Mata pelajaran terakhir…
Baskara merona, merah-jingga menggantung rendah di cakrawala Jalan Raya Cisolok, seolah sengaja menaungi kegugupan sepasang manusia: Jae dan Ojih, yang tengah berhadapan dengan belasan preman Pasar Bagbagan di depan Masjid Al Istiqomah Cisolok.
Ini bermula saat sepulang sekolah, ketika melewati Pasar Bagbagan, Ojih melihat celana dalam wanita berwarna merah muda lengkap dengan ornamen kembang-kembang berwarna terang di kedua sisinya dan sedikit bercak darah, mungkin bekas menstruasi, tengah teronggok di sebuah ceruk yang telah tergenang air, aroma busuk dari benda jahanam itu seketika menyeruak, keruan saja, naluri jahilnya turut menyeruak, menyesaki rongga-rongga kepalanya. Sebuah ranting dipatahkan, diangkatnya celana dalam busuk tersebut dengan ujung ranting yang barusan dipetik dan disorong-sorongkan ke arah Jae.
“Jorok Jih, jijik, bau, bangsat siah”
“Hahahahahahaaaaaa….“
Ojih hanya tergelak dan terus mengejar Jae dengan ranting kayu berujung celana dalam busuk terhunus di ujungnya. Jae yang mulai dongkol akan kelakuan sahabatnya, kemudian melompat dan merenggut sebuah ranting kayu yang sedikit lebih besar dari milik Ojih, ketika celana dalam busuk tersebut tinggal berjarak lagi satu depa dari Jae, mirip adegan pertarungan Arya Kamandanu di Tutur Tinular, dengan cekatan dan tangkas Jae menangkis ranting kayu milik Ojih.
“Seeeeeettttttttt, bletak…“
Ternyata ranting kayu milik Jae cukup kuat untuk menghalau ranting kayu milik Ojih, alhasil kayu milik Ojih harus patah, dan celana dalam busuk harus terjatuh ke tanah, Jae kemudian bersegera mengambil celana dalam busuk tersebut dengan ujung ranting kayu miliknya, keadaan kini berbalik pihak, sadar akan posisinya yang kurang menguntungkan, Ojih lari menghambur tak keruan masuk ke dalam pasar, Jae sudah mengejar di belakang Ojih dengan sebuah ranting kayu dan celana dalam busuk menggantung di ujungnya.
Merasa lelah, Jae berhenti, menarik napas perlahan, memicingkan matanya, mengkeker, memperkirakan jaraknya dengan jarak Ojih, setelah yakin akan jarak lemparnya, Jae melempar celana dalam busuk tersebut ke arah Ojih, rupanya Ojih sadar bahwa dirinya dalam bidikan celana dalam busuk Jae, Ojih cukup gesit dan lincah, sebelum celana dalam tersebut mendarat di tubuhnya, Ojih menghindar dengan tangkas, celana dalam melayang melintasi Ojih, dan kemudian “Plooookkkk!“ celana dalam tembakan Jae harus mendarat di piring nasi yang syarat akan tempe orek, sayur lodeh dan sambal terasi milik Mang Odoy, Preman pasar Bagbagan yang terkenal trengginas di seantero Pelabuhan Ratu.
“Ini semua gara-gara kamu Jih, yang maenan kancut busuk itu.“
“Kau yang melemparkan kancut itu bangsat..“
“Kau juga kenapa menghindar goblog…“
Ketegangan serta kegugupan paling paripurna melahirkan gelintir keringat dari dahi keduanya. Burung gagak mulai bergegaokan di angkasa, jantung mereka berdua saling berpacu, adu cepat di dalam dadanya masing-masing.
“Alloooooooohuakbar allooooooooohuakbar…“ adzan berkumandang dari dalam masjid Al-Istiqomah Cisolok, pertanda waktu salat maghrib telah menghampiri semua telinga umat muslim yang mendengarnya. Situasi di depan masjid masih sedingin salju, tak satupun berani mengambil langkah, mereka hanya saling beradu pandang, mirip adegan-adegan duel di film koboi.
“Mau kemana lagi kalian, ke sini bangsat!“ seakan abai dengan panggilan paling kudus tersebut Mang Odoy dengan amarahnya yang membuncah nampaknya masih ingin menguliti kami berdua.
