Realitas perempuan
Apa yang terjadi ketika Anda (seorang pria) bermesraan dengan kekasih Anda, dimulai dengan berpelukan lalu berciuman di club malam? Lalu bagaimana ketika hal yang sama Anda lakukan ketika sedang berada di warung kopi di belakang kampus?
Tentu Anda akan merasakan fenomena yang berbeda bukan. Kaca mata publik yang normatif, akan cenderung menilai perilaku Anda wajar saja ketika berada di club malam. Sebaliknya ketika sedang di warung kopi, jangankan berciuman, sekadar berpelukan saja, orang di sekitar Anda akan langsung memberikan justifikasi bahwa pasangan Anda adalah perempuan murahan.
Yang mengherankan di sini, mengapa hanya perempuan yang dijadikan bahan gunjingan? Padahal dapat kita lihat seperti di watu-watu daerah kenjeran Surabaya atau di warung-warung daerah eks-prostitusi sekitar jalan jarak Surabaya, perilaku yang diangggap amoral oleh masyarakat tidak hanya muncul dari entitas perempuan. Namun, paradigma yang terbentuk di sini mengidentifikasikan bahwa yang menjadi objek dari tindakan berorientasi seksual hanya perempuan.
Terlepas dari adanya fenomena pekerja seks yang mayoritas memang perempuan, baik secara historis sejak zaman mesir kuno hingga kolonial belanda sampai Gang Dolly atau Gang Macam yang fenomenal di Malang dan Surabaya, stigma ini melekat pada perempuan secara general ketika cara berpakaian atau aktivitasnya menyerupai.
Pakaian ketat dan pekerjaan malam hari, menjadi stereotip yang menghantui citra perempuan. Baik seorang ABG yang masih berada di bangku sekolah, atau seorang mahasiswi di kampus, hingga seorang manager bank, sampai kasir minimarket, sangat mudah menerima catcalling di tengah masyarakat yang terhegemoni maskulinitas.
Catcalling, secara sederhana merupakan godaan secara verbal dengan cuitan atau tidak jarang dengan bentuk teriakan. Hal ini kadang terjadi ketika kuasa komunikasi dalam konteks wilayah tertentu didominasi oleh laki-laki yang bergerombol.
Hubungan gender yang berlaku (prevailing gender relations) menunjukan adanya urgensi bukan hanya pada kesetaraan antar gender, tapi secara mendasar perkara ini menyentuh pada konsepsi ketimpangan antar kelas yang terbentuk pada konstruksi sosial masyarakat.
Fenomena ketimpangan gender antara laki-laki dan perempuan dalam budaya masa kini, telah terpolarisasi sebagai sesuatu yang berlawanan dan terus berperang secara simbolik. Anthony Synnott dalam bukunya “Tubuh Sosial”, mengatakan bahwa dualisme tersebut sebenarnya merupakan teori purba. Synnott mengatakan demikian, dengan melihat fenomena-fenomena dari segi mitologis-historis, meskipun sebenarnya di dalam konsepsi teologi agama-agama besar juga banyak ditemui polarisasi yang serupa.
Dalam mitologi Yunani, perempuan pertama adalah Pandora. Kisah ini menurut Hesiodus, bermula karena populasi saat itu hanya ada laki-laki dan mereka tidak kuasa dalam hidup bersama hewan-hewan yang kuat dan berkekuatan. Kemudian, salah seorang Titan mencuri api dari Apollo, dewa matahari, untuk membantu kaum laki-laki.
Kejadian ini menyebabkan kemarahan Zeus. Zeus lalu menghukum manusia (laki-laki) dengan menciptakan manusia baru, perempuan, dengan tujuan untuk menghancurkan laki-laki. Dan perempuan itu adalah Pandora.
Pandora digambarkan sebagai perwujudan dewi abadi karena kecantikan fisiknya. Singkat cerita, dari pernikahannya dengan Epimetheus, Pandora diberi hadiah guci oleh para dewa-dewi. Guci inilah yang berisi berbagai macam kehancuran, kerusakan, kemuslihatan yang ditujukan Zeus untuk kaum laki-laki. Sehingga, dari kisah Pandora, sudah dapat dilihat adanya subordinasi yang sangat substantif dalam jati diri seorang perempuan.
Otoritas perempuan dalam mengelola kehidupan sosialnya seakan terbatas pada persepsi dasar yang mengarahkan kehidupannya sebagai pelayan laki-laki. Namun, masalah perempuan harus segera dilepaskan dari skup gender yang eksklusif.
Mengingat argumen Foucalt, yang menujukan bahwa saat ini kesadaran kolektif yang memicu tumbuhnya gerakan-gerakan perempuan terlalu momentual. Sehingga antara perjuangan perempuan dan perjuangan kemanusiaan yang seharusnya koheren, justru tampak tidak sejalan dengan modernitas.
Kesetaraan yang menjadi upaya perlawanan atas penindasan dalam kehidupan modern, menjadi perjuangan kemanusiaan secara mendasar. Kembali pada yang substansi seks dan gender yang saat ini menyudutkan perempuan hanya sebatas berfungsi reproduksi, sangat bertolak belakang pada entitasnya sebagai manusia yang sama dengan laki-laki.
Mengembalikan kesadaran gender mutlak harus disosialisasikan, mengingat fenomena yang menunjukkan degradasi moral seksual juga banyak terjadi di ranah elit dan akademik. Yang seharusnya mereka sudah berbekal karakter dan pemahaman yang sepadan dengan heterogenitas yang berkembang.
Pemaknaan terhadap perempuan yang menjadi objek rentan pelecehan ataupun kekerasan seksual, harus dikikis dengan pemahaman secara historis mengapa perbedaan gender menjadi timpang di kemudian hari. Pemahaman yang berbasis patriarkis ini dilihat oleh Colebrook sebagai kepasrahan menerima ketimpangan seks sebagai kodrat dari Tuhan.
Padahal ketika konsepsi kelamin secara biologis ini bersentuhan dengan konsepsi kelamin sosial atau gender, ada suatu tatanan masyarakat yang berperan sebagai pemberi batas-batas kenormalan. Sejalan dengan paradigma itu, mayoritas masyarakat baik perempuan atau laki-laki lebih memilih memahami tubuh sebagai realitas biologis yang tidak memiliki posisi tawar dalam menjalani aktivitas sehari-hari.
Linda Alcoff menyebutkan bahwa perempuan memiliki posisi tawar dalam masyarakat. Posisi tawar di sini dapat dimaknai sebagai mobilitasnya dalam menghadapi tarik-ulur ketegangan dominasi. Hal ini menjadi landasan atas kesadaran gender yang mulai terbangun secara kolektif, sehingga menjadi manifestasi perlawanan terhadap pelecehan seksual.
Ketimpangan gender yang mendasar, sehingga menjadikan perempuan sebagai objek dalam hal pelecehan, menyebabkan pula rantai pelecehan baru dalam pengusutan suatu perkara pelecehan. Secara kronologis, perempuan yang baru saja mendapat perlakuan baik perkosaan ataupun pelecehan yang dikategorikan ringan seperti Catcalling, akan spontan melakukan berbagai upaya pembersihan fisik. Sehingga pola ini tanpa disadari, menjadi embrio pelecehan baru yang oleh Rahma Sugihartati dalam essainya disebut perkosaan rangkap tiga.
Tidak teridentifikasinya suatu perkara perkosaan dalam pengadilan, seringkali disebabkan minimnya bukti atau sudah hilangnya bukti saat visum dilakukan. Dan situasi ini membuat pelaku akan mendapat keuntungan dalam menghadapi persidangan. Yang dimaksud dengan perkosaan rangkap tiga di atas merupakan suatu fenomena subordinasi perempuan dalam konteks pelecehan secara beruntun. Yakni saat kejadian, saat proses pemeriksaan, dan saat kasus mereka menjadi bahan pemberitaan media massa.
Tidak seorang perempuan pun yang menginginkan bercitra buruk meskipun itu merupakan kebenaran. Posisinya sebagai perempuan yang suci secara kodrati akan terusik dan simpati yang diberikan masyarakat pun sebenarnya tidak akan bertahan lama. Dukungan moril dalam pemberitaan media baik yang gagal ataupun berhasil dalam persidangan, bagi korban ibarat pedang bermata dua, lambat laun justru akan berubah menjadi labelling terhadap korban itu sendiri.
Gunjingan masyarakat terhadap kasus yang diterima korban pelecehan menjadi trauma tambahan selain trauma fisiologik saat kejadian. Bayangkan ketika korban memikirkan masa depan dan bagaimana lingkungan kerja atau sosialnya akan menerima kondisi dan citranya. Bayangkan jika yang diperkosa adalah seorang gadis yang belum menikah, apakah di zaman ini masih ada lelaki yang mau menikahi perempuan yang sudah tidak perawan. Sangat mengerikan bahwa dampak akan basis patriarki melekat sampai pada konstruksi sosial dalam masyarakat.
Berbeda dengan pelaku, yang harus dilalui dan dilakukannya hanyalah memenangkan pengadilan dengan berbagai cara untuk membersihkan nama. Dan stigma masyarakat tidak akan berlebihan dalam menanggapi hal itu.
Patriarkisme sekali lagi tetap menjadi hal yang dominan meskipun begitu implisit sekali. Banyak artis perempuan yang terjerat kasus prostitusi dengan dalih ditipu oleh mucikari, sedangkan pers ramai memberitakan kronologi perkara secara hukum, persepsi yang terbangun di masyarakat sudah jelas menyudutkan artis tersebut tanpa mempedulikan bagaimana proses hukum yang terjadi.
Anggapan diskriminatif seperti menggoda dengan pakaian yang serba minim dan aksi yang mungkin kontroversial dalam dunia entertain, terklasifikasi dalam tipe perkosaan seductive rape. Tipe ini maksudnya adalah jika korban diperkosa, maka menjadi akibat dari tingkah lakunya sendiri.
Dominasi patriarki atau ketidakadilan dalam sudut pandang untuk menganalisa perkara antara laki-laki dan perempuan seperti di atas sudah melekat sejak awal kejadian. Sehingga ketika ditarik sampai penyidikan dan pembongkaran kasus, perempuan yang menjadi korban terkadang lebih memilih diam daripada harus merekonstruksi aibnya dengan membeberkan kebenaran demi upaya melawan. Kontradiksi yang terjadi dalam diri perempuan sendiri inilah yang saat ini menggambarkan mentalitas perempuan, terutama di negara syarat hukum seperti Indonesia.
You might also like
More from Cerapan
Silent Treatment dalam Pertemanan: Saat Diam Menjadi Senjata
Silent Treatment dalam Pertemanan Dalam pertemanan, komunikasi adalah kunci utama untuk menjaga hubungan tetap sehat dan harmonis. Namun, apa jadinya jika …
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas
Time Management Matrix: Strategi Efektif Mengelola Waktu dan Prioritas Dalam kehidupan yang semakin sibuk, kemampuan untuk mengelola waktu dengan baik menjadi …
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak
Kebutuhan Tidak Penting tapi Mendesak Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan dinamis, sering kali kita dihadapkan pada berbagai macam kebutuhan. …