Dunia media sosial gempar (lagi). Pasalnya belum lama ini, Direktorat Tindak Pidana Siber Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri bersama Direktorat Keamanan Khusus Badan Intelijen Keamanan mengungkap sindikat penyebar isu-isu provokatif di media sosial (26/02/2018). Bareskrim Polri menangkap beberapa anggota Muslim Cyber Army yang tergabung dalam grup WhatsApp the Family MCA.
Konten-konten yang disebarkan pelaku meliputi isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI), penculikan ulama, dan mencemarkan nama baik Presiden, pemerintah, hingga tokoh tertentu. Tak jarang justru konten hoax diproduksi kemudian dijual pada orang atau kelompok tertentu, guna memuluskan langkahnya memengaruhi masyarakat (lewat media sosial). Sungguh miris. Hoax sudah sampai level diproduksi untuk kepentingan tertentu.
Sebagian orang tahu bahwa hoax bisa dijual karena memang ada pembeli hoax. Sebagian orang itu tahu bahwa orang yang penuh benci dan dendam itu mudah dikibuli, sebab kebencian bisa bikin orang tak waspada dan menyebabkan akal sehat berantakan. Merekalah orang-orang yang akan rela membeli dan sekaligus menjual hoax.
Maka direkrutlah orang-orang seperti itu untuk tujuan tertentu. Penyandang dana mengibuli mereka dengan info hoax, uang dan janji surgawi. Mereka menyukai hoax yang sesuai dengan prasangkanya dan lalu menyebarkannya karena ingin orang lain ikut membenci. Dan, anehnya, mereka “merasa” telah berjuang di jalan Tuhan. Oh!
Pada mulanya adalah kebencian, yang bisa muncul karena banyak sebab. Namun apapun penyebabnya, kebencian yang dirawat dan dikembangbiakkan akan merusak diri sendiri dan orang lain sebab kebencian yang berakar akan melahirkan kerusakan jenis lain: kerusakan akhlak, kerusakan sosial, bahkan pertumpahan darah.
Orang yang hidup dalam kubangan kebencian akan selalu merasa tak nyaman dengan hal-hal yang bertentangan dengan pandangan dan keinginannya. Kepalanya dipenuhi prasangka, selalu mencari-cari kesalahan liyan. Pada titik itulah, kebencian akan menciptakan waham (keyakinan atau pikiran yang salah karena bertentangan dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yang tidak berdasarkan logika; sangka; curiga) untuk kemudian menjustifikasi kebenciannya. Dalam makna yang mudah dipahami, waham itu berarti ia merasa dirinya selalu benar, atau paling tidak selalu merasa berada di pihak yang tak bisa salah.
Waham merasa tak pernah salah lalu melahirkan waham baru yang melihat segala sesuatu yang tak sesuai dengan gagasan dan keinginannya adalah selalu salah. Maka orang akan memposisikan dirinya selalu lebih baik dan benar ketimbang liyan. Ia lantas jatuh ke dalam perangkap jejaring struktur kedirian iblis: ana khairun minhu—Aku [selalu] lebih baik daripada dia.
Kemudian orang seperti itu akan selalu ingin memonopoli kebenaran, termasuk kebenaran pemahamannya tentang agama. Ia akan merasa pemahamannya tak pernah keliru; ia merasa bahwa pemahamannya selalu sama dan sebangun dengan pemahaman sang pembawa risalah itu sendiri. Dengan kata lain, entah sadar atau tidak, ia menganggap pengetahuannya sendiri tentang kebenaran adalah setara dengan pengetahuan nabi yang ma’shum (terjaga dari kesalahan).
Namun persoalannya adalah tidak jarang apa-apa yang diyakininya sebagai benar ternyata keliru ketika ia berbenturan dengan kenyataan, bertemu dengan fakta-fakta objektif. Ini menimbulkan ketegangan dalam dirinya sendiri. Ia kecewa karena fakta ternyata tak sesuai dengan anggapannya. Namun ia sudah telanjur membenci perbedaan, dan karenanya ia enggan ilusinya tentang kebenaran menjadi rusak, sebab jika ia menerima kebenaran dari liyan, ia tak lagi punya justifikasi untuk membenci dan menyerang.
