Ini adalah cerita skripsiku yang telah diuji bulan Oktober lalu yang kukerjakan dalam waktu satu tahun. Kuliahku molor sampai semester 11, banyak sekali kan. Bahkan jari tanganku tak cukup untuk menghitung jumlah semesterku itu.
Awalnya kupikir dengan mengambil tema ruang publik dan ibuisme, ia akan selesai cepat. Namun, aku salah, karena selain itu aku juga membedahnya dengan analisis wacana. Walhasil, aku mesti banyak membaca literatur-literatur tentang gender dan membaca analisis kekuasaan.
Oleh dosen pembimbing duaku, aku disarankan membaca jurnal kesohor “doing gender” karya West dan Zimmerman, serta buku “undoing gender” karya Judith Butler, seorang ibu-ibu ganteng yang kesohor juga kalau kamu memperhatikan gender dan filsafat. Doing gender setelah kubaca hanya begitu-begitu saja, lalu akupun beralih ke undoing gender.
Semesta gender Butler memang sangat dekonstruktif, dan mengada-ada jika kamu setuju gender adalah kodrat. Di satu sisi, aku mengamini perkataan Butler bahwa gender itu hanyalah konstruksi manusia belaka, ia tidak alamiah. Peng-Amin-an manusia bahwa gender adalah kodrat telah membawa dampak-dampak seperti pembagian beban kerja menurut jenis kelamin yang sama-sama memberatkan baik bagi laki-laki maupun perempuan.
Aku jadi ingat, sejak kecil aku sering mengeluh kepada ibu dan bapakku jika disuruh bersih-bersih rumah, sedangkan kakak laki-lakiku tidak. Aku iri atas keistimewaan yang didapatkan kakakku. Kedua orang tuaku saat itu hanya menjawab, karena ia laki-laki tak seharusnya ia bersih-bersih. Sebagai anak kecil, aku hanya memberengut dongkol tak setuju sambil menyapu dengan marah-marah.
Belakangan, baru kuketahui jawabannya dan baru ku ingat lagi aku pernah marah-marah menggugat pembagian kerja domestik pada kedua orang tuaku. Ya, ini ada hubungannya dengan masalah keterkaitan kodrat-gender-jenis kelamin-pembagian kerja yang sangat panjang itu. Itu yang aku jelaskan juga di skripsiku.
Butler mengenalkanku pada teori performativitasnya. Ia bilang kalau tingkah laku kita sampai saat ini telah dibentuk sejak masih bayi, sejak lahir kita telah bergender, dan perbuatan bergender ini terus kita ulangi secara terus-menerus, dari bayi hingga mati. Bayi yang baru lahir, Butler menjelaskan, jika ia memiliki vagina maka ia akan dikenakan pakaian pink, diberi mainan boneka, dan hal-hal berbau feminim. Begitu pula bayi laki-laki yang baru lahir tidak akan dikenakan pakaian berwarna pink, akan diberi mainan robot, dan lain sebagainya.
Penjelasannya masuk akal. Di satu sisi, entah dalam bukunya undoing gender atau bodies that matter, Butler sampai pada titik menihilkan jenis kelamin. Aku tak setuju dengannya. Menghilangkan kategori kelamin sama saja dengan menghapus perjuangan kaum perempuan selama ini untuk kesetaraan di dunia yang tak setara.
Dari Butler yang berbau gender dan posmodern, kubantah pernyataannya dengan menggunakan analisis dari kaum feminis materialis. Butler hanya fokus pada dekonstruksi semata dan mengabaikan struktur sosial yang ada. Feminis materialis seperti Delphy meyakini jika penindasanlah yang membuat kategori gender. Pembedaan gender masih diperlukan sebagai analisis asal muasal ketidakadilan gender.
*
Jika kamu membuka skripsiku (nanti akan kuposting di bagian selanjutnya kapan-kapan), kamu akan menemui banyak kutipan-kutipan bermodel APA. Bukannya snob, itu kulakukan untuk menghindari plagiasi. Lagipula, level karya ilmiahku baru pada strata-1, aku belum bisa mencipta konsepku sendiri seperti yang Butler lakukan karena karyaku belum teruji secara ilmiah.
Sebagai mahasiswa Komunikasi Massa, aku membahas rubrik perempuan di sebuah harian nasional. Melihat-lihat halamannya saja tanpa membacanya aku berpikir, jadi inikah stereotip perempuan yang ingin diawetkan media massa? Perempuan yang tak bisa terlepas dari suami, anak, dan urusan domestik lainnya.
Mengambil unsur ruang publik di judulku, aku terinspirasi dari gerakan feminis gelombang ke-2 yang ingin perempuan punya hak di ruang publik. Perempuan memang sudah masuk ke ruang publik saat ini, tetapi, subordinasi tetap ada. Perempuan sudah masuk ke ruang publik, tetapi lelaki tidak kunjung masuk ke ruang domestik.
Pekerjaan domestik atau mengurus rumah kalau kamu renungkan, merupakan pekerjaan yang tidak kunjung usai. Setiap pagi, ada cucian piring, ada lantai, ada baju, yang mesti dibersihkan, ada makanan yang mesti dimasak, ada sampah yang mesti dibuang. Begitu terus sampai malam hari menjelang tidur, bahkan tak jarang cucian piring sengaja dibiarkan menumpuk untuk dibereskan pada pagi hari.
Jangan dipikir juga pekerjaan mengurus rumah hanya sepele begitu-begitu saja. Nyatanya ia pekerjaan yang berat. Perempuan yang citranya lekat dengan pekerjaan domestik, sejak melek sampai tidur kembali akan terus mengerjakan pekerjaan domestik itu.
Ketaksetaraan waktu luang ini pula yang kubahas. Aku berpatok pada Veblen. Veblen membagi masyarakat dalam dua kelas, kelas pekerja yang berjuang mempertahankan hidup dan kelas yang banyak memiliki waktu luang karena kekayaannya. Aku menemukan apa yang ditampilkan oleh rubrik perempuan yang aku bahas, hanyalah wajah perempuan yang kelebihan waktu luang dan duit semata.
Tentu yang paling sial nasibnya di sini adalah perempuan kelas pekerja yang tak memiliki waktu luang karena mereka selain bekerja mati-matian tergilas struktur, keberadaan mereka juga disembunyikan dan tak dianggap oleh media. Media seolah-olah mencerminkan keadaan perempuan baik-baik saja dengan menampilkan kelas mapan, padahal nyatanya jauh dari itu.
Kewajaran, penormalan, dan penyembunyian ini pula yang aku coba bongkar dalam skripsiku menggunakan teori kritis dan analisis wacana. Kiblatku adalah mazhab Frankfurt dan Michel Foucault saat membahas dua hal tersebut. Tak kupungkiri memang, mengerjakan skripsi membuatku membaca lebih banyak buku teori daripada saat aku masih belajar di perkuliahan.
Untuk memahami teori kritis, aku mesti memahami dulu konsep kritik yang bertujuan untuk mengungkap struktur dari kekuasaan dan membongkar ideologi dominan yang seolah-olah tampil di posisi netral, wajar, dan tak dapat dilawan. Teori kritis dalam pengertian mazhab frankfurt , didasarkan atas esai Max Horkheimer kalau teori sosial harus berorientasi kepada kritik dan mengubah masyarakat secara keseluruhan.
Pada intinya, aku harus membongkar apa yang dilihat sebagai kewajaran jika sudah mengambil teori kritis sebagai wawasan kajian teoriku di bab 2. Salah satu kewajaran mengada-ada yang dibuat oleh rubrik ini bisa dilihat dari penggunaan bahasa campur aduk Indonesia-gaul-Inggris. Penggunaan kata dalam Bahasa Inggris sering digunakan baik dalam kalimat utuh maupun kata yang diselipkan dalam kalimat bahasa Indonesia tanpa ada terjemahannya.
Kata dalam Bahasa Inggris ini tidak sebagai bahasa asing atau untuk menjelaskan kata yang tidak memiliki padanannya dalam bahasa Indonesia, tetapi sudah menyatu menjadi parole dalam rubrik tersebut. Parole merupakan praktik penggunaan bahasa dan menjadi gaya berbahasa kelompok tersebut. Penggunaan bahasa Inggris ini mengandaikan pembaca rubrik sudah cukup akrab dengan bahasa Inggris.
Dalam kasus ini, penggunaan bahasa Inggris menjadi sebuah kewajaran. Akses dan kesempatan penguasaan Bahasa Inggris galibnya dikuasai oleh kelas menengah dan ke atas. Aku pun mengingat-ingat sewaktu masih aktif menjadi awak lembaga pers kampus, salah satu peran pers adalah untuk menjaga bahasa. Ironisnya, harian nasional ini mengingkari perannya sebagai penjaga bahasa.
Ngomong-ngomong soal bahasa, menit-menit sebelum ujian aku baru saja tersadar jika bahasa memang tidak pernah netral. Saat itu di ruang ujian, baru hanya ada aku dan dosen pembimbing 2 ku di ruangan. Aku bertanya padanya sebentar, kira-kira seperti ini.
“Mas, bahasa itu tidak pernah netral ya mas?”
“Iya som, karena bahasa itu sangat halus dan akan selalu terjadi pertarungan wacana dalam penggunaannya.”
“Sebagai alat begitu ya mas? Baru sadar saya hehe.”
“Iya. Wis-wis, wis iso kok awakmu engko jawab pertanyaan.”
You might also like
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …