Buku dan Identitas

Bertahun-tahun lalu, saya mengobrol dengan seorang kawan yang tinggal di Jakarta. Kawan saya ini bisa masuk dalam golongan masyarakat kelas menengah dan generasi milenial. Tapi untungnya dia tidak ngehek.

Saya sering merepotkannya ketika membutuhkan saran. Sesi obrolan itu, bisa disebut juga sebagai sesi curhat. Sebab, memang pada saat itu saya sedang dalam keadaan tertekan dan sangat membutuhkan dukungan dari orang lain.

“Teh, kenapa ya aku sering di-bully di sini?”, maksud “di sini” merujuk pada tempat domisili saya: Subang.

“Kalau menurutku sih, mungkin karena hobimu dengan buku itu. Mungkin, mereka punya sentimen khusus dengan orang-orang sepertimu. Apalagi kamu kan tinggal di daerah, di desa, jadi mungkin mereka berpikir “halah, sok-sokan tinggal di desa baca buku” Apalagi bukumu kan aneh-aneh.”

Sejenak, saya mencoba mencerna pendapat kawan saya itu. Rasanya, pangkal masalah yang coba ia uraikan juga ada benarnya. Identitas dan buku barangkali memang punya hubungan erat yang tak nampak.

Buku, jika kita telusuri sejarahnya, adalah bagian yang tak terelakkan dalam proses perabadan manusia. Buku adalah sejilid kertas yang memuat aksara. Dalam aksara itulah, pengetahuan dan segala informasi tersimpan. Manusia yang sadar bahwa ia adalah makhluk beradab, seharusnya tak boleh merasa asing dengan benda bernama buku. Maka, rasanya aneh sekali bila ada orang yang merasa bahwa buku adalah benda asing. Padahal itu adalah hasil dari proses peradaban yang panjang.

Namun, pada beberapa sisi lain, buku memang bisa menjadi benda asing dan previlege bagi kaum kelas menengah. Semisal, orang-orang desa mungkin menganggap bahwa buku-buku sastra terjemahan adalah bacaan yang asing. Bacaan nir-faedah. Mereka barangkali belum mengenal nama-nama asing seperti Goerge Orwell dan Haruki Murakami. Berbeda ketika mereka berhadapan dengan buku “budidaya ikan lele” atau “Berkebun Cabe” atau semisalnya. Tetapi, sejatinya, anggapan ini tak bisa kita jadikan sebagai pandangan yang generik.

Sebab, ada pula orang-orang desa yang mengenal nama-nama itu. Atau bahkan, wawasan mereka lebih ensiklopedik lagi. Wawasan mereka mungkin bisa merentang sampai pada karya-karya sastra klasik Era Victorian. Saya mengenal orang seperti itu. Ia adalah seorang penggemar sastra klasik, penulis prosa, penerjemah yang baik, dan penyendiri yang unik. Namanya: Nurul Hanafi.

Ia bahkan telah mengkhatamkan naskah-naskah drama Shakespeare. Dan juga, yang paling mencengankan, ia pernah khatam membaca novel babon In Search of Lost Time karya Marcel Proust. Anda tahu, itulah novel yang disebut paling tebal di Eropa. Bahkan mungkin di dunia. Novel itu hanya bisa diselesaikan oleh orang-orang pilihan. Dan Nurul Hanafi, termasuk di dalamnya.

Hal ini juga berlaku ketika kita memandang kelas menengah. Mereka, mungkin bisa menjadi pelanggan kafe-kafe mahal di jajaran wilayah urban seperti Jakarta. Hal itu tak lantas membuat mereka menjadi akrab dengan buku. Buku bisa jadi previlege untuk mereka. Tapi, tak semua orang kota punya hubungan sensitif dengan buku. Mungkin juga mereka hanya mengenal nama Tere Liye atau Ika Natassa. Mungkin. Meskipun karena kedua penulis itu juga tak kalah baik.

Jadi, anggapan-anggapan generik semacam itu tak boleh digunakan secara gegabah.

Anggapan-anggapan yang terlalu lancang akan membuat hubungan antara buku dan identitas menjadi tidak baik. Kita akan dengan mudah menganggap orang desa sebagai orang bodoh dan orang kota adalah seorang intelektuil yang selalu benar. Tidak bisa.

Buku adalah kenikmatan yang sangat boleh diakses oleh siapa pun. Tak peduli tempat kongkow Anda kedai kopi Starbucks atau warung kopi gubuk pinggir jalan. Bebas. Atau bahkan ia menjadi tuntutan wajib. Untuk semua jenis buku apa pun. Karena buku dan identitas, tak punya hubungan yang berbanding lurus.

You might also like

---

More from Rehat

---

Editor Picks

---