Kopi si Pembunuh 4 Nada
Saya tak akan menulis soal kopi-senja feat kisah cinta yang kini sudah melampaui kapasitas penggunaan semestinya. Seperti meme yang dibagi-bagikan ke ratusan WhatsApp grup. Saya juga tak akan membahas bagaimana menentukan kopi mana yang enak dan tidak sejak tradisi minum kopi seringkali ditentukan oleh nuansa romantisme yang diglorifikasi macam buzzer pemerintah mengabarkan lawakan eksekutif. Persis.
7 dari 10 teman saya sepakat bahwa begitu nikmatnya secangkir kopi panas sachet-an yang diminum di puncak gunung bertemankan rokok kretek, anehnya betapa tidak enaknya minum kopi yang sama di pesisir pantai yang panas dan penuh keringat bercucur, atau paling tidak rasanya biasa saja, datar nihil komentar. Sensasi kenikmatan yang tak dapat diraih kala berada di puncak gunung.
Bagiku, aroma kopi yang segar adalah salah satu penemuan terbaik abad ini, kata Hugh Jackman. Tentu ada penjelasan tersendiri kenapa pemeran Logan dalam film X-Men berkata demikian. Saya tidak tahu pasti apa yang dimaksud Jackman yang sering dijadikan bahan percakapan oleh penikmat senja dan kopi yang terdengar seperti Jubir Corona itu, untuk tidak menyebutnya annoying.
Sedikit menengok ke belakang yang tidak terlalu belakang-belakang amat, kopi populer di masa Kesultanan Utsmaniah. Minum kopi menjadi upacara wajib kenegaraan di wilayah kekhalifahan yang menguasai tiga benua ini. Hingga terjadi pertempuran Wina pada September 1683, di mana pasukan Utsmaniah di bawah kepemimpinan Kara Mustopa Pasya berperang melawan pasukan Austria, dan Kara dikalahkan.
Pertempuran ini menandai titik balik dalam konflik sepanjang 300 tahun antara pasukan kerajaan-kerajaan Eropa Tengah dan Kesultanan Ottoman. Di saat itulah peran Eropa terhadap komoditas kopi mulai berkembang, setelah ditemukannya puluhan karung biji kopi di perkemahan pasukan Ottoman yang ditinggalkan. Sekarang kopi dapat dinikmati oleh semua kalangan, tak mengenal suku, bangsa, strata sosial ekonomi maupun politik, karena dihadapan kopi kita semua setara.
Namun, apa sesungguhnya yang kita cari dari secangkir kopi hangat, apa yang sedang kita gali dari segelas es kopi? Momen kebersamaankah atau cuan dari jualan kopi? Mari kita sedikit tengok kalimat selanjutnya.
Menurut Global Agricultural Network dan Toffin Indonesia per 2019/2020 Indonesia telah mengekspor kopi dengan nilai yang cukup fantastis, yakni 254,13 juta USD, untuk konsumsi dalam negeri sendiri sebanyak 294.000 ton dengan rata-rata per hari konsumsi 200 gelas dari 2950 gerai yang tersebar di seluruh Jabodetabek. Proyeksi nilai pasarnya mencapai 4,8 triliun.
Sungguh angka yang bisa sangat membantu orang-orang yang terdampak pandemi, bukan? Maka tak heran Kopi Kenangan berhasil mengumpulkan pendanaan Serie B sebesar 109 juta USD di tengah wabah. Halo, cuan aku ingin berkencan.
Di sisi lain kopi juga seringkali menjadi sobat berbagi penderitaan, kebahagaiaan, kemarahan, dan segala bentuk emosi manusia lainnya. Benar belaka pepatah berkata, ia yang memberikanmu cuan, ia juga yang memberikanmu penderitaan. Entah ada berapa juta orang yang kena PHK karena pandemi yang menghabiskan aktivitas bertahan hidup mereka ditemani secangkir kopi. Entah berapa ribu penulis bagus yang saat berkarya ditemani ratusan ribu cangkir kopi. Ironisnya, pada saat beriringan ada segelintir pengusaha kopi mendulang pundi-pundi extra money. Dengan kata lain pahit dan manis bisa kok disatukan, seperti kopi hitam sachet.
Saya sendiri adalah pecandu kopi setiap jenis, dari mulai kopi sachet, Espresso, Americano, hingga Coldbrew. Sehari saja tak meminum kopi rasanya ada yang salah dengan hidup ini. Nietzsche agak keliru waktu dia bilang hidup tanpa musik adalah kesalahan, yang tepat hidup tanpa kopi sepenuhnya kekeliruan. Nah, jika Anda salah maka hukumnya adalah perbaiki. Bagi orang-orang yang tidak suka minum kopi muhashabah diri Anda?!!
Kopi, Sebuah Keniscayaan Intimasi
Kopi punya cara tersendiri dalam membunuh waktu, seperti sedang membaca lembaran buku dan membayangkan berbagai hal di dalamnya. Kopi melengkapi suasana percakapan kita, membuat pertemanan kita semakin panas ataupun sebaliknya. Seperti kopi, persis. Seringkali membikin percakapan mengalir yang tak perlu membuat kita bertungkus lumus agar mencair. Cukup dengan hadirnya kopi saja, sudah pas betul!
Saya adalah tipe orang yang susah bercakap ketika sebuah pertemuan tak diawali dengan secangkir kopi.
Memang beberapa manfaat dari minum kopi adalah meningkatkan energi yang distimulasi oleh kafein. Kafein juga menstimulasi sistem saraf agar mengirimkan sinyal sel lemak ke dalam aliran darah.
Universitas Harvard pernah merilis penemuannya bahwa dengan meminum kopi dapat memicu rasa bahagia dan melawan depresi. Perempuan yang meminum kopi sebanyak 4 atau lebih cangkir setiap hari memiliki kecenderungan risiko depresi yang lebih rendah dibanding mereka yang tidak minum kopi.
Jika kamu perlu merasionalisasi minum kopi mudah kok untuk menemukan literatur tentangnya di internet.
Namun, bagi saya dan banyak orang lainnya tidak hanya karena hal itu. Buat saya kopi sebagai media pembebasan dari rasa canggung dan tak percaya diri ketika bertemu banyak orang. Kopi sebagai saksi patah hati saat gajian datang, sebab 3 hari setelahnya sudah raib begitu saja melunasi premi.
Kopi juga seringkali menjadi saksi dalam pertemuan-pertemuan penting saat bekerja, dalam bercerita dengan orang-orang yang kita pedulikan dan tidak kita pedulikan tentang betapa indah sekaligus brengseknya hidup ini.
Kopi sebagai sisa-sisa harapan yang tertinggal di pintu masuk korporasi yang melakukan unpaid leave sebab pandemi. Kopi sebagai candu masyarakat, ada canda ada sendu. Ia hidup dalam emosi manusia, berkecamuk kadang mengamuk sekaligus memeluk hari-harimu yang acapkali tidak berperasaan!