Jejak Medici dan Machiavelli dalam Langkah Jokowi
Dalam labirin kekuasaan politik, bayang-bayang Niccolò Machiavelli dan keluarga Medici masih menghantui koridor-koridor kekuasaan. Kira-kira 500 tahun setelah era kejayaan mereka di Florence, resonansi taktik mereka tampaknya menemukan gema di Indonesia, khususnya dalam figur Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bagaimana strategi politik Medici dan prinsip Machiavellian tercermin dalam kepemimpinan Jokowi.
BACA JUGA: Demokrasi dan Celah Membangun Politik Dinasti
Keluar dari bayang-bayang Renaissance Italia, keluarga Medici membangun kerajaan politik mereka dengan jaringan, diplomasi, dan fleksibilitas strategis yang tak tertandingi. Mereka bukan hanya mecenat seni tapi juga arsitek kekuasaan politik.
Strategi yang digunakan oleh keluarga Medici dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan di Florence adalah perpaduan unik antara diplomasi, jaringan sosial yang rumit, dan ambiguitas dalam tindakan politik mereka. Medici, khususnya Cosimo de’ Medici, dikenal karena pendekatannya yang tidak langsung dan sering kali enigmatik dalam mengelola kekuasaan. Melalui jaringan yang melibatkan elit politik, para pemimpin agama, dan figur-figur penting dalam masyarakat, Medici menciptakan fondasi yang solid bagi kekuasaan mereka, yang mampu bertahan selama berabad-abad.
BACA JUGA: Berbincang Dengan Bard, Sebuah AI Buatan Google Tentang Israel-Palestina
Mengelola ambiguitas dalam politik adalah salah satu kemampuan menonjol Medici dalam mengelola kekuasaan, alhasil langkah-langkahnya pun “tidak bisa” diprediksi oleh lawan-lawannya. Pendekatan ini memungkinkan Medici untuk tetap selangkah lebih maju dari para pesaingnya dan menyesuaikan strategi mereka sesuai dengan perubahan kondisi politik dan sosial yang ada.
Di sisi lain, Machiavelli, dengan bukunya “The Prince”, mengungkapkan sisi kelam kekuasaan: sebuah panduan bagi penguasa yang mengedepankan pragmatisme brutal di atas moralitas idealis. Dikenal karena pendekatannya yang realistis dan terkadang dianggap sinis terhadap kekuasaan politik, bahwa penguasa harus realistis dan bersedia melakukan apa pun yang diperlukan untuk mempertahankan kuasanya.
BACA JUGA: Drama Korea ‘Reborn Rich’ dan Realitas Chaebol
Jokowi, datang dari latar belakang sederhana, naik ke puncak kekuasaan dengan cara yang tidak kalah strategis. Pernah ada suatu masa semua media memampangkan wajah “polosnya”, yang turut serta mengangkatnya pada puncak rantai penguasa. Di bawah topeng ‘orang biasa’, Jokowi menavigasi labirin politik dengan taktik yang mengingatkan pada Medici dan Machiavelli. Tidak berbeda jauh dari Medici, Jokowi membangun jaringan yang melintasi batas-batas partai politik tradisional dan pada saat yang sama kepemimpinannya mencerminkan prinsip Machiavellian tentang fleksibilitas dan pragmatis dengan mengedepankan betapa pentingnya citra dan persepsi.
Bentuk lain yang telanjang adalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putranya, sebagai calon wakil presiden Prabowo Subianto. Langkah ini, yang dianggap oleh banyak pendukungnya sebagai pengkhianatan terhadap ideologi partainya, sekilas ini seperti langkah catur politik yang cerdas, di luar dugaan, menohok bagi lawan politik, namun menguntungkan bagi Jokowi, persis Medici, menggunakan jaringan dan pengaruhnya untuk menempatkan pion-pionnya secara strategis dan taktis. Hasilnya? Mahkamah Konstitusi mengubah syarat dan ketentuan bagaimana agar seorang calon lolos persyaratan Capres dan Cawapres.
Pada titik ini, cermin antara Medici, Machiavelli, dan Jokowi menjadi jelas. Seperti Medici yang memanfaatkan seni dan jaringan sosial untuk memperkuat kekuasaan, Jokowi menggunakan aliansi dan diplomasi politik. Sementara itu, prinsip Machiavellian yang mengutamakan hasil atas cara, tercermin dalam kebijakan-kebijakan kontroversial Jokowi seperti UU Omnibus Law dan pemberangusan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menimbulkan pertanyaan tentang etika dan moralitas dalam politik hari ini.
UU Omnibus Law, salah satu kebijakan paling kontroversial di era Jokowi, merupakan contoh sempurna dari pendekatan Machiavellian. Meskipun mendapat kritik luas karena dianggap merugikan buruh dan lingkungan, Jokowi tetap dengan tegas mendorong penerapannya. Betapa pentingnya mengesampingkan moralitas personal demi keuntungan politik yang lebih besar. Sama halnya dengan pemberangusan KPK, yang mengindikasikan tindakan pragmatis untuk mempertahankan kontrol politik dan kestabilan, sekaligus membuka jalan bagi pencapaian agenda politik yang lebih luas.
Rencana ambisius Jokowi untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan menunjukkan keberanian dalam pengambilan keputusan. Ini adalah langkah yang, meskipun dikritik, menunjukkan visi jangka panjang dan kemampuan untuk mengambil risiko, untuk tidak menyebutnya nekat, – sebuah kualitas Machiavelli sejati.
Pendekatan Jokowi dalam politik tidak hanya menciptakan pola kekuasaan baru tapi juga memperlihatkan kecenderungannya untuk mengocok ulang struktur politik yang ada. Dengan menempatkan Gibran dalam kontestasi politik dan membuat keputusan yang memicu kontroversi, Jokowi terus mengubah papan catur politik Indonesia, menciptakan dinamika yang selalu berubah dan seakan-akan sulit diprediksi.
Jelas hal ini bukan hanya sekadar narasi tentang seorang pemimpin dan strategi-strateginya. Suka atau tidak ini adalah realitas politik yang lebih besar, di mana kekuasaan, pragmatisme, dan visi jangka panjang saling bertautan dalam tarian yang rumit. Jokowi muncul bukan hanya sebagai pemimpin, tetapi sebagai arsitek kekuasaan yang mengerti bagaimana mengatur dan memanipulasi struktur politik untuk mencapai tujuannya.
Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana strategi ini akan memengaruhi demokrasi Indonesia? Apakah kebijakan-kebijakan ini akan membawa negara ke arah yang lebih baik atau justru memperlemah fondasi demokrasi yang telah dibangun?
Sebentar, mari kita persempit pertanyaannya, memangnya demokrasi di Indonesia itu ada?
You might also like
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …