I
2017. Tak ada lagi Gandhi. Tak ada lagi Mahatma “seorang manusia dengan jiwa besar” seperti ini hidup di bumi. Tetapi kata-kata yang pernah diucapkannya masih. Ada semacam keagungan tersendiri, tak terganti.
Kata Gandhi: “Di India ada tiga juta orang yang puas hanya dengan makan sehari sekali, dan makanan itu seringkali roti jelek dan basi. Sebab itu, sampai tiga juta orang itu diberi makanan dan pakaian yang layak, sampai kita ikut merasakan kelaparan dan semua derita itu, kita tak punya hak.” Ketika ia melihat tumpukan luas tubuh yang meremuk dan berdebu di Mumbai.
Di belakangnya, bunyi menggerit jatuh, ia masih berkata, dengan suara pendek terburu-buru: “Sedikit penghuni kota yang tahu bagaimana rakyat miskin India perlahan-lahan mati. Begitu pula halnya, sedikit dari mereka yang tahu bahwa kemelaratan ini akibat pengisapan yang telah begitu lama. Sedikit dari mereka yang menyadari bila pemerintah kolonial itu buas dan keji.”
Tentu, dalam waktu seratus tahun dan keseluruhan abad-abad yang berlalu, kata-kata Gandhi menginspirasi. Wangi. Dia bicara, bicara, dan bicara. Dan orang-orang datang, betah tak mau pulang, mendengarnya dan menulis ulang. Padahal ia menentang, dan ia telah berucap secara hening.
Esok segalanya akan berubah, esok… “Tulisan-tulisan saya harus dibakar, dibakar, jadi abu, bersama badan saya. Apa yang telah saya lakukan akan bertahan, bukan apa yang sudah saya katakan.”
Ia berucap seperti itu ketika sudah tua, sendirian. Sebelum seorang Hindu fanatik, Nathuram Godse, menembakkan tiga butir peluru ke dadanya yang tulang semua itu, menyalahkannya karena membiarkan kaum Muslim menyesaki India.
Tragis. Di akhir hayatnya, suaranya pecah di bukit-bukit, tak didengar lagi, sepi. Dan itulah hal paling mengerikan, menyesakkan, ketika manusia sudah tua. Ternyata tak semua orang mengikuti nasihatnya.
Sesudah itu: Satu liang kosong. Dan abunya dilarung.
II
“Saya tak percaya tempat ini, dengan gigir gunung yang tertutup salju puncaknya, dengan kali yang mengalir tenang di bawahnya, dan hutan yang berjajar rapi, bisa ditandingi tempat lain di dunia. Setelah beristirahat tiga minggu di Almora, saya jadi heran kenapa orang harus pergi ke Eropa buat menghilangkan perasaan penatnya,” ujar Gandhi saat memandang keluar melalui jendela kecil tempat ia menginap di sebuah desa udik di Uttar Pradesh.
“Tempat ini tak hanya indah, juga punya sejarahnya, bersusun-susun, ribuan tahun,” katanya.
Di utara Uttaranchal, Uttar Pradesh, di daerah yang awalnya diperintah oleh Dinasti Katyuri dan Chand, itulah Gandhi terkesan akan bentang India. Ia bermeditasi. Ia menjauhkan diri dari keributan yang memenuhi penjuru Mumbai.
Ia ingin terbebas dari kota yang gemerlap, gedung-gedung tinggi, bioskop-bioskop megah, dan berbagai macam restoran, dan orang-orang yang menyebalkan. Ia ingin merasa hening dan tenteram, melenyapkan diri ke dalam alam, hanya suara angin di daun-daun. Di celah yang rimbun.
Dari tempat ia duduk, ia dapat melihat Himalaya dan puncak gunung lain seperti Nandadevi, Panchachuli, Trishul, Chiplakot. Juga sebuah bayangan retak “persatuan India,” ketegangan antara Hindu dan Muslim, yang melayang-layang menyerupai potongan kecil berwarna hitam di angkasa, saling-silang bagaikan kabel listrik dan kawat telepon yang berjejalan di udara.
Tapi Gandhi tidak sendiri. Di lereng utara Himalaya yang kaya akan dongeng dan lagu rakyat itu, Swami Vivekananda, yang suka memakai serban di kepala, Sri Aurobindo, penulis buku The Hour of God, juga sengaja datang jauh-jauh untuk bermeditasi. Mereka mencari keluasan tanpa tepi.
Di bawah batu-batu karang yang menjorok melampaui tebing 600 kaki dalamnya, di belakang Candi Mukteshwar, itu ditemukan pemukiman zaman batu. Dan di sebuah tempat bernama Katarmal, di sekitar kuil yang berusia 900 tahun. Tak ada lagi yang bisa dikatakan atau disesalkan.
Gandhi tiada. Angin telah berubah arah. Puluhan kilo jauhnya. Menyentuh yang niskala. Tak mengetuk pintu dan jendela. Dan India pecah.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …