“Saya menjadi seperti sekarang usai pergi ke Afrika Selatan,” kata Gandhi sepulangnya ke Mumbai dari Johannesburg.
Setelah itu, saya membayangkan Gandhi berucap seperti ini.
“Saya dilempar dari sebuah kereta api di Pietermaritzburg setelah menolak menyerahkan reservasi kelas pertama untuk pindah ke kelas ketiga. Saya protes. Dan mendapatkan ganti di hari berikutnya. Tetapi ketika seorang Eropa datang, dan saya menolak memberikan ruang untuknya, saya malah digebuki sipir kereta. Sejak saat itu, saya memutuskan melawan, saya memulai perang menentang ketidakadilan.”
Tapi itu tak pernah terjadi. Dalam kesedihan itu, ia memilih bungkam. Diam.
Dan seolah tak pernah cukup. Dalam rentang hidupnya yang panjang tapi tragis itu, tahun 1897, di Pelabuhan Durban, empat tahun setelah pengalaman tidak mengenakkan di atas gerbong kereta itu, ia kembali dipukuli hanya karena kulitnya “hitam” dan dikira “jongos”, dan hampir mati jika seorang perempuan tak segera menolongnya.
Dan seseorang memberitahu saya bahwa Gandhi, yang waktu itu masih suka mengentak-entakkan kaki saat berjalan, meninggalkan Afrika Selatan dan kembali ke India di tahun 1914. Dan, sebelum imperium Inggris menetapkan Undang-Undang Rowlatt (1919) yang memperbolehkan mereka buat menahan orang-orang yang dicurigai “teroris” tanpa persidangan. Gandhi, lazimnya pemuda terdidik dalam tradisi barat, masih silau dengan Eropa. ”Inggris tak merebut India,” kata Gandhi, “kita yang memberikannya, kita tergiur uang dan berlian mereka…”
Barangkali sulit mengetahui apa yang terkandung di balik komentar itu. Tapi, di banyak tulisan, para pencelanya terlanjur bilang: “Di balik semua kesederhanaan, ia kelewat percaya pada kaum tiran. Ia mengecam habis kolonialisme, tapi tidak membenci orang Inggris.”
Tapi, waktu kerusuhan meledak di Amritsar –di mana hampir 400 warga India terbunuh dan ribuan lainnya luka-luka– sikapnya berubah. Suaranya menjadi tinggi dan bergetar. Ia tak mau lagi menjadi bagian “necis” dari Ratu Victoria. Ia muak dengan semua protokoler dan sikap feodal dan hasrat keji para pejabat kolonial. Pada akhirnya, ia percaya, dunia tak pernah ada, Satyagraha adalah senjata, dan Inggris adalah “lalat yang menganggu”.
Bagi orang banyak, juga buat Gandhi, hidup di Afrika tidak mudah. Ia merasakan kesunyian, pengabaian. Tapi negeri itulah yang membentuknya. Di Johannesburg, anda akan mendengar seratus orang berkata, “Gandhi terus hidup”. Dan tiga ratus lain berseru bahwa Mandela ialah pewaris ajaran Gandhi.
Seorang sejarawan, Ramachandra Guha dalam salah satu artikelnya menulis, “Afrika Selatan mengingatkan warga India bila negeri mereka pernah mengirim Gandhi ke sana, dan Afrika Selatan mengembalikannya sebagai Mahatma.”
Tentu. Afrika Selatan memiliki banyak alasan untuk menyukai semua hal menarik dari Bapu. Pada tanah mereka, Gandhi meletakkan landasan dari kehidupannya yang heroik, Satyagraha, suaranya bergema.
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …