Di pagi yang cerah…
Apa yang akan kamu lakukan jika di pagi yang cerah saat sedang ingin bersekolah, kamu mendadak saja mendapatkan pesan bertuliskan sebuah alamat di lokermu? Bingung? Sudah barang tentu. Tidak peduli dan menganggapnya sebagai lelucon? Semua orang pasti akan berpikiran begitu. Termasuk saya. Ngapain repot-repot memedulikan sebuah alamat yang kita tidak tahu ditulis oleh siapa dan untuk apa. Lebih baik kita cepat-cepat masuk kelas untuk menyalin PR, menemui gebetan di kelas sebelah, menggoda adek kelas unyu atau sembunyi-sembunyi sembari ngudut dan minum kopi di belakang sekolah. Iya kan?
Brendan (Joseph Gordon Levitt) berpikiran sebaliknya. Ketika dia mendapatkan memo singkat seperti itu, ia bergegas pergi ke alamat tersebut, walau tentunya dia tidak bisa menyembunyikan rasa penasaran dan bingung di balik wajahnya. Tanpa nama pengirim, Brendan jelas tidak tahu apa yang akan terjadi atau siapa yang akan dia temui. Sungguh misterius. Kafka-esque memang.
Rasa penasaran semakin membuncah dan bertumpuk, ketika Brendan menerima telepon dari Emily Kostich (Emilie de Ravin), mantan kekasihnya, di sebuah telepon umum di alamat tadi, yang mana Emily dengan histeris merengek minta tolong. Berbekal potongan-potongan kata dalam lontaran kalimat Emily, Brendan menemui Brain (Matt O’Leary), sahabatnya yang kutu buku sekaligus “informan tak resmi”-nya. Atas saran Brain, Brendan menemui dan menyelidiki beberapa siswa yang belakangan disinyalir dekat dengan Emily. Mulai dari sepasang kekasih populer, Laura (Nora Zehetner) & Brad Bramish (Brian J. White), Kara (Meagan Good), kakak kelas yang pernah Brendan kencani dan Dode (Noah Seagan), pemuda berandal kekasih Emily.
Walau agak berputar-putar, pada akhirnya Brendan berhasil menemukan Emily dan berbincang dengannya, tetapi itu hanya tirai awal dari babak petualangan Brendan. Keesokan harinya, Brendan menemukan tubuh Emily tergeletak tak bernyawa di sebuah gorong-gorong pembuangan air (bukan spoiler!). Merasa ada yang ganjil, Brendan kembali menyelidiki orang-orang yang dia “interogasi” sebelumnya guna menyingkap selubung misteri dan motif sebenarnya yang menyebabkan kematian Emily. Sekali lagi, dibantu Brain dan kali ini bersama Laura, penyelidikan Brendan membawa dirinya tenggelam pada seluk beluk dunia kriminal bawah tanah di sekolahnya yang dikomandani pemuda difabel berjuluk The Pin (Lukas Haas) serta algojonya, Tugger (Noah Fleiss).
Rian Johnson, pria yang bertanggung jawab dibalik “rusak”-nya hidung Joseph Gordon Levitt (Looper, 2012) dan duel epic lightsaber maha dahsyat sepanjang sejarah Star Wars (Star Wars VIII: The Last Jedi, 2017) memulai debut film pertamanya dengan menghidangkan sebuah sajian coming of age beraromakan neo-noir. Alih-alih berlatarkan sudut-sudut kota yang muram, lantunan musik-musik pengiring yang mencekam, karakter titular dengan rokok dan mantel atau sinematografi hitam-putih, Rian Johnson justru menyulap sekolahan menjadi panggung kriminal penuh intrik, tipu daya, konspirasi dan manipulasi.
Menjadikan sekolah sebagai papan catur dan anak-anak SMA sebagai bidaknya tidak serta merta membuat Brick terlihat banal. Dari naskah sendiri, Rian terinspirasi dengan penulis favoritnya Dashiel Hammet, yang terkenal dengan genre noir dan detektifnya. The Maltese Falcon, karyanya yang paling tenar sudah diadaptasi oleh John Huston ke dalam film dengan mengusung aktor kawakan sekelas Humprey Bogart sebagai Sam Spade. Sedangkan secara visual, Rian sangat terpengaruh dengan film-film spaghetti western dan salah satu serial anime jepang teraduhai sepanjang masa, Cowboy Bebop. Jika kamu menggemari film-film-nya Sergie Leone macam For a Few Dollars More, A Fistful of Dollars, The Good, the Bad and the Ugly atau Cowboy Bebop-nya Shinichiro Watanabe dan punya mata yang jeli, kamu akan langsung menyadari kentalnya pengaruh teknik Extreme Wide Shot (EWS) dan Very Wide Shot (VWS) yang dinamis, juga cut-in dan cutaway-shot yang bertabur di sana-sini dalam Brick. Itu semua membuat Brick jauh lebih intens dan berkualitas dibanding 21 Jump Streets, Nancy Drew atau Veronica Mars, sebagai film detektif SMA yang bernapaskan serupa.
