Kesaksian seekor burung yang berwarna gelap…
Kematian wanita itu benar-benar menggegerkan semua warga. Sebab sehari sebelumnya, wanita itu masih berkeliaran dengan lelaki yang disebut-sebut adalah kekasihnya. Mereka masih berboncengan dengan sepeda buatan Jepang yang dipatok dengan harga selangit. Ada yang mengatakan bahwa laki-laki itu adalah kakak dari wanita pendatang itu, tapi isu yang merebak bahwa keduanya adalah sepasang kekasih yang mencari kos untuk tempat tinggal mereka berdua.
Pilihan kos jatuh pada bangunan tua milik mantan pegawai kelurahan, sekretaris desa. Orang-orang sering menyebutnya pak Carik. Meskipun pak Carik bukanlah nama orang. Tetapi nama panggilan ini telah turun-temurun ditimpakan pada orang yang menjabat posisi penting dan terpandang itu. Entah siapa yang memulai, tapi kenyataannya warga menerima sebutan nama itu dengan legawa.
Wanita itu ditemukan terbujur kaku dan telanjang tanpa sehelai benang pun melekat di tubuhnya yang langsat. Ada luka sayatan yang ditemukan di punggung, juga wajah bagian pipi. Percikkan darah yang berwarna merah pekat bahkan hampir menghitam. Juga kemaluan yang sudah tak keruan bentuknya. Tercabik-cabik dan terganjal sesuatu yang begitu besar dan mengerikan.
***
Kau pernah bercerita padaku tentang keberanian seekor burung dalam menghadapi segerombol pasukan ketika mereka berusaha merebut kota di pulau yang harus rela terbagi menjadi dua negara itu. Negara yang sama-sama keras kepala. Terletak di seberang bukit yang tak terlihat dari matamu. Bukit yang memisahkan antara telaga dan kota yang diperebutkan itu. Telaga yang menjadi sekat antara bukit dengan padang sabana yang penuh rerumputan perdu. Juga padang sabana yang berbatasan langsung dengan laut yang airnya begitu bening. Sehingga kau bisa melihat dasar laut itu dengan mata telanjang. Tak lupa ikan-ikan dan terumbu karang yang begitu membiusmu dan memaksa singgah.
Begitulah katamu, aku hanya menuliskan apa yang pernah kau ucapkan dengan segenap keping-keping ingatan yang kujumput satu per satu dari dalam kepalaku. Tersimpang rapi dalam ingatan. Terus menerus hinggap di ranting bercabang dan berlendir itu.
“Burung itu berwarna gelap. Kadang memakan biji kenari, kadang padi, kadang memakan cicak, kadang menyambar ikan-ikan di laut, kadang tak makan apa pun. Tetapi lebih sering makan, karena segala jenis makanan telah disediakan oleh alam. Tergantung burung itu mau berusaha atau tidak. Sama seperti manusia, jika pasrah tak akan makan apa-apa,” katamu.
Lantas aku percaya begitu saja. Kau memulai pembicaraan dengan cukup menarik. Tapi cukup meragukan rasa percayaku padamu. Mana mungkin seekor burung yang memakan biji-bijian itu kemudian memakan daging dan menyesap darah. Kurasa burung itu tidak serakus yang kau kira. Kecuali kalau burung itu menyerupai manusia atau memang burung itu sejenis manusia. Kurasa bukan hanya kera yang menyerupai manusia. Atau bahkan mungkin sebaliknya, bukan hanya manusia yang hampir mirip dengan kera. Tapi bukan pula burung. Bahkan orang-orang gila di dunia ini telah mengatakan bahwa manusia adalah evolusi dari kera yang hidup bermilyar tahun yang lalu. Bagaimana mungkin manusia bisa dikatakan evolusi dari kera, jika dalam melompat saja paling jauh hanya sekitar 9 meter. Itu pun harus didahului dengan lari dan hanya bisa dilakukan beberapa orang di perlombaan dunia. Atau kau percaya dengan Tarzan. Bodoh. Kita telah ditipu.
“Kau boleh saja ragu dengan apa yang kukatakan.” katamu tiba-tiba, seolah-olah kau mampu membaca apa yang ada di pikiranku. Membaca lalu lintas saraf dan pikiran-pikiran dari apa yang kau tangkap dari dalam isi kepalaku. Biasanya aku mengaitkan ini dengan apa yang dikatakan dosen yang galak tetapi murah dalam mengobral nilai dan mengatakan bahwa ini adalah proses enkode. Penyusunan kata-kata dan makna yang akan keluar dari mulutku. Sejalan dengan apa yang kau tangkap jika aku yang mengatakan padamu. Kau mampu membaca dengan baik proses itu. “Tapi aku bercerita sungguhan. Burung itu berukuran besar. Tubuhnya sebesar satu lengan orang dewasa. Jika kutafsirkan, sebesar lengan orang dewasa yang berat badannya sekitar sembilan puluh kilogram.”
“Lantas apa yang dilakukan burung itu?” tanyaku padamu dengan ragu-ragu.
“Memakan penis pasukan-pasukan yang datang.”
“Kau jangan mengada-ada. Bagaimana mungkin burung itu doyan makan penis manusia. Apa enaknya?”
“Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Burung itu mencabik celana pasukan itu. Mengoyak penis mereka satu per satu.” Katamu dengan nada tinggi dan wajah memerah.
“Lalu pasukan itu mati?” tanyaku padamu.
“Tentu saja. Kau tahu alasan mereka mati?”
“Karena dicabik-cabik burung keparat itu. Memakan mereka semua.”
“Bukan, bodoh!”
“Lalu?”
“Kukira kau pandai dalam berimajinasi.”
“Maksudmu?”
“Seharusnya kau bisa menyimpulkan sendiri. Mereka itu bunuh diri. Kau tahu kenapa?”
“Kenapa?”
“Karena mereka tidak punya penis. Apa gunanya hidup jika tidak punya penis.”
“Bajingan.”
“Bodoh. Kau memang tak bisa berimajinasi.” Katamu sedikit menghina.
Perkataanmu sungguh membuatku bingung. Memaksa otakku bekerja dengan keras. Kurasa aku memang sedang kau bodohi, atau mungkin memang sedang kau tipu. Tapi mungkin saja karena aku yang terlampau bodoh.
***
Polisi lekas memasang garis kuning dengan aksen tulisan berbahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Entah kenapa harus memakai dua bahasa sekaligus hanya dalam plastik yang memanjang dan menjadi pembatas itu −mungkin saja plastik itu dicetak di luar negeri yang memang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa mereka. Tapi kurasa tidak mungkin, karena di kompleks pabrik di ibu kota dan sekitarnya sudah banyak pabrik plastik yang mungkin bisa saja dan seharusnya bisa mencetak dan memproduksi plastik panjang yang berwarna kuning bertuliskan garis polisi atau police line berwarna hitam. Ada juga hansip yang berlagak berkuasa dengan melarang orang-orang mendekat. Seperti memiliki wewenang yang sama dengan polisi-polisi yang telah datang.
Tapi sebelum membahas mayat perempuan nahas itu lebih jauh, aku akan membahas makna mengenai, pertama, ibu kota. Mengapa sampai bisa disebut sebagai ibu kota? Kurasa makna ibu kota masih perlu diperdebatkan karena jika diartikan secara harfiah atau sesuai dengan KBBI paling anyar, maka ibu kota berarti kota tempat kedudukan pusat pemerintahan suatu negara, tempat dihimpun unsur administratif, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif; kota yang menjadi pusat pemerintahan. Tapi kurasa jika maknanya demikian, itu tidak sesuai dengan apa yang orang awam artikan. Bahwa seorang ibu harus memiliki ibu, anak, suami, atau bahkan cucu. Lalu siapa ibu dari ibu kota? Kalau anak masih bisa dinalar, mungkin saja anak provinsi, bercucu kabupaten, bercicit kecamatan. Tapi kalau ibu negara bagaimana? Tentu saja kita akan dipusingkan dengan makna itu.
Kedua, perihal garis polisi. Garis polisi? Garis yang dibuat oleh polisi mungkin. Atau garis yang dibuat dengan polisi yang berjajar? Jika itu benar, maka pembahasan tentang pabrik-pabrik plastik di ibu kota sia-sia. Tidak. Tentu saja tidak. Makna yang absurd. Dan kita disuruh berpikir keras tentang makna gila itu. Bukankah sebaiknya kita tak usah mempedulikan demikian. Untuk apa dibaca. Pembaca bodoh.
Polisi tak langsung memasukkan mayat perempuan itu ke dalam karung bekas wadah mayat-mayat lain yang mungkin mengalami nasib yang lebih mengerikan. Mungkin saja, siapa pernah tahu ketika polisi membeli kantong mayat berwarna oranye. Tak ada yang peduli.
Orang-orang berseragam yang tak seperti biasanya ketika bertugas mulai melihat-lihat dan mengamati mayat perempuan yang bersimbah darah lalu menggeledah barang dan ruangan di sekitar kamar di mana polisi-polisi itu merasa ada sesuatu di sana. Mereka mulai dengan memakai kaus tangan, membuka lemari, mengecek bercak darah, dan saling berbisik satu sama lain. Lucunya, mayat itu masih dibiarkan tergeletak. Sebagai orang yang memiliki rasa kasihan yang tinggi, tentu saja kau ingin segera bergegas membawa mayat wanita itu untuk mandikan, lalu dikafani, disalatkan, dan dikuburkan dengan layak.
Tetapi sayangnya kau hanya orang biasa yang tidak mampu berbuat apa-apa setelah mengetahi tulisan ini. Sungguh, aku merasa kasihan pada kalian. Kurasa polisi lebih paham. Semua itu dilakukan untuk mencari pembunuh dan menangkapnya. Mengadili pembunuh itu dan menjebloskannya ke penjara. Kalau sedang beruntung, jika berhasil mengungkap kasus ini, mereka bisa saja naik pangkat karena kematian ini benar-benar menghebohkan seluruh pemirsa televisi. Tentu saja kau tahu sendiri bagaimana efek televisi terhadap pangkat seorang petugas.
Akhirnya para polisi menyentuh mayat wanita itu. Pilihan pertama jatuh pada pipi. Disentuh dan jari telunjuk salah satu dari polisi itu dicelupkan dan luka sayatan sedalam satu ruas jari telunjuk. Dengan keyakinan yang kuat, polisi itu sesekali mengelus luka mengerikan dan entah apa tujuannya. Sementara polisi yang lain meraba punggung wanita itu dan mengelap darah yang berceceran di sana. Hanya sebatas itu, dan tak melakukan hal lain. Kemudian mata mereka semua tertuju pada selangkangan dan mulai mengeceknya cukup lama. Mereka semua ragu dengan tindakan yang akan mereka lakukan. Memerikasnya atau membiarkan semuanya. Tanpa menyentuh kelamin mayat wanita itu. Dan tanpa pikir panjang, salah satu dari mereka menarik benda yang begitu besar. Sontak mereka semua muntah. Sebab, sebiasa dan sepengalaman apa pun mereka melaksanakan pekerjaannya. Mereka hanya manusia biasa yang memiliki rasa jijik dan kasihan.
***
Setelah kasus kematian wanita di kamar kos milik pak Carik yang hampir tak lagi diingat orang-orang. Tiba-tiba saja berita itu muncul kembali. Lantas mengagetkan semua orang. Hampir setahun berita itu mengendap di kantor polisi.
“Siapa pembunuhnya?” tanya pak Carik selaku orang yang tersangkut dengan kasus ini karena menyebabkan pemasukannya tersendat. “Apakah benar kekasihnya sendiri yang telah membunuhnya?”
“Bukan.” Jawab seorang polisi yang bertugas melepas garis polisi di rumah kos itu.
“Lalu siapa?”
“Tetanggamu.”
“Bagaimana mungkin?”
“Ia kerasukan arwah pasukan yang terjun dalam perebutan kota di pulau yang harus rela terbagi menjadi dua negara itu.” Polisi itu menarik napas, lalu melanjutkan ucapannya dengan penuh keragu-raguan. “Arwah-arwah itu membalas dendam pada wanita yang menyaksikan mereka bunuh diri.”
“Memang apa salah wanita itu?”
“Ia bersaksi bohong di pengadilan. Dan dia pula yang memotong penis pasukan itu.”
“Bagaimana mungkin?”
“Burung itu yang mengabarkannya.”
“Lalu kalian percaya begitu saja?”
“Tentu saja, tidak ada lagi manusia yang bisa dipercaya di dunia ini.”
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …