Efek samping dari media sosial adalah mudahnya ditemukan berita-berita hoax atau informasi yang bersifat palsu, yang berarti kebenarannya diragukan alias tak berdasar, tak ada data apalagi verifikasi. Robert Nares, seorang Philologist asal Inggris mengartikan Hoax (dibaca: hoks) sebagai tindakan menipu. Padahal, asal mula Hoax digunakan untuk bercanda dalam merayakan April Mop. Sebuah lelucon. Sebelum media sosial menjadi epidemi yang demikian banal, hoax dikabarkan dari mulut ke mulut, rumah ke rumah, kampung ke kampung dan pada gilirannya naik level ke tingkat kota.
BACA JUGA: Pindah Agama Bikin Heboh Sejagat Maya
Pengalaman pertama saya mengenai hoax adalah begini, masih ingat ketika saya masih TK, ada yang menyebar kabar jika di salah satu rumah tetangga terdapat hantu samak (tikar) sedang bergoyang, kami yang masih unyu-unyu itu percaya saja dengan omongan tersebut, karena penasaran disambangilah rumah itu beramai-ramai. Hasilnya? Tentu saja nihil. Hanya ada rumah tua tak berpenghuni.
Kedua, pernahkah kamu menerima SMS kalau teman dekatmu meninggal padahal ya, nggak?Apakah setelah mengetahui kalau itu hanyalah guyonan belaka lantas membuatmu marah-marah sampai-sampai berorasi di lapangan Monas hingga teriak-teriak bunuh si pelaku SMS?
Kenyataannya kini, orang mudah tersulut emosi lantaran informasi hoax yang mengarah pada frustasi setelah membacanya, dan pada saat bersamaan politisi bau kentut bekantan dengan laknatnya mengorganisir kefrustasian warga untuk kepentingan busuknya.
Aku Suka Hoax, Serius Aku Suka Hoax
Sialnya, tak sedikit orang-orang yang mendaku terpelajar, dari level sarjana hingga profesor, menelan mentah informasi hoax hanya karena selera isi informasi tersebut sama dengan jalan pemikirannya atawa isi hatinya. Tak ada filter. Bablas saja sudah, serupa balap motor tanpa rem. Ujung-ujungnya nabrak sana-sini. Hebatnya lagi, setelah petaka itu terjadi malah ramai-ramai mengklaim bahwa bangsa ini sedang dipecah belah, disusupi antek asing/aseng, Komunis, China monyong!
Gawat nih: ayo revolusi!
Sebentar, UNESCO mencatat kalau Indonesia berada pada peringkat 61 di bawah Botswana dalam hal tradisi membaca, sekaligus negara paling cerewet di dunia yang menduduki peringkat 5 dengan menghasilkan 15 tweet per detik. Lha, ini gimana jarang baca tapi kok banyak bacot!?
Namun, validasi data yang dikeluarkan UNESCO itu masih bisa diperdebatkan. Buktinya, teman saya yang jualan buku yang didistribusikan secara daring laku keras, tak pernah sepi, ibarat api unggun di perkemahan Waduk Dharma: Tak pernah padam. Kendati demikian ironisnya, penduduk Indonesia mudah termakan informasi hoax yang menjadikannya pasar yang super potensial bagi para produsen hoax melalui media mengingat alat yang paling efektif mengendalikan opini publik adalah media massa, tak terkecuali media sosial. Persis apa yang disebutkan di sini: Post-truth.
You might also like
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …