Taufik adalah seorang pedagang mainan keliling yang biasa mangkal di sebuah Sekolah Dasar daerah Bekasi. Dagangannya pun macam-macam ada boneka, botol minum bergambar kartun, telepon mainan, bola isi, bahkan slime. Tak hanya itu Taufik juga menambahkan dagangannya dengan bermacam alat tulis seperti pensil, bolpoin, penggaris, label juga penghapus untuk keperluan belajar anak-anak SD tersebut.
Harga yang dijual olehnya pun relatif terjangkau. Pensil dibanderol dengan harga Rp 1.500-2.500 saja, bolpoin pun dijual dengan selisih tak terlalu jauh kisaran Rp 500 hingga Rp 1.000 dari harga pensil, tergantung merek. Sedangkan untuk mainan, Taufik mengaku yang paling diminati anak-anak SD itu botol minum bergambar kartun dan bandana.
Taufik tak sepenuhnya berdiam diri, ia juga berkeliling menjajakan mainannya ke banyak komplek di seputar Medan Satria, Bekasi. Biasanya ia lakukan setelah jam istirahat siang murid-murid di SD tersebut. Di tengah kemajuan zaman yang membuat anak-anak lebih akrab memainkan gawai pintar dengan fitur gim di dalamnya, Taufik berusaha untuk tetap bertahan dengan mainan sebagai mata pencarian utamanya, “Itulah kenapa saya ngejual alat tulis buat kebutuhan anak-anak sekolahan, walau zaman udah berubah, saya yakin rezeki mah kagak bakal ketuker,” tambah lelaki yang akrab disapa Bang Taufik itu. Pesawat rakitan mini tergolong paling laku dijual oleh Taufik kala berkeliling, namun ia enggan menyebut berapa banyak pesawat mini yang terjual dalam seminggu.
Mainan-mainan yang dibeli Taufik didapat dari berbagai agen mainan di berbagai daerah, di dekat rumahnya ada agen mainan bernama Dunia Mainan, di Jakarta ada pasar Asemka dan Gembrong, di Bogor juga ada pasar kaget yang menjual berbagai mainan lokal maupun impor. Taufik tidak pernah mematok harus beli dari agen mana, ia mengaku belanja mainan di agen yang ia temui pada saat itu saja. “Ya, di mana aja saya mah,” tutur Taufik. Paling tidak dalam satu minggu Taufik belanja ke pasar Asemka, Kota Tua, Jakarta Barat.
Sementara itu sejak rupiah melemah terhadap dolar AS, harga mainan naik 5 sampai 10 persen. Hal itu, dikatakan Intan Kumalasari, pemilik toko mainan yang juga agen pedagang mainan keliling, yang berlokasi di Jl. Pejuang Jaya, Medan Satria, Bekasi. Intan mengaku hal itu membuat penjualan atau omzetnya menyusut hingga 30 persen. Namun, Intan tak mau sebut nilai omzet yang didapatnya. Justru ia lebih mengkhawatirkan pemberlakuan label SNI memperburuk hasil penjualannya.
Penjualan terbanyak toko mainan miliknya terutama berasal dari para pedagang kaki lima. Harga mainan anak-anak itu berkisar Rp 5.000 hingga Rp 100.000 tiap item, kata Intan, menjelaskan, “Itu kan terbilang barang mahal bagi pedagang kaki lima. Mereka jual lagi kan, ya pasti lebih mahal dong dari harga jual saya,” katanya. Rata-rata mainan yang diperjualbelikan adalah mainan impor.
Intan mengaku 73 persen mainan yang ia jual berasal dari Cina sedangkan sisanya mainan produksi lokal. Perempuan berusia 37 tahun itu mengaku tidak masalah terhadap penerapan SNI, terlebih jika kepentingannya untuk memproteksi anak-anak dari bahan kimia yang terkandung dalam mainan, sebab anak-anak seringkali menelan atau menjilat mainan yang dilihatnya, “Hanya saja, daya beli masyarakat saat ini rendah. Selama ini, umumnya masyarakat hanya menghendaki barang murah sehingga mengabaikan kualitas,” tuturnya lagi.
