22 Desember 2017. Akhinya tiba juga tanggal itu, hari di mana orang-orang di Indonesia merayakan hari Ibu. Namun sialnya, tanggal itu juga menjadi tanda dimulainya perdebatan tahunan: itu bukan hari Ibu, tapi hari gerakan perempuan 1982! Biasanya, protes itu disuarakan oleh para aktivis perempuan yang kesal dengan romantisme pada tanggal 22 Desember. Bagi mereka, memasang foto selfie dengan ibu masing-masing di tanggal 22 Desember, sembari menuliskan caption yang mengharukan, merupakan tindakan yang menye-menye. Intisari pesannya adalah: apa pun momennya, semua harus bernuansa progresif.
Padahal, jika mau jujur, semua orang pasti punya pengalaman personal yang romantis dengan ibunya.
Tak peduli se-progressif apa pun Anda, saya yakin Anda pun pasti pernah mewek di balik ketiak ibunya masing-masing. Namun sayang, kadangkala kita memang teramat malu untuk mengakuinya. Kita malu mengakui bahwa kita memang selalu jadi bocah di mata ibu kita.
*
Terlepas dari debat kusir itu, bagi saya sendiri, momen hari ibu itu subtil. Saya selalu berusaha untuk merayakannya, dengan cara apa pun yang saya bisa. Salah satunya, seperti menonton film drama korea berjudul A Long Visit (2010).
Film ini untuk pertama kalinya saya tonton di tahun 2012. Lebih 2 tahun sejak film ini dirilis. Mulanya berasal dari rekomendasi adik saya yang paling bungsu. Katanya, jika saya menonton film ini, kadar kedurhakaan saya kepada ibu setidaknya akan berkurang.
Dan betul. Perasaan saya terkoyak-koyak setelah menonton film ini. Bahkan saya sempat meneteskan air mata, meski hanya tiga tetes saja. Film A Long Visit (2010) ini dalam sekejap langsung masuk dalam keranjang daftar film favorit saya.
*
Cerita dalam film ini sendiri sebetulnya sederhana saja. Tak ada yang mewah dan kompleks. Namun, justru karena kesederhanaan itulah, film ini bisa menguak kesadaran kita tentang kasih sayang ibu yang sepanjang masa itu.
Bermula dari kepulanga Ji-Suk yang secara tiba-tiba ingin mengunjungi ibunya di desa. Ia harus rela meninggalkan anak dan suaminya barang sejenak. Sedangkan alasan kenapa ia tiba-tiba pulang, belum juga terungkap. Namun, dalam perjalanan itu, cerita melaju dengan alur mundur. Ji-Suk menceritakan kembali susunan kenangan masa lalunya bersama ibunya.
Pada bagian ini, terus terang saya sendiri merasa terwakili. Karena, ibu Ji-Suk benar-benar merupakan representasi dari ibu kebanyakan. Ibu yang selalu cerewet. Ibu yang suka sekali berhemat, sampai mau beradu mulut dengan tukang sayur di pasar. Ibu yang berpenampilan norak ketika menghadiri acara sekolah anaknya. Ibu yang narsis memamerkan prestasi anaknya di lingkaran gaulnya. Dan segenap citra menyebalkan yang seringkali justru mengundang tawa.
Ketika Ji-Suk sudah bertemu dengan sang Ibu, nuansa film seketika berubah menjadi sangat melow. Ji-Suk memang belum menyatakan tentang motifnya mengunjungi ibunya. Tapi, gelagat aneh Ji-Suk menunjukkan bahwa ada sesuatu yang tak beres. Si ibu pun berusaha mengintrograsi Ji-Suk.
“Apakah kau sedang ada masalah dengan suamimu?”
“Tidak, bu. Aku hanya kangen kepada ibu.”
Sesederhana itu jawaban Ji-Suk. Mungkin masih terkesan tidak jelas. Namun, tentu jawaban tersebut lazim sekali untuk dilontarkan oleh semua anak yang merindukan ibunya. Sampai di penghujung cerita, kita disuguhi fakta yang benar-benar mengoyak dugaan kita. Ah, kenapa mesti harus berakhir seperti ini?, pikir saya.
Tapi sudahlah. Sutradara memang berhak atas takdir film yang ia bikin sendiri. Dan Sung-Yup Yoo benar-benar telah memilihkan takdir yang kelewat getir untuk A Long Visit (2010). Sung Yup Yoo, lewat karakter Ji-Suk dan ibunya sekaligus membuatnya kita percaya akan satu hal:
Ibu, makhluk yang kadangkala menyebalkan, namun kita mustahil untuk membencinya. Itu.
You might also like
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …