Akibat lelah dan mata mengantuk, ane mutusin buat ngerebahin diri. Niatnya tadi sih sebentar, tapi kelopak netra agaknya menolak dan menuntut lebih dari sekedar teman. Sepasang kelopak itu terasa berat untuk disingkap, pupil terasa berkedut-kedut melakukan mogok kerja; seolah mengintimidasi untuk segera tidur.
Karena unjuk rasa itu begitu vokal dan ngeri, ane menjadi lengah. Sehingga, kengerian itu ngebuat ane takluk. Jatuh cinta pada rebahan berajut iming-iming mimpi. Semacam penawaran asuransi jaminan tidur lelap, akhirnya tubuh ini mengiyakan rayuan itu dengan penuh kekhilafan—ketidaksenggajaan.
Sore, tanggal 31 Desember 2017 itu ialah waktu peristiwa kekalahan ane yang kesekian kalinya. Ane terlelap seolah mengibarkan bendera putih tanda menyerah dalam kepala. Dan, sehelai kabel pelantang telinga dengan dua cabangnya menempel pada sepasang lubang telinga. Terakhir kali teringat, tembang yang berjudul “Radha Pada Khrisna” milik Fanaholic melesak masuk ke depan gendang telinga.
Sepanjang lelap, tidak ada sama sekali iming-iming bunga tidur yang terselip seperti apa yang dijanjikan oleh para pengunjuk rasa tadi. Tapi, entah kenapa, karena ekspektasi itu tidak terbesit sama sekali, menghadaplah rasa kesal ke dalam dada untuk mengadu. Kemudian aduannya tersebut kembali diteruskan sampai ke otak bagian kanan untuk diolah—apakah sesuai syarat dan prosedur yang berlaku—lebih lanjut. Setelah selesai, otak kanan mengeluarkan satu wacana; bahwa ane merupakan pihak tunggal yang dirugikan. Ya, sebuah konklusi yang provokatif memang.
Nah, pertanyaannya ialah: kenapa ane menyambut positif provokasi tersebut? Sebenarnya, mendengar pertanyaannya ini udah ngebuat ane gerah sendiri. Tapi, ya sudahlah. Jawabannya ane taruh di paragraf selanjutnya (baca: yang semestinya).
Adalah estimasi waktu antara tidur dan terbangun. Ane terbangun tepat ketika telepon genggam ane yang salah satu port-nya masih tersumpal itu, menunjukkan pukul delapan menit sekian—tepatnya, entah ane lupa atau luput dari perhatian. Yang artinya, waktu maghrib sudah benar-benar terlewat bablas!
Benar-benar betul, kata salah seorang sohib sekaligus senior ane yang bilang: tidur adalah kegiatan yang bisa mengalihkan tetek bengek keduniawian, bahkan memisahkanmu dari urusan transendental. “Dengan tidur, kita bisa mendadak jadi sekular yang mengeliminasi (mengabaikan) tuhan—baik sengaja maupun tidak—seabai-abainya,” candanya, beralasan ketika secara terang-terangan, begadang untuk mengerjakan lanjutan lembar skripsinya dalam kamar kosnya seharian penuh. Sekarang, dia sudah pulkam karena wisudanya dua periode yang lalu—pun kamarnya, kini juga sudah resmi kosong karena belum dapat “mangsa” baru sampai saat ini.
Belum lagi—lebih tepatnya—selain itu, masalah nyamuk. Nyamuk-nyamuk itulah yang sangat berjasa ngebangkitin ane dalam belenggu masalah waktu tidur yang menurut ane sendiri nggak ideal itu. Ane terbangun karena diganggu nyamuk, bukan karena baterai sudah penuh diisi kembali. Kira-kira baru 4 jam terpejam, tirai mata terbuka dengan pemberat yang masih menggantung, serta kaki-tangan yang saling berteriak: “garuk aku!” Entah sudah berapa liter darah yang dijarah oleh kawanan nyamuk itu. Mungkin, jauh sebelum tulisan ini ditulis, darah-darah itu sudah jadi persembahan pesta malam tahun baru kepada ratu nyamuk sekosan bernomor 324 itu. Kalau benar, nyamuk-nyamuk itu mungkin sudah “mabuk” dengan hasil jarahan yang mereka tenggak itu. Hahaha!
Serangga mungil yang konon sudah eksis sejak zaman dinosaurus ini, dihimpun dari laman mosquito.org, spesies nyamuk terkecil memiliki berat tubuh sebesar 2.5 miligram dan spesies terbesar yang pernah ditemukan berbobot 10 miligram. Dengan kecepatan terbang antara 1 – 1,5 mil per jam, setiap seekor nyamuk rata-rata mampu menghisap darah hingga 3 kali lipat dari berat tubuhnya.
Jika boleh berandai-andai misalnya; malam itu serikat nyamuk menggelar agresi dengan membawa satu peleton pasukan nyamuk-nyamuk betina untuk melakukan kodrat naturalnya untuk menjarah darah demi kebutuhan zat gizi dalam memproduksi telur. Bayangkan berapa banyak darah yang dipakai nyamuk-nyamuk itu untuk berpesta: merundungi aktivitas tidur yang di mana setiap seekornya mengepakan sayapnya hingga 500 kali kepakan per detik diiringi dengan suara deru yang akan mulai mengaum-ngaum jika jaraknya kurang sampai 30 cm dari telinga.
Nah, setelah beberapa kali mencakar-cakar rasa gatal, berdiam menunggu detik-detik meredanya rasa kesal. Komputer jinjing dijadikan pelampiasan. Krim salep semacam pemutih kulit sudah berpencar ke pojok-pojok rawan sengatan musuh utama itu sebelumnya. Secara perlahan, berangsur-angsur merata dan pasti, tingkat gangguan itu menurun. Hanya dengung-dengung di dekat telinga saja yang masih tebal. Dan mungkin, nyamuk-nyamuk itu sudah memanggil bala-bantuannya; semacam pasukan sekutu. Sebuah ledakan kembang api, meledek dari radius yang samar-samar. Padahal, waktu menuju tengah malam masih begitu tanggung.
More from Ruang Raung
Dari CEO Restock ID Kita Belajar
Dari CEO Restock ID Kita Belajar.... Rombongan motor dan mobil berkonvoi berkeliling kota. Mengibarkan bendera kebanggaan sebagai ciri identitas organisasi yang …
Pak Jokowi, Jadi Gini
Usia kemerdekaan Indonesia "Pak Jokowi, Kapan ya Kita Merdeka dari Ambisi?" Usia kemerdekaan Indonesia kini sudah menyentuh 75 tahun. Ya, 75 tahun …
Antara Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki
Kedai Kopi dan Dilema Pejalan Kaki Selepas kelas malam, sepulang dari kampus, sekitar jam 7 malam, saya berjalan kembali ke kos. …