Belakangan ini berbondong-bondong para aktris Hollywood mengaku sebagai korban kekerasan seksual Harvey Weinstein. Banyak perempuan korbannya yang memilih bungkam sebelum-sebelumnya karena takluk pada kuasa modal Harvey. Di antara korban-korban Harvey, ada nama-nama tenar seperti Angelina Jolie, Gwyneth Partlow, hingga Lea Seydoux yang baru-baru ini menulis pernyataannya di The Guardian. Korban-korban Harvey takut jika tak menuruti kemauannya, karir mereka bisa terhambat.
Harvey Weinstein merupakan mogul di industri film yang yang pernah menghasilkan film indie populer di tahun 90-an seperti Pulp Fiction. Karirnya telah merentang sejak medio 1970-an. Bersama saudaranya, Bob Weinstein, mereka mendirikan Miramax sebagai perusahaan distribusi film sebelum akhirnya dijual ke Walt Disney dan mendirikan The Weinstein Company di tahun 2005.
Korban-korban kekerasan seksual Harvey yang berbondong-bondong muncul ke atas permukaan, kasus ini yang nampak bagai gunung es. Kita tak bisa melihat kasus Weinstein hanya sebagai kekerasan seksual semata. Terdapat relasi dan kuasa yang amat pelik dari kasus kekerasan seksual. Ada banyak cara yang bisa digunakan pelaku untuk membenarkan kekerasan seksual pada korbannya dan ada banyak hal yang bisa membuat korbannya berpikir ‘ini semua salahku’ serta lebih memilih bungkam ketika kekerasan seksual tersebut terjadi sebab tidak banyak yang bisa mereka lakukan.
Ketika kita melihat relasi antara Harvey Weinstein dan korban-korbannya, harvey merupakan seorang pemilik modal dan korban-korbannya, para aktris itu, tak lebih merupakan golongan kelas pekerja yang wajahnya telah sedemikian rupa dipoles oleh neoliberalisme. Bayaran tinggi dan prestise sebagai aktris tak serta merta menjadi penanda kesejahteraan gender secara utuh.
Baca Juga: Luragung Jaya dan Yang Tak Disangka
Relasi gender antara Harvey dan korbannya menjadi sangat politis, sebab ia sepenuhnya ditentukan oleh kekuatan sosial yang ada, dan bukan proses yang alami. Harvey mungkin berpikir, karena ia memiliki modal yang banyak, ia bisa menguasai korban-korbannya dan bebas melakukan apa saja sesuai kehendaknya.
Dalam pandangan yang lebih vulgar, kita bisa melihat relasi Harvey dan korbannya sebagai relasi tuan-budak. Dalam hubungan tuan-budak, lazim kita ketahui bahwa yang satu berada pada sisi yang superior daripada yang lainnya. Perempuan-perempuan yang menjadi korban Harvey dalam kasus ini berada pada posisi budak yang subordinat atau terpinggirkan.
Banyak perempuan dalam kasus kekerasan seksual, termasuk kasus Harvey ini, enggan menggugat otoritas laki-laki dan seringkali otoritas tersebut dianggap wajar. Di Indonesia sendiri, kita sering mendengar argumen yang dilontarkan oleh orang-orang dengan kelainan jiwa dan misoginis kelebihan libido yang membela otoritas pelaku kekerasan seksual dengan menyalahkan korbannya seperti “makanya jangan pakai pakaian mini kalau tidak mau diperkosa”, atau “jangan sering keluar malam kalau vaginanya tidak mau dicangkul”.
Rasa inferior perempuan dan keengganan menggugat untuk otoritas laki-laki tidak serta merta muncul begitu saja sebagai sesuatu yang alami dan wajar. Inferioritas itu diciptakan agar perempuan mudah dikontrol dan patuh. Foucault menyebut ini sebagai docile body atau tubuh yang dijinakkan dan didisiplinkan atas nama peradaban. Tubuh perempuan harus dilanggengkan dalam diam, ketakberdayaan, yang terus menerus dipaksakan atas mereka sampai mereka tak sadar menerima itu sebagai sebuah status. Dalam kondisi inilah terjadi sebuah dominasi maskulin yang digunakan untuk memperkuat duet kuasa patriarki dan neoliberalisme.
Baca Juga: Bus Luragung Jaya dan Hal-Hal yang Belum Selesai
Dominasi maskulin tersebut, meminjam ilustrasi dari Foucault tentang kekuasaan, masuk ke dalam bagian terdalam individu, menyentuh tubuh mereka, merasuk ke dalam tindakan, tingkah laku, wacana, dan proses belajar serta kehidupan sehari-hari mereka. Dominasi maskulin yang dinormalisasikan dalam struktur kesadaran masyarakat ini akan melestarikan dan membentuk wacana dan mitos mengenai kedudukan dan potret perempuan dalam masyarakat. Kebenaran dari rezim dominasi maskulin tersebutlah yang akan membuat hukum, memproduksi wacana, dan memperluas dirinya dalam efek-efek kekuasaan.
Harvey Weinstein dengan aksi kekerasan dan pelecehan seksualnya ini tidak hanya sedang menunjukkan status quonya sebagai seorang pemilik modal yang berkuasa, tetapi juga sedang menunjukkan dominasi maskulin pada perempuan yang belum mampu dilawan sampai saat ini.
Terbongkarnya kasus Harvey Weinstein tidak serta merta akan menghilangkan pelecehan dan kekerasan seksual di industri hiburan. Akan selalu ada Harvey-harvey lain di berbagai macam pekerjaan. Perjuangan korban kekerasan seksual untuk melawan pelaku dan dominasi maskulin tersebut bagai perjuangan David melawan Goliath yang tiada berujung.
You might also like
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …