Dari CEO Restock ID Kita Belajar….
Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang diagung-agungkan. Rombongan itu tak jarang bergesekan dengan rombongan organisasi lain dengan bendera yang berbeda.
Perang jalanan tak terhindarkan, atas nama kebanggaan. Senjata yang digunakan pun beragam, ada pedang katana KW, gesper berduri, celurit, golok, kayu, batu, dll. Mengukuhkan siapa yang paling jagoan di jalanan. Beberapa orang cedera, masuk rumah sakit, dirawat. Sebagian masuk sel kodim, sebagiannya meregang nyawa di tempat.
Pertarungan itu biasanya semakin mengerucut ke individu. Sehingga, seseorang di dalam organisasi tersebut pun hampir selalu bawa senjata kemana-mana dengan dalih berjaga-jaga, dari mulai yang tajam, tumpul, keras, hingga senjata api pun tersedia.
Khusus yang terakhir, ketika disentuh aparat, biasanya mereka akan berkata, “Saya anak Jenderal!” “Saya saudaranya anggota!” “Saya kerabat dekat Pak Astahiyam…” niscaya urusan selesai dalam sekejap kata. Pemandangan seperti ini bukan sesuatu yang asing pada dua dekade lalu, tepatnya medio 1990-an hingga awal 2000-an, dan sialnya, sempat-sempatnya saya menyaksikan kultur seperti itu.
Tak jarang arogansi remaja bereceran di jalanan dan kerap melawan aturan hukum. Biasanya, yang demikian itu menggunakan jabatan orang tua atau kerabat yang notabene perwira tinggi di institusi kepolisian maupun TNI sebagai tameng untuk membobol aturan.
Dengan membusungkan dada dan mengaku sebagai anak kolong, anak pejabat atau TNI, kerap dijadikan jurus andalan agar lolos dari pelanggaran yang dilakukan. Kebanyakan perilaku seperti ini memang terjadi di jalanan.
Menurut sosiolog Musni Umar, arogansi dengan membawa-bawa institusi Polri atau TNI sesungguhnya identik dengan zaman orde baru di bawah kepemimpin yang mulia Presiden daripada Soeharto. Saat itu publik langsung bergetar ketika mendengar petinggi TNI/Polri atau bahkan hanya anggota.
Strata sosial dengan menempatkan petinggi TNI/Polri di jajaran kelas wahid, membuat kelas menengah ke bawah segan. Ditambah gaya-gaya militeristik yang identik dengan kekerasan yang memang menjadi sesuatu yang galib kala itu.
Milenium Bergeser, Media Sosial Menjadi Gesper
Aksi Elanto Wijoyono yang menghadang konvoi Moge sekitar 5 tahun lalu sempat menggemparkan jagat maya. Pasalnya, konvoi tersebut tidak mengindahkan aturan lalu lintas, lebih parahnya lagi konvoi tersebut dikawal Polisi. Seperti yang kita tahu jika para pemilik Moge adalah orang-orang berduit dari berbagai latar belakang, tak terkecuali aparatur negara. Sedangkan Elanto hanyalah pesepeda angin biasa sebagaimana mayoritas orang-orang Indonesia.
Di dalam video YouTube yang diunggah Agustus 2015 lalu di kanal milik Didik Kurniawan Saputra, yang telah ditonton lebih dari dua ratus ribu kali itu terlihat jika terjadi percekcokan antara anggota Moge dan Elanto. Anggota Moge tersebut arogannya memang gak ada obat!
Setelah video itu diunggah di dunia maya dan menjadi perbincangan hangat, netizen merespons dengan mendukung aksi Elanto, khususnya warga Yogyakarta yang paling merasa punya kepentingan.
Media sosial memang telah mengubah pola komunikasi dan interaksi, termasuk pola-pola kekuasaan dan yang berkuasa. Di saat itu media sosial seolah menjadi suara dari yang tak bersuara, UU ITE belum dijadikan stabilitator kekuasaan yang intensif.
Di sisi lain, ini menunjukan bahwa arogansi pengendara yang merasa dirinya lebih besar dari yang lain masih melekat dengan erat, terkadang aparat juga malah menjadi korban keberingasannya.
Diafirmasi Yannes Martinus Pasaribu, seorang pengamat otomotif menyebut fenomena ini muncul dari beberapa faktor, kenapa bisa tindakan arogansi ini muncul dalam kegiatan komunitas motor. Dilansir dari detik.com, hal ini berkaitan dengan jenis motor, branding kelompok, dan pola berkendara secara konvoi, kata dia.
Pada Oktober 2020 lalu terjadi pengeroyokan pada anggota TNI oleh anggota Moge. Bisa dibilang orang yang mampu memiliki motor ini bukan orang sembarang dan lazimnya memiliki posisi kuat di bidangnya masing-masing.
Dari sana muncullah pride dan eksklusifitas tanpa batas, sehingga rasanya dunia ini milik sendiri yang bebas berbuat apa saja termasuk memasung kebebasan orang lain.
Aksi Arogan Tak Mengenal Jenis Kendaraan
Sekitar 2 April 2021 media sosial gempar dengan perilaku seorang pemuda gondrong nanggung yang mengendarai Fortuner hitam di sekitaran Duren Sawit, Jakarta Timur. Video itu beredar di berbagai platform media sosial seperti Twitter, Facebook, Instagram, YouTube, status WhatsApp dengan konotasi negatif yang gemes ingin merujak.
Siapapun pasti kesal setelah melihat video itu. Menurut saksi mata yang berada di lokasi kejadian, mobil itu sesungguhnya menabrak seorang pengendara motor matic jenis Vario bernomor plat AD 2471 ASF, bukannya minta maaf sopir Fortuner bernomor plat B 1763 SJV itu malah menenteng replika senjata api jenis air softgun dengan nada memaksa ingin lewat begitu saja tanpa merasa bersalah sedikitpun, sebaliknya ia malah menantang seseorang yang sedang merekamnya agar lekas memviralkannya.
Saat tulisan ini dibuat, saya mencoba mencari klarifikasi pengendara Fortuner tersebut, kenapa bisa berbuat demikian. Namun, saya tak menemukan apapun kecuali pengumuman Humas Polisi yang menyebut telah berhasil menangkapnya dan beberapa kesaksian di lapangan. Saya tidak tahu apakah pemuda itu sedang membela diri karena di daerah itu rawan kriminalitas dengan beragam modus operandi atau memang seperti yang diasumsikan banyak orang.
Namun, setelah mengetahui identitas sopir Fortuner tersebut, impresi pertama saya cukup kaget dan tak habis pikir dengan sikapnya yang demikian. Jika yang terjadi adalah asumsi banyak orang, jelas darah yang mengalir di nadinya tak lebih dari anggota gangster jalanan dunia ke-3 2 dekade lalu.
Usianya masih tergolong muda, parahnya ia mewarisi perilaku yang seharusnya putus pada anak muda. Sungguh memalukan! Namun, yang lebih mengagetkan lagi rupanya dia seorang CEO perusahaan rintisan bernama Restock ID.
Muhammad Farid Andika adalah pendiri sekaligus CEO sebuah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang keuangan. Restock ID merupakan platform P2P (Peer to peer) lending yang menyediakan akses pembiayaan terhadap UMKM dengan skema inventori usaha sebagai jaminan dalam proses pembiayaannya.
Pada 2020 Restock ID mendapat seed funding sebesar US$ 1 juta. Bila dikonversi ke IDR sama dengan empat belas setengah miliar rupiah. Apa yang bakal kamu lakukan jika kamu adalah seorang investor perusahaan ini? Lebih jauh lagi apa yang bakal kamu harapkan darinya?
Beberapa waktu lalu Ahmad Zaky, ex-CEO Bukalapak pernah dirundung satu Indonesia karena cuitannya mengenai rendahnya anggaran untuk riset dan teknologi dari pemerintah. Intinya, pemerintah memberi dana yang jauh lebih rendah dibanding anggaran pertahanan.
Zaky dicap anak tak tahu terima kasih, “durhaka”, sebab beberapa hari sebelumnya dalam acara ulang tahun Bukalapak dihadiri Presiden Jokowi sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap industri teknologi karya anak bangsa.
Tapi tentu saja konteksnya berbeda dengan yang dilakukan Farid. Jika asumsi berubah valid, yang dilakukan Farid jelas jauh lebih fatal daripada yang pernah dilakukan CEO manapun dalam menjaga citra, persona, dan kepercayaan, bisa jadi hal ini bakal diingat publik berdekade lamanya. Mungkin, bila tim Corporate Communication Restock ID sejago tim PR istana Buckingham cerita ini akan berlanjut ke arah yang sama sekali berbeda.
Yang jelas per 3 April 2021 Restock ID mengumumkan jika Muhammad Farid Andika telah digantikan oleh Tiar Nabilla Karbala. Seolah-olah menegaskan bahwa pengemudi Fortuner telah melakukan tindakan yang sewenang-wenang di jalanan. Kejadian ini barangkali mengajarkan kita banyak hal, bahwa sejak berdekade-dekade lalu perilaku kita di jalanan sesungguhnya tak pernah beranjak kemana-mana. Masih menggaruk-garuk di lubang yang sama.
Seandainya asumsi banyak orang itu benar adanya.
You might also like
More from Ruang Raung
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …
Belajar Saja Nasionalisme Sama Semut, Ndan!
Belum reda ontra-ontran masalah zonasi. Konon kabarnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk membina karakter …