Berbicara penokohan, Brick punya Brendan Fyre sebagai ujung tombak. Pemuda penyendiri yang eksistensinya hampir selalu tak kasat mata di sekolah. Sekalinya terlihat mereka biasanya hanya akan menjadi bulan-bulanan para perundung. Namun, tentu saja, Brendan bukan karakter ber-stereo-type macam itu. Dia memang penyendiri, tapi dia bukan sosok lemah. Di balik kacamata bulat, rambut berantakan dan tubuh kurusnya (Dua yang terakhir juga terinspirasi dari tokoh Spike Spiegel di Cowboy Bebop), Brendan adalah sosok yang serius, cerdas, kontemplatif, punya ketajaman intuisi, dan siap baku hantam jika diperlukan. Lebih tepat jika dikatakan Brendan menjadi penyendiri karena dia memilih jalan itu, bukan karena diasingkan oleh lingkungan sekitar. Dia adalah empat tokoh utama (kecuali Claire Si Putri) dalam film The Breakfast Club yang dijadikan satu. Paket lengkap John Hughes, saya menamainya. Pemuda yang bakal menghadapi Dilan dan pasukan bermotornya seorang diri dengan tangan kosong. Meski begitu, Brendan bukanlah sosok yang sempurna. Seperti laiknya anak SMA seumurnya. Brendan sering melakukan tindakan yang reckless. Dia juga sinis dan keras kepala khas darah muda. Sifatnya itu yang menjadi penyebab putusnya dia dengan Emily.
Bagaimana dengan karakter pendukungnya? Dalam tiap film noir atau detektif selalu ada tokoh perempuan cantik nan mematikan atau biasa disebut femme-fatale yang bersembunyi di balik topeng keanggunan guna menyesatkan penyelidikan si tokoh utama dengan tikaman muslihat tanpa tanding. Ambil contoh Phyllis Dietrchson di film Double Indemnity, Brigid O’Shaughnessy di The Maltese Falcon atau yang paling terkenal Irene Adler di Sherlock Holmes. Brick pun punya sosok Laura yang mana merepresentasikan hal tersebut. Dia adalah Irene Adler dalam Brick. Mewakili ranah abu-abu, mengintai di tengah-tengah perseteruan Brendan dan The Pin, siap mengaktifkan hulu ledak dan lubang perangkap kapan pun dan di mana pun dia mau.
Rian Johnson selaku sutradara dan penulis naskah punya visi unik lagi orisinil-nya sendiri dalam membangun semesta neo-noirnya. Ia mengganti bar dan motel murah menjadi perpustakaan dan halaman belakang sekolah sebagai tempat pertukaran informasi, kemudian mengganti kantor polisi dengan kantor kepala sekolah. Begitu juga dengan latar musiknya. Nathan Johnson, selaku sepupu Rian, mengobrak-abrik pakem dan mengubah latar musik jazzy dan suram ala noir yang biasanya dihiasi tiupan seksi saksofon dan dentingan piano, menjadi iringan instrumen-instrumen musik eksentrik, mulai dari suara lemari sampai perkakas dapur. Ajaib betul. Bahkan sampai saat ini, bebunyian-bebunyian itu masih menggema di telinga saya.
Disunting menggunakan komputer rumahan dan teknologi seadanya pada saat itu, saya berani bilang bahwa Brick adalah film cult detektif paling brilian dan otentik sepanjang masa, oasis menyegarkan buat kalian para pencinta genre detektif yang jenuh dengan kedigdayan Sherlock Holmes.
Ah, ya. Hampir lupa. Seperti yang saya torehkan di judul, pesan moral dari film ini adalah, “jangan pernah sekali-kali kepo sama mantan, kalau enggak mau bernasib sama kayak Brendan.”
You might also like
More from Tontonan
Orient Express: Dari Novel hingga Layar Lebar
Orient Express: Dari Novel hingga Layar Lebar Orient Express adalah nama yang memicu imajinasi, menggambarkan kemewahan, misteri, dan perjalanan epik melintasi …
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …
Analisis Ending Film The Commuter
Analisis Ending Film The Commuter "The Commuter," sebuah film thriller yang dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan yang penuh …