Maka masuklah pada tahap berikutnya. Orang yang selalu merasa benar akan menghalalkan segala cara. Bahkan dusta dan fitnahpun kerap ia pakai, seakan yakin bahwa Tuhan ridha dengan kebohongan dan fitnah yang dilakukannya. Karena selalu merasa benar, ia tak pernah ragu menyakiti hati siapapun yang tak sehaluan dengannya, siapapun yang dianggapnya merusak wahamnya sendiri tentang dirinya yang tak bisa salah, waham tentang anggapan bahwa dirinya selalu didukung Tuhan, apapun kelakuannya. Maka ia tak ragu untuk mencerca dan menyakiti hati siapapun yang menunjukkan sudut pandang lain, bahkan siap untuk memfitnah pihak lain yang menunjukkan akal sehat dan fakta kebenaran yang lebih objektif. Bahkan ia merasa menghina, berdusta, memfitnah dan mencaci-maki adalah bagian dari ibadah yang diridhai oleh Tuhan.
Pada akhirnya, orang yang selalu merasa tak bisa salah akan sibuk mencari kesalahan orang lain, mereka-reka cara agar orang lain salah, mengajak orang lain untuk ikut membenci, bahkan sampai berani sibuk mengklaim dan memastikan orang lain akan masuk neraka karena tak sependapat dengan dirinya. Seolah-olah ia punya wewenang untuk menentukan mana yang masuk neraka dan mana yang tidak. Ia selalu memaksakan pendapatnya, mudah menyesatkan liyan yang memberi gagasan alternatif.
Orang yang merasa tak bisa salah tidak akan tenang jika melihat ada kemungkinan dirinya ternyata bisa salah. Ia lantas menjadi keras kepala dan pemarah. Kemarahaannya adalah untuk melindungi waham, atau ilusi, bahwa dirinya tak bisa salah. Ia tak rela melihat ada kemungkinan kebenaran di dalam pendapat liyan yang berbeda. Maka ia hanya mau mendengar apa-apa yang memang ia ingin dengar, yakni hanya mau mendengar gagasan dan kabar yang mendukung wahamnya. Ia enggan mengakui perbedaan penafsiran, sebab ia tak ingin kehilangan ilusi bahwa dirinya tak bisa salah. Ia tak mau diberi peringatan bahwa kebencian, dusta dan fitnahnya adalah berbahaya bagi dirinya sendiri dan orang lain.
Ana khairun minhu-nya iblis memenjarakan hati dan pikirannya. Karena bersikukuh merasa tak bisa salah, maka muncullah dosa dalam dirinya, dosa yang menjauhkan iblis dari Rahmat-Nya: kesombongan. Namun ia lupa bahwa keburukan sebesar atompun akan mendapat balasan dari Tuhan, dengan cara-Nya yang misterius. Tetapi hukuman Tuhan tak selalu berupa kesialan. Terkadang seseorang yang tak mau lagi diberi peringatan malah dibombong, yakni dibiarkan dalam kubangan kebencian dan kesombongan.
Orang seperti itu mudah berdusta menyebarkan hoax. Dan sama sekali tidak ada penyesalan ketika dustanya terbongkar, dan ia akan melakukan dusta lainnya lagi dengan enteng. Ia akan mempertahankan benteng wahamnya dengan cara membiakkan dusta. Jika tidak terbongkar, ia akan menambah-nambahkan dustanya; jika terbongkar, ia akan beralih menyebarkan dusta yang lainnya. Dengan cara inilah ia merasa tenang dalam kebencian dan dustanya, sampai-sampai ia merasa bahwa dusta yang ia sebarkan bukan lagi dusta, tetapi kebenaran, sehingga ia tak sedikitpun merasa bersalah apalagi merasa berdosa.
Jadi, seakan-akan Tuhan menghukumnya dengan membiarkannya terus-menerus menabung dosa berupa kedengkian, menyakiti liyan, kebohongan dan fitnah, serta kesombongan. Ia dibiarkan membakar amal-amalnya sendiri. Kebencian yang ditindaklanjuti dengan dusta dan fitnah semacam itu ujungnya adalah melahirkan namimah yakni upaya menyulut api permusuhan dan adu domba; sebuah tindakan yang oleh sebagian ulama ahli tafsir dikatakan akan dibalas Tuhan dengan pemberian “[api] tali sabut yang dikalungkan [menjerat] lehernya” seperti dalam QS. Al Lahab ayat 5. Wallahu a’lam.
You might also like
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …