Jakarta Maghrib: Potret Keseharian Warga Urban
5 tahun tinggal di Jakarta, saya belum sepenuhnya memahami kota ini. Jakarta terlalu kompleks untuk dipahami secara telanjang. Karena ia adalah megapolitan yang kerapkali menilap kisah-kisah manusia di hadapan kepentingan kapitalisme modal.
Tapi, saya bersyukur potret menarik soal kisah-kisah manusia urban Jakarta bisa saya lihat di film Jakarta Maghrib (2010).
Film ini adalah debutnya Salman Aristo sebagai sutradara. Saya awalnya cuma iseng nonton film ini karena kemarin pas Hari Film Nasional ada yang ngeshare.
BACA JUGA: The Grand Budapest Hotel, Sebuah Sinopsis
Kuatnya Cerita dan Dialog
Jakarta Maghrib bagus bukan karena sinematografinya, atau hal-hal lain yang dianggap ‘wah’ dalam film. Ia bagus justru karena sudah beres di hal yang paling elementer dalam film: cerita dan dialog. Setidaknya itu menurut saya.
Jadi, film ini serupa buku kumpulan cerpen. Jalinan tiap ceritanya tak langsung berkaitan, tapi ia diikat oleh momen saat maghrib di Jakarta. Hampir semua ceritanya saya suka, karena dibangun dengan dialog memang menarik.
Misalnya di cerita pertama, penonton diajak untuk melihat potret rakyat miskin urban Jakarta yang harus berkompromi dengan banyak hal. Seorang satpam yang setelah lelah lembur tiga hari, pulang ke rumah. Rumah mertuanya. Anaknya yang masih bayi menangis tak keruan. Di momen seperti ini, satpam yang lelah itu mulai bergairah saat melihat istrinya, ia ingin bercinta. Dengan segala cara, sang bapak berusaha membuat anaknya itu berhenti menangis dan tertidur.
Si bayi pun akhirnya tidur. Tapi tunggu dulu…. Hasratnya harus ditunda. Karena tiba-tiba mertuanya mengomel karena pamali bayi ditidurkan saat maghrib! Dilema tinggal di rumah mertua jadi isu menarik di sini.
Cerita lainnya yang saya suka adalah tentang orang-orang kompleks yang sedang menunggu pedagang nasi goreng. Uniknya, muncul dialog-dialog yang jarang terjadi di antara orang-orang ini. Karena, biasanya mereka hanya sibuk bekerja dan ‘nongkrong bareng’. Mereka bisa saling tahu soal nama, pekerjaan hingga masalah khas yang biasanya terjadi di kompleks. Saya suka cerita ini karena dialog orang-orang ini (ada Ringgo, Lukman Sardi sampai Desta) natural sekali.
Cerita lain yang tak kalah menarik adalah tentang obrolan seorang marbot musala dan preman. Ada dialog dan adegan yang membuat kita kembali merenungkan kembali makna hidup.
Pokoknya bagus deh. Jakarta Maghrib meringkas banyak isu keseharian masyarakat urban Jakarta. Dari masalah kemiskinan, individualisme, tenggang rasa sosial sampai pencarian makna hidup di tengah hiruk pikuk metropolitan.
Sekali lagi, saya suka film sederhana ini.
Oiya, saya nonton film ini di Disney+.
You might also like
More from Tontonan
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya
The Commuter: Plot Twist dan Endingnya "The Commuter," dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan menegangkan penuh kejutan. Michael MacCauley, …
Analisis Ending Film The Commuter
Analisis Ending Film The Commuter "The Commuter," sebuah film thriller yang dibintangi oleh Liam Neeson, membawa penonton dalam perjalanan yang penuh …
Pesan Moral Film Sokola Rimba: Menguak Pelajaran dari Kehidupan di Tengah Hutan
Pesan Moral Film Sokola Rimba Film “Sokola Rimba” bukan hanya sekadar sebuah karya sinematik yang menghibur, tetapi juga sarat dengan pesan …