Begini, di NKRI harga mati ini, muka badak adalah kunci.
—dinukil dari cerpen “Nasihat Bagus”
Saya menyukai cerita karena saya selalu butuh hiburan. Begitulah cara saya menyiasati hidup yang seringkali naik-turun ini. Saya, biasanya mendapatkan cerita yang menghibur itu, paling tidak dari dua bentuk: film dan prosa—baik dari novel atau cerpen.
Maka, mudah ditebak standar film dan prosa yang saya sukai itu seperti apa. Paling tidak, kalau pada film, ia harus memuat cerita yang bagus, plot twisted, humor, dan kompleksitas. Sedangkan jika prosa, ia harus menghadirkan cerita yang bukan sekedar cerita. Tapi juga harus filmis—menarik untuk diimajinasikan seperti menonton film. Jika tidak, tentu saya akan dengan mudah menutup bukunya dan melanjutkan tidur.
Sialnya, prosa dengan standar seperti itu tak mudah untuk ditemukan di Indonesia ini. Lihatlah cerpen-cerpen dalam halaman sastra media cetak, ceritanya justru sering menjauhi fitrahnya—melupakan cara bercerita yang baik dan melulu sibuk dengan pesan moral. Padahal, tak semua pembaca ingin dikhotbahi. Saya misalnya, hanya ingin dihibur saja dan dininabobokan.
Sehingga sungguh berbahagialah saya ketika mengenal nama Yusi Avianto Pareanom. Seorang prosais yang selalu menulis dengan gaya bercerita yang asyik, humor kental dan sangat filmis. Hampir semua cerpen-cerpennya layak sekali untuk difilmkan. Seperti cerpen-cerpen yang terhimpun dalam buku terbarunya: Muslihat Musang Emas (selanjutnya akan disingkat MME).
***
Buku kumpulan cerpen MME bisa dibilang merupakan buku cerita yang nirfaedah. Jangan harap bisa menemukan remah-remah pesan moral di dalamnya. Meskipun, di dalamnya ada satu cerpen yang berjudul ‘Nasihat Bagus’yang tak berisi nasehat bagus sama sekali.
Saya kira, setelah buku kumpulan cerpen Rumah Kopi Singa Tertawa dan novel Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi, MME bisa jauh lebih diunggulkan. Melalui MME, Yusi membuktikkan bahwa kemampuan berceritanya semakin matang—jernih dan menohok.
Namun, cerita favorit saya dalam MME justru bukan ‘Muslihat Musang Emas dan Elena’ yang dipenggal dan dijadikan sebagai judul buku. Walaupun, saya merasa humor getir dalam cerpen ini juga menohok sekali.
Ada dua cerpen yang sangat saya kagumi: Samsara dan Suatu Hari dalam Kehidupan Seorang Warga Depok yang Pergi ke Jakarta. Dua cerpen ini cukup pamungkas.
Cerpen Samsara begitu nampak sangat filmis sekali. Dan jika saja suatu hari kelak cerpen ini difilmkan, hanya Alejandro González Iñárritu atau Quentin Tarantino saja yang boleh memfilmkannya. Sebab, dalam pembacaan saya, cara Yusi menyajikan cerita, sedikit beririsan dengan cara dua sutradara itu dalam mengemas film. Saya ingat cerpen “Ajal Anwar Sadat di Cempaka Putih” yang tekniknya mirip dengan yang ada dalam film Babel (2006) karya Iñárritu dan Pulp Fiction (1994)
Juga, teknik Yusi ketika membuat si tokoh utama berubah-ubah nama sangat halus sekali. Saya, seperti dibuat tak sadar jika si tokoh sudah berganti-ganti nama beberapa kali. Belum lagi kualitas humornya itu loh. Cerita konyol si tokoh hasil hubungan terlarang yang tiba-tiba ingin berjihad ke Afghanistan ini tak pernah gagal membikin saya ketawa. Intinya, saya begitu menikmatinya dan tak peduli apakah maksud cerpen ini juga ingin mengolok-olok salah satu kelompok radikal di Indonesia (?)
Sedangkan dalam cerpen Suatu Hari dalam Kehidupan Seorang Warga Depok yang Pergi ke Jakarta, Yusi lebih terlihat (cukup) woles. Ceritanya hanya tentang seorang manusia biasa dengan segenap masalah remeh temehnya—perselisihan saat di kereta hingga kepikunan si Warga Depok ketika mengurus paspor . Cerpen ini, bagi saya seperti bentuk personal literature yang dipopulerkan oleh Raditya Dika. Bedanya, cerita ini dituliskan dengan bahasa yang sangat jernih dan kualitas humor yang sedikit receh sih, tapi cukup biadab.
Kita sepakat bahwa kecakapan Yusi dalam bertutur memang tak perlu disangkal lagi. Ia terlampau mumpuni. Luwes, runut, dan aduhai betul! Tapi sayang, di cerpen lain saya juga melihat beberapa kegagalannya.
Misalnya, dalam cerpen Bagaimana Ben Kembali Memeluk Islam, Yusi jadi lebih egois. Ia sedang menceritakan kisah tokoh Ben yang mendapatkan musibah kehilangan dompet pada malam nifsu sya’ban dan berusaha mencarinya dengan susah payah. Tapi, dalam pungkasan cerita, Yusi hanya menyodorkan penutup dengan humor—yang menurut saya—hanya bisa dimengerti oleh lingkaran kawan-kawannya yang eksklusif itu. Sedangkan bagi pembaca lain, mungkin malah membingungkan.
Kegagalan Yusi muncul lagi dalam cerpen ‘Kecerdasan dan Cairan Pekat’. Cerpen ini, sesungguhnya lucu. Tapi sialnya, tak semua pembaca bisa terdorong untuk menyelesaikan cerita hingga tandas. Karena, ceritanya jorok sekali. Hanya tentang seorang pemuda dungu yang ingin meningkatkan kualitasnya dengan meminum air maninya sendiri.
Seorang kawan bernama Jamil Massa—yang juga seorang penyair dan cerpenis—mengaku tak bisa menyelesaikan cerpen ini. Ia gugur di halaman kedua karena mual ketika membayangkannya—ingat! Cerpen Yusi itu filmis!
Saya pikir, cerpen ini tak perlu berlarat-larat dalam beberapa halaman jika hanya ingin mengatakan satu atau dua fakta ajaib. Saran saya, cukup diringkas saja menjadi judul bombastis a la portal pemburu clickbait seperti ini: “7 Manfaat Meminum Sperma yang Harus kamu Ketahui. Manfaat Nomor 5 Pasti Bikin Kamu Merancap Terus!”
Sebagian orang akan tertawa, sebagian yang lain hanya bisa muntah atau sekedar berujar: yuck!
Tapi, sekali lagi, saya tak pernah bermaksud mengatakan bahwa kegagalan-kegagalan dalam 2 cerpen tersebut membatalkan nilai kualitas baik pada MME. Karena, beberapa cerpen lain yang tak saya bahas, memang musykil bila dibilang buruk. Semua tokohnya punya potensi untuk diumpati.
Tokoh-tokoh dalam MME tak pernah berusaha jadi heroik. Mereka memang terkadang punya obsesi untuk jadi culas dan kemaruk—laiknya seekor musang (atau manusia?). Meskipun jatuhnya selalu gagal.
Mereka memang suka bersiasat, tapi siasat mereka tak pernah jitu. Tokoh-tokoh dalam MME hanyalah gerombolan manusia naif yang hanya bisa patuh kepada satu hal: takdir gelap!
You might also like
More from Bermain
Mainan Tradisional Jaman Dulu: Warisan Budaya yang Membangkitkan Nostalgia
Mainan Tradisional Jaman Dulu: Warisan Budaya yang Membangkitkan Nostalgia Mainan tradisional jaman dulu memiliki pesona tersendiri yang membedakannya dari mainan modern. …
Mainan Jaman Dulu yang Terlupakan
Mainan Jaman Dulu yang Terlupakan Di sudut-sudut desa dan lorong-lorong kota, masih tersimpan kenangan tentang mainan jaman dulu yang kini mulai …
Nostalgia dan Dinamika Suara Radio Elshinta Jakarta
Nostalgia dan Dinamika Suara Radio Elshinta Jakarta Awal Mula Elshinta: Melodi dan Berita di Udara Jakarta Radio Elshinta resmi diluncurkan pada 14 …
Leave A Reply
[…] Oh iya, kalau masih penasaran soal isi buku Muslihat Musang Emas, bisa baca ulasannya Kang Mamad di sini. […]