Ketua Asosiasi Mainan Indonesia (AMI) Sutjiadi Lukas pun turut berkomentar, ia menganggap adanya ketidaktepatan dalam penerapan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 55/M-IND/PER/11/2013 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) Mainan Secara Wajib di lapangan. Meskipun pemberlakuan SNI itu wajib namun peraturan tidak bisa dikenakan kepada perseorangan apalagi pedagang keliling mainan dan agen-agennya. Pihak yang wajib memenuhi dan menerapkan SNI seharusnya pengusaha yang telah berbadan hukum.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor Indonesia pada Maret 2018 mencapai US$ 14,49 miliar atau naik 2,13 persen dibandingkan Februari, demikian pula jika dibandingkan dengan Maret 2017 yang terhitung meningkat 9,07 persen. Bila melihat impor non-migas menurut negara asal barang utama, yakni Cina (Tiongkok) masih menjadi negara asal impor terbesar dengan peran 27,3 persen atau mencapai US$ 10,162 juta, Jepang 11,64 persen dan Thailand 6,89 persen. Sementara Uni Eropa 9,42 persen dan ASEAN 20,84 persen.
Data BPS juga menunjukkan impor mainan, gim, dan alat olahraga per 17 Oktober 2017 senilai US$ 240,2 juta (3,2 trilyun) atau tumbuh 49,91 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu yang hanya mencapai US$ 160,2 juta (2,16 trilyun). Mainan impor yang paling banyak diimpor ke pasar nasional adalah Ice Skare dan Roller Skate dengan volume 2,790 ton dan rakitan model yang diperkecil seperti model pesawat terbang dan semacamnya sebanyak 1,870 ton. Sementara itu, dilihat dari negara asal, Cina menjadi negara paling banyak mengirimkan mainan ke Indonesia, disusul Jepang, Singapura, Malaysia, dan Denmark.
Penerapan standar dimaksudkan agar memberikan manfaat positif bagi UKM, antara lain membantu meningkatkan kualitas barang dan jasa, membantu pertumbuhan, mengurangi biaya dan meningkatkan keuntungan bisnis serta membuat bisnis memiliki keunggulan kompetitif. Namun, manfaat-manfaat ini lebih banyak yang bersifat intangible dan bersifat makro. Tak dapat disangkal bahwa Usaha Kecil dan Menengah (UKM) sebagai salah satu pilar perekonomian Indonesia mempunyai peran dan pengaruh dalam perdagangan global. Peningkatan daya saing produk UKM akan menjadi faktor untuk berkompetisi dalam perdagangan global.
Dalam Jurnal Ekonomi Penerapan Standar Pada Usaha Kecil Menengah Menggunakan ISO Methodology disebutkan bahwa penerapan standar memberikan manfaat positif bagi UKM. Sepuluh UKM dari sepuluh negara di dunia memberikan kesaksiannya bagaimana standar ISO memberi kontribusi yang baik. Antara lain membantu berkompetisi dengan perusahaan yang lebih besar, membantu dalam akses pasar ekspor, membantu memberikan praktik bisnis terbaik dan membantu operasi perusahaan menjadi lebih efisien dan berkembang.
Terdapat beberapa manfaat dengan menggunakan metodologi ISO. Pertama, bisa menentukan Value Chain Methodology ISO yang didasarkan pada pendekatan “value chain” (rantai nilai). Kedua, analisa Value Drivers di mana berkemampuan menjalankan suatu organisasi bisnis yang dapat memberikan keuntungan kompetitif terhadap organisasi. Ketiga, menerapkan Key Performance Indicators untuk mengukur efisiensi dari fungsi bisnis. Keempat, mengidentifikasi dampak dari standar International Organization for Standardization (ISO).
Disinggung mengenai hal tersebut saya menemui General Manager Qualis Indonesia, Calvin Satyanandi. Qualis Indonesia ialah laboratorium swasta independen yang tergolong memiliki kelengkapan alat pengujian di Indonesia. Berperan sebagai penyedia jasa verifikasi teknis yang melayani lebih dari 12 sektor industri.
Menurut Calvin, standar itu baiknya ditinjau ulang 5 tahun sekali. “Di Indonesia ini terkadang sebuah standar terhadap produk barang beredar itu berlaku 8-10 tahun, itu kan kelamaan,” ujar lelaki yang sudah berkecimpung di industri laboratorium Indonesia hampir 30 tahun itu.
Sosialisasi SNI pada level masyarakat menengah ke bawah juga masih terasa kurang maksimal. Saya pun melakukan survei kecil-kecilan di daerah Subang, Desa Pabuaran, Jawa Barat. 50 orang yang saya tanyai mengenai pentingkah penerapan SNI untuk mainan anak-anak, hanya 5 orang saja yang menjawab, iya. 45 orang sisanya menganggap tidak, kebanyakan memiliki asumsi: asalkan harga mainan terjangkau.
Persis seperti yang dikatakan Intan, “Menghendaki barang murah sehingga mengabaikan kualitas.” Ini menunjukkan tugas BSN sebagai lembaga yang memiliki tanggung jawab terhadap standar barang beredar perlu ditingkatkan lagi. Belum lagi jika produsen ingin mensertifikasi barang dagangannya yang tergolong memang tidak murah itu, yang sekalinya melakukan sertifikasi produk harus merogoh kocek puluhan hingga ratusan juta rupiah. Tentu ini memberatkan agen mainan dan para pedagang keliling.
Tak hanya pada persoalan standar wajib barang beredar seperti mainan anak. Peningkatan riset dan pengembangan terkait penjaminan mutu produk, khususnya infrastruktur laboratorium pengujian pun masih terasa minim perhatian. Hal ini dikatakan Priyo Wibowo, seorang peneliti yang bekerja pada bagian Pusat Penelitian Sistem Mutu dan Teknologi Pengujian LIPI.
Priyo menyebut masih kurangnya dukungan pemerintah, seperti regulasi yang didukung dengan kapasitas dan kapabilitas laboratorium pengujian, SDM, Lab. Kalibrasi, dll. Misalnya, regulasi SNI Wajib namun laboratorium pengujian dari jumlah, kemampuan, dan kapasitasnya tidak mendukung atau tidak ada di dalam negeri, yang padahal keluarannya berkait kelindan dengan produk barang beredar yang dikonsumsi publik.
“Kalau nguji harus ke luar negeri otomatis harga jual jadi mahal. Belum lagi industrinya sendiri belum sepenuhnya atau malah gak mampu memenuhinya, ya regulasi gak akan jalan,” kata pria berkacamata itu. “Untuk memenuhi itu, kemampuan Lab. uji dan industri kan perlu di-support hasil riset dari lembaga riset seperti LIPI, BPPT, Universitas dan lainnya,” tambahnya lagi.
Hal senada pun dinyatakan Budi F.S, Management Representative Qualis Indonesia, di mana dalam kesehariannya Budi memiliki kewajiban mengevaluasi kelayakan standar ISO 17025 yang meninjau dan menilai bagaimana sebuah laboratorium pengujian bekerja secara maksimal.
Menurutnya pemerintah semestinya melakukan sinergi dengan laboratorium swasta di Indonesia. “Intensitas komunikasi kita perlu ditingkatkan lagi, apalagi sekarang ini banyak sekali standar dunia dari barang beredar yang diperbaharui, kadang di kita selalu telat mengetahui informasi tersebut,” kata Budi.
Perlunya sinergitas yang intensif dari hulu ke hilir mengenai penerapan Standar Nasional Indonesia ini tidak bisa ditunda-tunda lagi agar pedagang keliling seperti Taufik dan pemilik toko mainan seperti Intan akan mampu mensiasati hal-hal di luar prediksi seperti melemahnya rupiah di mata dolar yang mau tidak mau membuat harga-harga pokok makin meroket, termasuk harga dagangan mereka yang seolah jauh dari jangkauan warga kelas menengah ke bawah untuk mendapat mainan berkualitas, aman, dan nyaman digunakan anak-anak sehingga tak perlu lagi membuat khawatir para orang tua.
You might also like
More from Dunia Usaha
Kartu Oracle: Panggung Baru bagi Pecinta Wayang
Wayang oracle kartu oracle dan industri kreatif Tak ubahnya pekerja di sektor industri dan perkantoran, pegiat seni juga merasakan dampak buruk …
Contoh, Manfaat, dan 4 Cara Terbaik Membuat Email Bisnis yang Baik
Kamu sedang membaca Contoh Manfaat dan 4 Cara Terbaik Membuat Email Bisnis yang Baik Kemajuan teknologi digital membawa perubahan dari berbagai …
Mengapa kabel listrik terbuat dari tembaga?
Tembaga sudah lama sekali dijadikan bahan pembuat kabel listrik. Mengapa kabel listrik terbuat dari tembaga? Untuk menjawab pertanyaan tersebut simak …