai murah namun gak murahan sekelas Xiaomi—yang sering disebut Apple-nya kaum proletar itu, juga karena investor. Tanpa itu, sang CEO, Lei Jun musykil bisa membuat ponsel pintar murah dengan kualitas mumpuni itu.
Kamu bisa mencicipi makanan enak, karena siapa? Kamu pasti pernah makan rendang di rumah masakan padang tidak sederhana? Kamu tahu bagaimana proses pembuatan rendang itu? Bumbunya yang kaya akan rempah. Dagingnya yang empuk. Semuanya berkat para kapitalis. Rempah-rempah dihimpun oleh tengkulak. Daging jadi begitu empuk karena dimasak dalam panci bertekanan tinggi. Buatan siapa? Kapitalis dong.
Kamu bisa gaya pakai baju yang swag, karena siapa? Pakaian yang kamu pakai, juga berkat sumbangsih para kapitalis. Entah kapitalis kecil yang melakukan kerja produksi pakaian dalam lingkup industri rumahan. Atau mungkin kapitalis raksasa yang bisa menciptakan pakaian mahal macam Prada atau Armani.
Kamu bisa mendengar musik favoritmu, karena siapa? Tanpa Spotify atau iTunes, para musikus hanyalah manusia kere yang banyak gaya. Mereka bermusik juga karena sokongan uang dari kapitalis.
Kamu bisa berangkat main kemana-mana, karena siapa? Kamu naik taksi, itu karena perusahaan taksi. Kamu naik transportasi online, entah taksi online atau ojek online, itu juga berkat kapitalis macam Nadine Makariem yang valuasi uangnya sudah 1 Milyar lebih. Meski ngomongnya masih startup, mereka adalah kapitalis, Bro!
Jika kamu perokok, pernahkah kamu berpikir rokok itu ada karena siapa? Semua karena perusahaan rokok raksasa seperti Djarum.
Sebetulnya, kamu juga bisa merokok tanpa andil dari kapitalis. Asalkan kamu bikin rokok sendiri, alias melinting tembakau dengan daun misalnya. Itu pun kalau kamu rela mencari tembakau sendiri juga. Nggak capek, emang? Hehe.
Kamu bisa jalan-jalan jauh naik pesawat, karena siapa? Kamu piker Citylink atau AirAsia itu milik siapa? Milik orang kere? Sana, minum Xanax dulu biar hasrat utopismu makin aduhai.
Tanpa kapitalisme, barangkali, manusia di abad lampau bisa punah dengan cepat.
Dulu, masyarakat Eropa abad pertengahan hampir saja punah karena dihajar wabah penyakit lepra. Tapi, akhirnya selamat karena para tengkulak mensponsori sebuah ekspedisi pencarian bahan obat-obatan. Kapitalisme, setidaknya, juga punya jasa. Meskipun, di waktu lain juga pernah membuat seorang buruh mati karena kelelahan bekerja.
Namun, setidaknya kita perlu mendengar ujaran opa Liberalis, Ludwig Von Mises. Ia mengatakan bahwa sistem kapitalisme merupakan satu-satunya sistem yang mungkin dijalankan pada abad ini. Bukan karena artinya kapitalisme ialah baik dan benar adanya, namun lebih karena: cuma kapitalisme yang bisa bikin ‘life must go on’.
Kita mungkin membenci kapitalisme. Tentu, saya pun juga begitu. Kapitalisme kadangkala memang seperti seorang kakek tua yang menyebalkan—bahkan pada titik lain bentuknya bisa menyerupai Pak Harto dengan senyum yang serem itu.
Tapi kapitalisme musykil untuk dihabisi sampai benar-benar lenyap dari muka bumi ini. Kapitalisme, barangkali hanya perlu dijinakkan, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya demi kepentingan segenap umat manusia di dunia ini. Kapitalisme bisa kita anggap seperti kuda liar yang harus dijinakan dengan tali kekang.
Nah, kemarin ini ada orang yang bilang bahwa Indonesia ini belum makmur karena kapitalisme. Intinya, kapitalisme adalah akar kejahatan.
Pernyataaan itu keluar dari mulut Harry Tanoesudibyo. Yang notebene juga merupakan CEO MNC Grup. Taipan media. Konglomerat nasional.
Tuh kan, masih ada kok kapitalisme baik seperti om Harry Tanoe yang peduli dan merakyat itu.
Eh, gimana?
You might also like
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …
1 Comment
Saya jadi ingat, ungkapannya Max Webber gegara tulisannya kang.