“Sabar Mang Odoy, lagi adzan jangan marah-marah,“ kami berdua mencoba menenangkan Mang Odoy yang golakan amarahnya kian meletup-letup.
“Mao adzan mahrib kek, mao adzan apa kek, sebodo teuing, anak setan kalian berdua, sini maneh…“
Sepertinya kami berdua memang harus menghadapi belasan begundal ini pada akhirnya, sebenarnya kami cukup berpengalaman dalam tawuran, portofolio kami dalam dunia pertarungan jalanan cukup mentereng juga sebenarnya, tapi kali ini kami hanya berdua dan yang kami hadapi adalah belasan preman-preman pasar yang pengalamannya jauh lebih gilang gemilang ketimbang kami berdua.
“Jae, kau pernah dengar kisah tentang Pertempuran Thermopylae.“
“Jangan kau pikir hanya kau saja yang membaca buku, Jih.“
“Leonidas dan Sparta mampu melawan seratus ribu tentara Xerxes hanya dengan tiga ratus orang. Cihhh, Cuma belasan kutu bangsat, sampah pasar, kita pasti bisa Jae.“
“Dasar anak tolol, sok heroik betul kau, mereka memang cuma preman pasar bukan tentara Xerxes, tapi kita juga bukan Leonidas goblog, cuma dua murid kelas tiga Madrassah Aliyah Cikadu.
Ojih nampaknya cuai dengan apa yang aku katakan barusan, dia telah memasang kuda-kuda, kaki kanannya telah merenggang ke depan, kaki kirinya ditarik ke belakang sebagai tumpuan, kedua tangannya telah berada di depan dadanya, posisi siaga jika serangan datang. Tidak ingin ketinggalan, berbekal ilmu silat Cimande yang aku pelajari, aku pun turut memasang kuda-kuda terbaik.
Seketika keadaan menjadi hening, hanya suara adzan yang sudah memasuki kalimat akhir menemani kebekuan kami semua. Bibirku tak henti berkecumik, melafalkan doa-doa keselamatan yang pernah kuhafal dulu. Dadaku masih berdegup kencang, bahkan aku bisa mendengarnya, juga lenguhan napas kami semua, jelas terdengar. Ketika kumandang adzan usai, kami sudah bersiap saling serang, saling pukul, saling hantam.
“Byuuuuuuuuuurrrrrrrrrrr….“
Satu ember air tiba-tiba saja menggebyur sekujur tubuh mang Odoy, mang Odoy kian meledak amarahnya, gelagapan mencari-cari sumber air tersebut, orang tolol mana yang terlampau slebor, hingga sebegitu degilnya berani mengguyur satu ember air ke tubuh mang Odoy, preman paling bengis di seluruh Pelabuhan Ratu.
“Pantat Penyu, monyet mana yang berani menyiram Si Odoy, jawara sa-Palabuhan Ratu anjing!” amuk Mang Odoy.
Sembari mengusap-usap wajah dan kedua matanya mang Odoy mencari-cari siapa yang menyiramnya.
“Aing bangsattt, kamu tuh Doy, udah bisanya cuma mabok, judi, gag pernah solat, gag pernah ngasih makan anak istri, sekarang, orang pada mau solat maghrib malah ribut sama budak sakolah, anjing siahhh, bikin malu saja….”
Seraya mengeplakkan sebuah tongkat ke tubuh mang Odoy, seorang laki-laki tua dengan jenggot dan rambut yang sudah memutih, mirip gambar kakek-kakek di botol anggur yang biasa kami tenggak, dia menghardik sadis mang Odoy.
“Ampun Wak, ampuuunn, itu memang anak-anaknya yang kurang ajar, Wak..”
Tak disangka, tak dinyana, rupa-rupanya lelaki tua yang telah meruntuhkan keperkasaan mang Odoy itu adalah Wak Ceceng, mertuanya Mang Odoy. Cinta memang membutakan semesta, memutarbalikan logika, mengguncang nalar siapapun juga, lihat saja, meskipun eceuk Engkom Komariah adalah anak gadis dari Wak Ceceng, ulama paling kesohor di Cisolok, pada akhirnya dia takluk juga pada tebaran cinta mang Odoy, bromocorah paling angker seantero pelabuhan ratu.
Matahari kini telah benar-benar menggelinding, terpendam garis cakrawala. Sepoi pohon waru di sebelah masjid Al-Istiqomah seakan mengusir mang Odoy dan rombongannya, pergi menjauhi masjid. Kami yang berdiri di belakang punggung Wak Ceceng akhirnya diajak ke dalam masjid dan menunaikan salat maghrib.
***
Sejak pertemuan kami di warung dangdut Nyai Gandasturi beberapa tahun silam, kini, aku dan Pahrurozih kian akrab bersahabat. Sekarang kami sudah kelas tiga madrassah aliyah Cikadu, sekolah agama Islam yang setara dengan SMA. Ini adalah kali pertama aku berkawan dengan seorang bajingan, dan kali pertama juga tidak ada yang berani mengolok-olok aku lagi. Pahrurozih berinisiatif memanggilku dengan panggilan Jae saja, kependekan dari Jaenuddin dan Ojih untuk panggilannya. Kami berdua kian hari kian kompak, khususnya soal tawuran antar sekolah atau antar geng sekolah, bahkan layaknya anak sekolah lainnya, aku dan Ojih memiliki nama samaran, nama samaran Ojih adalah Mayor, dan nama samaranku adalah Kopral. Duet Mayor dan Kopral dari madrassah aliyah Cikadu kini cukup beken dan ditakuti di kalangan anak-anak sekolah di kawasan Pelabuhan Ratu, prestasi tersendiri bagi kami berdua.
Malam mulai larut, tapi tidak untuk warung dangdut nyai Gandasturi dan kami berdua. Di kejauhan nampak beberapa nelayan yang tengah mengemas jala penangkap ikan ke dalam jukung-jukung yang telah terparkir di sepanjang bibir pantai Karanghawu. Sesekali angin laut berhembus memintasi kami berdua, bau laut kerap terasa menyapa hidung, hidung dua orang dungu yang nyaris meregang nyawa lantaran melempar celana dalam busuk ke atas piring nasi preman pasar Bagbagan yang tengah asyik menikmati santap petangnya.
“Ahamdulillah ya Jae, tadi sore kita selamat, untung ada Wak Ceceng, kalau tidak, habis sudah kita, mungkin Tuhan masih sayang sama kita, ya.” segelas anggur kolesom lantas ditenggak habis Ojih selepas dia mengucap syukurnya atas keselamatan yang ia peroleh petang tadi.
“Jih, aku sekarang percaya, Tuhan tidak hanya mengabulkan doa orang-orang soleh saja Jih, buktinya doaku dikabulkan Jih, Tuhan juga sayang dengan bajingan macam kita, Tuhan bukan hanya milik mereka yang berbaju putih dan berkopiah putih.“ Tak ubahnya dengan yang dilakukan Ojih, pun juga Jae, yang kemudian mereguk habis anggur miliknya.
“Ada yang ingin kubicarakan, Jih.“ seketika Jae memecah keheningan malam itu.
“Ada apa Jae, kau nampak serius sekali.“ tukas Ojih.
“Selepas ujian nasional nanti, kita mungkin tidak akan berjumpa lagi, kedua orangtuaku akan mengirimku ke Mesir, untuk sekolah di sana. Mereka nampaknya belum habis akal Jih untuk menjadikanku seorang da’i sejuta umat, katanya mereka ingin aku menjadi seperti Ustadz-Ustadz sekarang, punya title ‘LC‘, di belakang namanya. Mereka bilang akan keren kalau namaku jadi Kiyai Haji Zainuddin MZ. Lc.“
Kedaan seketika menjadi hening, angin enggan berhembus, pasir enggan berbisik, bahkan ombak pun enggan bergulung, seakan merasakan kemasygulan yang tengah dirasakan Ojih. Ojih tak tahu harus berkata apa, atau menanggapi apa.
“Memang ‘LC‘ itu apa Jae“ dengan keluguan yang didasari ketidaktahuannya, Ojih menanyakan arti dari LC yang diidam-idamkan kedua orang tua Jae itu.
“LC itu Lulusan Cairo Jih, katanya.“ Jae menjawab kebingungan Ojih.
“A Aaaaaa…“ merdu suara seorang perempuan yang nampaknya belia, menyapa telinga kami berdua, tapi tentu aku yang terkejut kebingungan mencari arah suara.
Dengan tergesa, datang dari arah pantai, wanita tersebut kemudian menghampiri meja kami berdua.
“Eneng, darimana jam segini,“ tanyaku kepada wanita tersebut
“Eneng dari rumah mang Tatang A ngembaliin piring, pas ke sini liat AA, ya udah eneng mampir.“
“Ehhh iya neng, ini temen AA, Pahrurrozih, Jih, ini temanku sewaktu di Madrasah Tsanawiyah dulu, Eneng Syamsiyah,” aku memperkenalkan keduanya dan mereka bersalaman.
Karena kehadiran teman lamaku, yang sebetulnya adalah mantan kekasihku dulu, maka aku menambah pesanan untuk Eneng, segelas bandrek, dan beberapa kudapan unggulan di warung dangdut Nyai Gandasturi, Burayot dan Katimus.
Waktu berguling tak terasa, detik demi detik, menit demi menit, hingga jam demi jam. Perbincangan kami bertiga kian malam kian hangat saja, tapi sebagaimana pertemuan, tentu mesti ada perpisahan, dengan berat hati kami bertiga berpisah, Eneng ke arah timur, kami berdua ke arah selatan.
“Jae, kira-kira si Eneng, M 150 gag Jae.”
“M 150 gimana Jih….?“ aku cukup kebingungan dengan yang dimaksudkan Ojih dengan M 150, setahuku M 150, adalah nama minuman berenergi.
“BISAAAA…..“ dengan tangan terkepal, Ojih meninju udara, mempraktekan semboyan iklan minuman berenergi tersebut ‘M 150 BISA‘.
“Goblog, otak kau itu sudah seperti jembut kawan, tak jauh-jauh dari selangkangan,“ kami berdua hanya terbahak-bahak sepanjang perjalanan pulang hingga kesunyian malam menelan bising kami berdua.
***
Mata pelajaran terakhir untuk hari ini sedang berlangsung, Ibu Lilis Isnaini, seorang guru yang aku taksir berumur tiga puluh lima tahun, berperawakan terlampau gemuk, naasnya, beliau belum menikah. Ibu Lilis adalah guru sejarah kami yang sangat baik, saat ini ia tengah menceritakan sejarah Perang Bubat, bagaimana konflik awal kerajaan Majapahit dengan kerajaan Sunda bermula, sialnya ketika pembahasan tengah masuk ke bagian menarik, yaitu nasib dari sang puteri kerajaan, Dyah Pitaloka, bel tanda waktu pelajaran berakhir berbunyi, kisah tersebut pun harus disambung minggu depan, bajingan betul, ini seperti Kapten Tsubasa yang sudah menyepak tendangannya ke arah gawang lawan dan tinggal menunggu gol saja, malah bersambung dan harus menunggu lagi seminggu, bangsat!
Belum juga aku dan Ojih tuntas berkemas, seorang anak laki-laki dari kelas lain datang menghampiri kami berdua dengan wajah berkuah-kuah.
“Yor, Pral, kita dijegat sama anak aliyah Cisolok, katanya kalian berdua ngrebut pacar si Calvin“. Calvin adalah nama pentolan dari madrassah aliyah Cisolok, setelah duet maut kami, Mayor dan Kopral mencuat, beberepa sekolah lain, latah membuat duet maut pentolan juga, dan duet maut madrassah aliyah Cisolok ini merupakan seteru abadi kami, Calvin dan Klein, yah betul, memang mirip merek celana dalam pria, tapi entah apa maksudnya, mungkin agar terdengar kebarat-baratan saja.
“hahhhh, siapa?“ tanyaku kebingungan.
“Eneng Syamsiyah Yor, Pral, itu pacarnya si Calvin.“
Kami seketika terhenyak, rupanya ada yang melihat perbincangan kami dengan Eneng Syamsiyah tadi malam di warung dangdut Nyai Gandasturi dan melaporkan. Aku menggeram, gigi bergemeletak Ojih yang menahan amarah juga terdengar keras. Segera kami menuju warung dekat sekolah kami, yang posisinya meyuruk di rimbun pohon bambu, di sana kami biasa menyimpan barang-barang seperti samurai, celurit, sabuk dengan gerigi sepeda dan banyak lagi.
“Jih, pake ini, taruh dibalik bajumu.“ Aku menyodorkan selembar kardus kepada Ojih. Ini adalah trik lama kami berdua untuk menakut-nakuti saja, nanti kami akan menebas-nebas menusuk-nusuk perut dan dada kami yang terlindungi kardus sebenarnya, tapi musuh akan melihat bahwa kami berdua kebal senjata tajam.
Setelah merapikan seragam bajunya yang diselipkan kardus, aku, Ojih dan belasan kawan kami berangkat ke sebuah tanah lapang dekat Jalan Raya Cisolok.
“TAI TRENGGILING!“ umpatku yang luar biasa terkejut melihat jumlah mereka yang dua kali lipat dari kami, rupanya mereka beraliansi dengan beberapa sekolah yang juga memusuhi kami, bahkan Mang Odoy yang habis ditaklukan mertuanya kemarin, juga ada di sana, bangsat betul. Dengan keberanian yang dibuat-buat aku dan Ojih maju dan menusuk-nusukkan pedang samurai ke dada dan perut kami. Kentut biawak, baru satu menit kami beratraksi ada yang meneriaki kami dari arah sebrang;
“Bohong tuh, ada kardusnya di dalam baju,“ mungkin trik ini memang sudah usang dan sudah dihafal juga. Habis sudah, kami takkan menang.
“Jae, ini pertarungan terakhir kita, aku tak mau kau mati, kau harus berangkat ke Mesir dan menjadi da’i sejuta umat kelak,“ aku terdiam saja, tak sanggup berkata-kata.
Ojih menggaruk-garuk pantatnya, yang merupakan bahasa sandi bagi kawan kami di belakang untuk segera berlari menyelamatkan diri. Aku mengerti maksudnya, situasi kami memang sangat tidak menguntungkan, jadi ada baiknya kita kabur menyelamatkan diri masing-masing daripada harus mati di medan tawuran ini.
“Majuuuuuuu……“
Jerit Calvin memimpin pasukannya memberi perintah untuk menyerang kami, kami yang sudah menerima kode untuk kabur dari Ojih, langsung lari berhamburan menyelamatkan diri, seperti anai-anai yang terbang tak tentu arah. Kami masuk ke perkampungan-perkampungan warga, desa-desa, kemanapun asal selamat.
Aku terpisah, aku bersembunyi di belakang sebuah gerbang, mengintip dari kejauhan, memastikan gerombolan Calvin dan Klein takkan mampu menjumpaiku di sini. Sepuluh menit aku mengintip ke arah depan, aku tak menyadari bahwa ada tiga anak kecil menatap aneh kepadaku dari belakang.
“Hussshhh….husshhh…hussss, sana pergi,“ seperti mengusir sekelompok ayam aku mengusir tiga anak tersebut, aku perhatikan mereka berlarian, masuk menuju sebuah rumah, rupanya gerbang yang aku jadikan tempat sembunyi merupakan milik sebuah rumah, aku tak menyadarinya, karena jarak antara gerbang dan rumah tersebut cukup jauh. Tak lama tiga anak barusan datang lagi menghampiriku, namun kini bersama seorang lelaki yang sudah berumur.
“Kamu sedang apa,“ aku terbelalak ketika menyadari si empunya rumah turut menyambangiku.
“Emmmmm, anu pak, saya dikejar-kejar orang tawuran,“ dengan gugup dan gelagapan aku menjawab pertanyaan si bapak.
“Ayo, ayo masuk saja ke dalam,“ dengan langkah yang kebingungan aku masuk juga ke dalam. Aku dipersilakan duduk di ruang tamu miliknya, disuguhkan segelas teh hangat serta disajikan sepiring colenak dan beberapa biji misro.
Tanpa basa-basi lagi, dengan bersungut-sungut, si bapak pemilik rumah langsung duduk marah-marah dan kesal sendiri.
“Emang tuh yah, anak-anak aliyah Cikadu, kerjaannya ribut terus, kesel saya juga, ini namanya meresahkan masyarakat, kan kasihan yang benar-benar mau belajar kaya kamu, jadi terhambat.“ aku hanya bisa melongo kebingungan, tak mungkin kukatakan bahwa aku pentolan madrassah aliyah Cikadu. Jadi kunikmati saja teh dan kudapan ringannya.
Cukup lama kami berbincang tak tentu arah, hingga petang datang, aku pamit pulang, dan bukan main terkejutnya, ketika si bapak pemilik rumah memberikanku uang Rp 20.000,- untuk ongkos pulang katanya. Sepertinya Tuhan memang sangat sayang kepadaku, suatu saat mungkin aku memang akan menjadi da’i sejuta umat, yang disayangi Tuhannya juga jamaahnya.
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …