Demokrasi dan Celah Membangun Politik Dinasti
Demokrasi, dalam idealismenya, adalah sistem pemerintahan yang memberdayakan warga negara untuk memilih pemimpin mereka dalam proses yang adil dan terbuka. Diharapkan sistem tersebut turun temurun ke level akar rumput dalam bentuknya yang bermacam-macam.
Namun, seiring berjalannya waktu, celah telah ditemukan dalam praktik demokrasi ini, yang paling mencolok adalah berkembangnya politik dinasti. Ironisnya, meskipun demokrasi bermaksud untuk memutus rantai kekuasaan warisan, dalam praktiknya, tampaknya politik dinasti hanya mengganti bentuk kekuasaan yang absolut dengan yang lebih halus namun sama merugikannya. Beda rupa, semacam dasamuka yang bermuka gurita.
Pandangan ini bisa dilihat melalui prisma kasus-kasus seperti era Trump di Amerika Serikat, skandal Choi Soon-sil di Korea Selatan, dinasti politik di Filipina, hingga era Kirchner di Argentina. Di setiap kasus, kita melihat bagaimana kekuatan personal dapat menginfeksi dan meracuni lembaga demokrasi yang seharusnya memihak pada urusan publik.
BACA JUGA: Berbincang Dengan Bard, Sebuah AI Buatan Google Tentang Israel-Palestina
Amerika Serikat dan Bisnis Trump
Donald Trump, dengan kekaisaran bisnis yang luas, memasuki Gedung Putih tidak hanya dengan janji-janji politik tetapi juga dengan sekumpulan konflik kepentingan. Meski konstitusi AS telah menetapkan batasan untuk mencegah kepentingan pribadi berbenturan dengan kebijakan publik, kecukupan langkah-langkah ini menjadi pertanyaan serius selama pemerintahannya. Misalnya, usulan untuk menyelenggarakan pertemuan G7 di resor Trump adalah contoh klasik dari bagaimana kebijakan pemerintah bisa terlihat dicorakkan untuk menguntungkan kepentingan pribadi, dan juga menjamu para pemimpin dunia di sejumlah propertinya yang lain, termasuk di klub tepi pantai Mar-a-Lago di Palm Beach, Florida. Ini adalah contoh etika politik dipertontonkan secara telanjang, bisa dibayangkan politik di belakang layarnya seperti apa dan bagaimana.
Korea Selatan: Skandal Choi Soon-sil
Skandal Choi Soon-sil mengekspos masalah etika demokrasi di Korea Selatan ketika Choi memanfaatkan kedekatannya dengan Presiden Park Geun-hye yang dimakzulkan 2017 silam untuk keuntungan pribadi, termasuk mendapat sumbangan besar dari perusahaan-perusahaan besar tanpa memiliki posisi resmi. Hubungan mereka bermula ketika Park, yang menggantikan ibunya sebagai ibu negara setelah ibunya terbunuh pada 1974, dibimbing oleh Choi Tae-min, figur kontroversial pemimpin sekte dengan pengaruh yang menyamai Rasputin, seorang dukun yang membimbing kaisar Tsar Rusia. Tetelah pembunuhan ayah Park oleh kepala intelijen Korea Utara pada 1979 dan setelahnya, Park Geun-hye dan Choi Soon-sil pun mulai dekat dan bersahabat. Skandal ini menggoyahkan legitimasi proses demokratis di negara tersebut, yang menambah spekulasi tentang pengaruh Choi dalam pemerintahan. Untuk menyegarkan ingatan kita, kejaksaan Korea Selatan menyatakan Presiden Park terlibat kolusi dengan Choi Soon-sil, yang sudah didakwa menggunakan pengaruhnya sehingga yayasan miliknya mendapat sumbangan US$60 juta lebih atau sekitar Rp803 miliar dari perusahaan-perusahaan besar Korea Selatan. Chaebol Korea Selatan bermitra dengan iblis bukanlah isapan jempol semata.
BACA JUGA: Drama Korea ‘Reborn Rich’ dan Realitas Chaebol
Filipina dan Dinasti Politik
Dalam konteks Filipina, dinasti politik telah menjadi norma. Dengan keluarga politik yang menguasai politik lokal hingga nasional, dinasti politik ini mencerminkan bagaimana kekuasaan dapat dikonsolidasikan dalam kelompok terbatas. Rodrigo Duterte, misalnya, “menempatkan” anggota keluarga dalam posisi politik, termasuk anaknya yang sempat menjadi wali kota Davao City, yang kemudian menjadi Wakil Presiden Filipina sejak 2022. Kasus Duterte, dengan anggota keluarganya dalam posisi kunci, mempertanyakan seberapa jauh negara demokratis dapat menoleransi pengumpulan kekuasaan sebelum itu berubah menjadi otoritarianisme.
Argentina dan Kasus Kirchner
Di Argentina, era Kirchner menyoroti bagaimana kekuasaan politik dapat diberikan dan dipertahankan dalam lingkaran kecil, dengan tuduhan korupsi dan nepotisme yang merugikan kredibilitas lembaga pemerintahan. Kasus seperti Héctor Timerman hanya memperkuat narasi ini, menambah bukti pada dugaan bahwa proses demokratis bisa dijalankan tidak untuk publik, melainkan untuk kepentingan beberapa.
Semua contoh ini membawa kita pada kesimpulan yang tidak menyenangkan: demokrasi, dengan semua atribut positifnya, masih rentan terhadap manipulasi dan penyalahgunaan. Celah ini bukan hanya masalah etika, tapi juga mendasar dalam cara sistem bagaimana demokrasi bekerja.
Praktik politik dinasti dan konflik kepentingan, seperti yang diajukan oleh politolog seperti Dalton dan Putnam, menyatakan bahwa keberlangsungan demokrasi sangat bergantung pada partisipasi aktif dan kesetaraan akses ke ranah politik. Jika celah ini dibiarkan, kita mungkin melihat erosi kepercayaan publik terhadap lembaga demokratis, seperti yang telah dibuktikan oleh survei yang dilakukan oleh Pew Research Center, yang menunjukkan penurunan kepercayaan terhadap pemerintah di banyak negara demokrasi.
Berikut adalah hasil survei Pew Research Center antara tahun 2015 dan 2021:
- Sebanyak 56% responden dari 17 ekonomi negara maju yang disurvei pada tahun 2021 mengatakan sistem politik mereka memerlukan perubahan besar atau harus direformasi sepenuhnya.
- Kinerja ekonomi, kompetensi pemerintahan, dan keadilan sistem politik dan ekonomi dianggap berhubungan dengan ketidakpuasan ini.
- Pengelolaan pandemi COVID-19 juga mempengaruhi kepuasan masyarakat terhadap demokrasi; contohnya, 73% orang Jerman yang tidak puas dengan penanganan pandemi percaya sistem politik mereka memerlukan perubahan besar.
- Sebanyak 54% responden dari 27 negara yang disurvei pada tahun 2018 mengatakan bahwa sebagian besar politisi di negara mereka korup, menunjukkan persepsi korupsi politik yang luas.
Erosi Kepercayaan dan Dampaknya
Kepercayaan publik adalah komoditas berharga dalam demokrasi. Tanpa itu, otoritas pemerintah dapat dipertanyakan, dan legitimasi kebijakan yang dikeluarkan menjadi lemah. Saat warga negara merasa bahwa pemimpin mereka lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kesejahteraan publik, hasilnya bisa berupa sinisme dan apatis yang berlebihan. Ini menciptakan lingkaran setan di mana partisipasi demokratis merosot, dan ruang untuk penyalahgunaan kekuasaan bertambah.
Mengatasi Celah dengan Transparansi dan Akuntabilitas
Transparansi dan akuntabilitas adalah antitesis dari politik dinasti dan konflik kepentingan. Untuk memastikan bahwa pemimpin tidak menggunakan posisi mereka untuk keuntungan pribadi di lingkupnya yang terbatas dan eksklusif, kebijakan harus diperkuat untuk mengharuskan pengungkapan konflik kepentingan dan memisahkan aset pribadi dari kantor publik. Ini bukan tugas yang mudah dan murah, karena sering kali kekuasaan politik yang ada menentang perubahan yang bisa membatasi kekuatan mereka.
Namun, di sisi lain, aktivisme publik dan kontrol “media” telah terbukti efektif dalam beberapa kasus. Dalam era informasi, sulit untuk menyembunyikan korupsi dan nepotisme. Keterlibatan warga sipil dan pengawasan independen dapat memperkuat institusi demokratis dan memperkecil ruang bagi politik dinasti untuk berkembang, sekalipun juga banyak kegagalan yang menyertai dalam membendungnya.
Demokrasi yang Lebih Kuat dan Lebih Adil
Adalah penting untuk tidak hanya mengidentifikasi dan mengkritik praktik politik dinasti tetapi juga mengambil langkah proaktif untuk memperbaiki celah dalam sistem. Pendidikan warga sipil, partisipasi politik yang luas, dan reformasi hukum untuk mengganjar penyalahgunaan kekuasaan adalah beberapa langkah yang bisa diambil.
Di tingkat individu, pemilih harus menjadi lebih kritis dan informasi harus diakses secara luas untuk membuat keputusan yang berdasarkan fakta bukan persepsi. Saat warga negara terinformasi dan terlibat, fondasi demokrasi menjadi lebih solid, dan kemungkinan politik dinasti untuk merusak sistem menjadi lebih kecil.
Politik dinasti dan konflik kepentingan mengungkap celah dalam pakaian demokrasi. Kita harus menjahit celah tersebut dengan reformasi, edukasi, dan partisipasi yang lebih besar dari publik. Dengan demikian, kita dapat menjaga bahwa demokrasi tidak hanya bertahan tapi berkembang dalam menghadapi tantangan baru.
Karena isu ini tidak terbatas pada satu negara atau sistem politik, melainkan adalah pertarungan global untuk integritas dalam pemerintahan yang seharusnya melayani publik, bukan kepentingan segelintir orang secara eksklusif.
Kesadaran kolektif dan tindakan kolektif bisa membentuk masa depan politik yang tidak hanya menuju ideal, tapi juga merangkul nilai-nilai demokrasi dalam praktiknya yang sebenarnya – pemerintahan dari, oleh, dan untuk publik. Kekuatan tertinggi terletak pada suara warga sipil.
Berkaca pada Indonesia hari ini. Apakah terdengar utopis?
You might also like
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …