Setiap kali membuka beranda media sosial, ada aja yang diributin. Soal perusakan rumah ibadahlah, penyerangan terhadap pemuka agama yang dikaitkan dengan PKI gaya barulah, dan yang paling anyar semua orang ikutan ribut hanya gara-gara insiden paspampres menahan Gubernur Anies ikut mendampingi Presiden Jokowi.
Anggap saja di situ ada penghinaan. Tapi coba dipikirkan ulang, bukankah yang dihina tak akan berkurang kemuliaannya hanya karena hinaan itu, dan yang menghina juga tak akan meningkat derajatnya? Kalau mereka justru tertawa-tawa dan gembira selama pertandingan bola itu, lantas siapa yang baper coba?
Gejalanya kok akhir-akhir ini kita melulu berpikir politis dan ingin mengapitalisasi penghinaan itu jadi dukungan. Mengingat bahwa kita seringkali telanjur mencintai semua junjungan kita dalam politik sehingga tak bisa keluar dari kotak pendukung, lalu santai ngopi-ngopi dan menertawakan para idola kita. Bahkan ada (sebagian) masyarakat yang berpikir bahwa ini ada skenario politik untuk menyingkirkan yang lain. Syeeeet dah!
Sejak pemilihan presiden lalu, kita semua terpecah dalam dua kubu, yang namanya diambil dari nama-nama hewan. Ada yang disebut cebongers, hanya karena junjungannya pernah melepas kodok dan kecebong di kolam istana. Ada juga yang disebut kampret sebagai bentuk olok-olok. Dua kubu ini, kalok boleh saya ibaratkan seperti dua kelompok anak kecil yang ribut gara-gara tidak kebagian permen lalu saling nyinyir di media sosial.
Maka tak heran jika media sosial kita dipenuhi dengan ledekan. Media sosial kita jadi berisik dengan hal yang remeh-temeh yang tak ada kaitannya dengan hajat hidup rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Anggaplah ada konflik antara Jokowi dan Anies yang bermuara pada popularitas calon presiden.
Pertanyaannya, apakah konflik mereka itu sesuatu yang substantif dan menyangkut kita semua, ataukah konflik itu muncul hanya karena kita suka membesar-besarkan sesuatu? Harusnya, pertanyaan yang muncul adalah apa manfaat peristiwa itu pada kehidupan petani yang kian susah karena beras impor selalu berdatangan? Eh, keceplosan.
Padahal, kalau mau jujur, kehidupan kita tak pernah beranjak maju. Dari presiden ke presiden, banyak rakyat tetap miskin, tetap melarat, dan hanya bisa makan nasi basi. Dari pemilu ke pemilu, berbagai janji ditebar, dan kehidupan tetap saja susah. Jadi guys, pertengkaran dua politisi tak akan membawa manfaat apa-apa bagi banyaknya masalah di masyarakat kita yang membutuhkan kehadiran negara di situ.
Di tengah semua timbunan janji itu, kita rakyat biasa selalu bangkit dan berjibaku demi kehidupan kita sendiri. Pada akhirnya, nasib kita akan ditentukan pada sejauh mana kerja keras kita untuk membanting tulang, bukan pada sejauh mana realisasi janji seorang politisi. Kita merasa terhormat ketika berhasil mendapatkan sesuap nasi dari hasil kerja keras dan banting tulang. Kita merasa terhina apabila rejeki didapatkan dari hasil korupsi dan bagi-bagi seorang politisi.
Come on, hentikanlah perdebatan tak penting itu. Para politisi kita terlihat baik-baik saja. Tawa canda selalu hadir dalam setiap pertemuan mereka. Tak perlu kita kurang kerjaan dan tiba-tiba baper hanya karena melihat ada yang mati gaya dan kehilangan panggung.
Yakinlah, Gubernur Anies punya panggung yang jauh lebih besar dari sekadar Stadion GBK yakni seluruh wilayah DKI Jakarta yang dipenuhi kerja-kerja cerdas dan kreatifnya. Yakin pula, Pak Jokowi juga punya arena luas yakni pemenuhan kewajibannya sebagai presiden yang mengatur hajat hidup lebih 200 juta rakyat Indonesia. Mereka punya agenda, dan kita pun punya begitu banyak energi untuk membahas hal-hal yang jauh lebih penting.
Kepada Presiden Jokowi, harusnya kita ajukan seribu tanya, sudah berapa banyak kerja-kerja yang dilakukannya untuk memenuhi semua janji yang disebarnya ketika kampanye dahulu?
Kepada Gubernur Anies, perlu pula kita ajukan pertanyaan, apakah dirinya sudah punya rencana bagaimana mewujudkan Jakarta bebas banjir sekaligus rumah yang membahagiakan semua orang termasuk orang yang dahulu tidak memilihnya?
Kepada diri sendiri, mesti pula kita ajukan pertanyaan. Apakah diri kita bisa menjadi rahmat bagi mereka yang berumah di sekitar kita? Apakah kita punya waktu untuk sekadar memikirkan dunia sekitar, lalu berikhtiar untuk melakukan hal-hal kecil tapi minimal punya dampak bagi para sahabat, tetangga, serta keluarga kita sendiri?
Ataukah kita hanya menjadi beban dari orang-orang baik di sekitar kita yang setiap saat memikirkan kita. Jangan-jangan orang-orang di sekitar kita capek memikirkan kita yang masih jomblo dan hanya sibuk naksir kiri kanan, tanpa eksekusi? Wkwkwk…
You might also like
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …