Kala aku kecil aku tidak pernah merasakan halaman bermain. Aku tinggal di rawa-rawa yang lahannya terhampar lumpur yang luas. Dari kecil aku selalu bermimpi untuk lepas dari sini. Di sini tidak ada satupun transportasi darat. Semua aktivitas menggunakan perahu atau speed boat. Di sini mata jauh memandang namun kaki tak dapat melangkah. Dari satu rumah ke rumah yang lain dihubungkan oleh pelataran (jembatan kayu). Jika malam tiba, maka gelaplah sudah kampungku. Aku tidak merasakan penerangan listrik PLN. Setiap membaca pada malam hari aku hanya ditemani oleh lampu pelita. Setiap malam ketika pergi mengaji, kunang-kunang menjadi senterku. Setiap kali pulang mengaji aku selalu berlari dan berteriak karena ketakutan. Tidak jarang aku terjatuh dan menangis takut di tengah gelap gulita.
Teman sekelasku tidaklah banyak hanya berkisar 8 orang termasuk aku. Terdiri dari 4 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Setiap jam istirahat tiba kami hanya bermain di teras sekolah atau di dalam kelas, karena sekolah kami tidak punya lapangan. Kami tidak pernah tahu apa itu upacara bendera yang jatuh setiap hari Senin. Kami tidak pernah melakukan tradisi itu.
Jika hujan tiba, sekolahku bocor. Kami selalu merapat menjadi satu untuk menghindari rintikkan air. Lantainya dari kayu yang sudah rapuh membuat kami harus super hati-hati untuk melangkah, jika salah injak maka kami akan jatuh.
Di kampungku tidak ada sumber air bersih. Setiap hari kami mandi dengan air sungai atau biasa kami sebut air laut yang super asin. Jika sudah kering, jari digesek ke bagian tubuh kami maka akan menimbulkan bekas putih seperti kapur. Bekas putih ini adalah sisa garam yang mengering di kulit.
Untuk kebutuhan minum, masak, dan mencuci kami sangat tergantung dengan sumber air hujan. Semua rumah punya penampungan air hujan berbentuk tangki yang besar terbuat dari baja, plastik, dan semen. Untuk kebutuhan mencuci pakaian, air bilasan terakhir akan kami pakai kembali untuk mencuci baju di hari berikutnya. Semua orang benar-benar harus menghemat air hujan. Jika kemarau tiba, muncullah kegelisahan di setiap rumah. Rumah dengan penampungan air sedikit yang membuat kami tidak jarang meminta bahkan menumpang beli air di rumah tetangga yang memiliki pasokan air yang lebih.
Bila kemarau panjang tiba, maka kegelisahan kami bertambah. Biasanya bapak-bapak di kampung kami akan pergi ke hulu sungai membawa tangki plastik dan gelen air. Mereka pergi dengan menggunakan perahu. Tangki plastik tersebut akan diisi air sungai yang tidak terlalu asin atau payau. Air inilah yang kami gunakan sementara untuk memenuhi kebutuhan hidup kala jelang hujan tiba.
Suatu hari ketika bencana itu tiba, pagong atau dam yang terbuat dari tanah hancur disebabkan debit air sungai yang berlebih. Semua tanaman hancur berantakan. Pohon-pohon kelapa yang menjadi sumber utama pencaharian masyarakat rusak. Kerusakan itu masih abadi, tepat di mana aku berdiri saat ini. Aku merasakan luka, luka yang mendalam. Masyarakat yang dulunya sejahtera kini perlahan satu persatu pergi dari kampung ini. Karena sudah tidak ada alasan lagi untuk mereka bertahan. Lahan-lahan pertanian sudah tidak bisa diandalkan. Belum lagi bencana longsor yang menghancurkan puluhan rumah.
Masih membekas di ingatanku, ketika debit air sungai berlebih aku pergi ke masjid dengan berenang. Pakaian dan perlengkapan sholat aku tanggalkan dan diangkat tinggi-tinggi agar tidak basah terkena air. Waktu itu yang aku pikirkan adalah suka cita bukan duka cita. Aku dan teman-temanku hanya menikmati saja masa itu. Sebelum sholat kami harus menyapu bersih lumpur yang masuk ke dalam mesjid.
Kini, masa lalu itu menjadi kenangan berharga bagiku. Karenanya lah aku bisa kuat hingga saat ini. Karena pengalaman masa lalu itu membuat aku belajar dan terus belajar agar aku jadi orang pintar (bukan dukun, ya.) dan bisa menggapai semua mimpi-mimpiku, seperti kala itu aku selalu bermimpi bersama kunang-kunang dan bintang malam.
***
Bermula dari sebuah tantangan untuk unggah foto hitam putih selama tujuh hari berturut-turut di akun instagram milikku. Aku berperan sebagai photografer amatir dan mengunggahnya di sana. Setiap foto yang diunggah mengangkat tema tentang pendidikan yang ada di Indonesia. Kenangan yang berlumuran luka itu pun kupotret dari berbagai angle. Tak dinyana tak disangka ternyata foto-fotoku mengundang perhatian. Foto-foto tersebut tidak hanya diambil dari sisi keindahannya namun juga mengandung kritikan yang reflektif. Foto-foto ini merupakan cerita pengalaman pribadiku semasa kecil.
Hari pertama, aku mengambil gambar bagian kaki dengan celana yang robek, dilengkapi dengan buku serta jembatan. Dalam caption-nya aku menulis, “Siapa yang tahu isi buku, jika hanya melihat dari sampulnya. Tak jarang sampul menjadi tolok ukur seseorang untuk memilih dan menilai, meskipun terkadang isinya tidak sesuai harapan. Sama halnya dengan kehidupan, kebanyakan orang hanya melihat dari satu sisi tanpa tahu apa yang ada dibalik sisi yang lain. Terkadang aku lebih baik melempar dan mendengar apa yang orang lihat dariku, tanpa mereka tahu apa yang ada di hati dan pikirannku. Aku yakin apa yang aku jalani mampu aku seberangi, meski aku tidak tahu ujung dari jembatan yang akan aku tempuh.”
Di hari kedua, aku mengambil gambar jalanan yang rusak dilengkapi dengan sebuah sepatu dan buku. Foto ini sengaja kualamatkan pada pemerintah agar memperhatikan jalan daerah dan segera diperbaiki. Foto ini membandingkan keadaan 16 tahun yang lalu dengan sekarang yang hanya mengalami sedikit perubahan. Ya, sedikit saja, “16 tahun lalu, perjuangan naik sepeda 20 km pulang pergi setiap hari ke SMP Negeri 4 Tempuling, INHIL-RIAU. Jika hujan tiba, sepatu terpaksa kami tanggalkan dan buku terpaksa kami tinggalkan. Sepeda bukan kami kayuh, tapi kami dorong sampai ke sekolah. Jalanan tidak sebagus sekarang, dulu jika hujan bahkan sepedapun tidak bisa melewatinya. Bayangkan sekarang seperti ini, bagaimana dulu?”. Jalanan dalam foto ini merupakan jalan lintas kabupaten yang dilalui banyak kendaraan tiap harinya. Kendaraan tersebut terdiri dari sepeda gowes, sepeda motor, mobil pribadi, mobil angkutan umum lintas kecamatan bahkan provinsi, truk pengangkut bahan komoditi seperti sawit, kelapa, dan pinang.
Gambar sepatu di dalam sebuah sekolah tampak pada foto ketiga, “20 tahun lalu, fasilitas pendidikan tidak sebaik sekarang. Jika hujan, kami semua bergeser dan jadi satu meja agar tidak terkena rintikan air dari atap yang bocor. Lantainya rapuh, dan tidak jarang kami jatuh dan masuk ke dalam lubang lantai. Kami hanya 8 orang, terdiri dari 4 laki-laki dan 4 perempuan. Meski hanya delapan orang, keadaan ini tidak membuat aku patah arang. Aku yakin, mimpi harus dikejar. Tidak ada alasan untuk tidak belajar. Tapi 20 tahun telah berlalu, apa masih layak fasilitas pendidikan masih seperti ini?”. Pada foto ini aku memang ingin menyampaikan ketidaklayakan fasilitas pada sebuah sekolah. Tampak atapnya yang rusak, lantai serta bangku dan mejanya yang tidak terawat. Foto tersebut diambil di sebuah Sekolah Dasar di Indragiri Hilir Riau.
Sebuah sekolah dengan jalan yang ditutupi semak serta dikelilingi oleh pohon sawit dan kelapa. Aku ingin bercerita tentang satu dari sekian banyak yang dialami oleh guru lain di luar sana.
“Mata saya tertuju pada sebuah sekolah yang kini berdiri megah. Saya tahu persis sekolah ini dulunya adalah sekolah yang dibangun oleh swadaya masyarakat setempat. Sekolah yang mulanya hanya satu ruangan yang disekat seadanya menjadi seolah-olah dua kelas, tanpa kantor. Hanya teras masjid yang ada di depan bangunan sekolah itu yang dijadikan ‘kantor’ sebagai tempat untuk guru istirahat sejenak.
Pendiri sekolah ini adalah salah satu tetua di kampung ini, beliau lah yang membangun sekolah ini dari mulai membersihkan lahan, membuat bangunan sekolah dari kayu hingga sekolah ini berdiri. Guru sekaligus kepala sekolah pertamanya adalah anak perempuan beliau, namanya Dwi Pertiwi.
Sejak berdiri tahun 2007 hingga 2010 Dwi Pertiwilah yang mengabdi menjadi guru sekaligus kepala sekolah relawan. Hingga akhirnya tahun 2010 sekolah ini oleh pemerintah diangkat menjadi Sekolah Dasar Negeri. Tentunya ini sebuah kabar menggembirakan. Namun di satu sisi, Dwi sebagai guru dan orang tuanya sebagai pendiri hanya bisa melihat dan tersenyum. Meski saat ini sang ayah sudah almarhum.
Kini Dwi hanya jadi guru honorer biasa tanpa ada status pengakuan sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil), ia tetap mengabdi dengan gaji yang sangat tidak memadai.
Apa yang Dwi alami mungkin hanya sebagian dari sekian banyak orang di luar sana yang mengalami. Loyalitas tanpa batas belum tentu naik keatas. Tidak ada kompensasi apapun dari pemerintah untuk Dwi. Meskipun Dwi selalu mengatakan kalau apa yang dia lakukan dengan ayahnya adalah ‘lillahitaalla’ semua karena Allah.”
Beginilah gambaran pahit yang dialami oleh pendiri sekolah di luar sana. Keterbatasan informasi terkadang membuat mereka harus bergeser. Apa yang bisa dilakukan untuk memperhatikan pendidikan kita agar tidak hanya fasilitas sekolahnya saja yang bagus tapi jasa orang-orang di dalamnya juga dapat diperhatikan dan diberi kompensasi yang layak.
Tampak seorang anak kecil menaiki sebuah truk di pinggir jalan. Pada gambar tersebut aku memang menyampaikan pengalamanku ketika sempat mengajar di sebuah Sekolah Dasar.
“Usia 17 tahun, aku sudah bekerja sebagai guru honorer di salah satu Sekolah Dasar di Kabupaten Indragiri Hilir, Riau.
Aku punya murid namanya Roky. Dia duduk di bangku kelas 4. setiap hari ia pulang dan pergi ke sekolah dengan cara memberhentikan mobil truk pengangkut batu bara. Jarak dari rumahnya ke sekolah sekitar 7 km. Jika tidak ada truk yang bersedia memberikan tumpangannya, maka ia akan berjalan kaki hingga sampai ke tujuan.
Aku sempat bertanya, ‘Mengapa tidak naik sepeda?’. Dia menjawab sambil tersenyum ‘Tidak punya, Pak’. Aku tidak mau melanjutkan pertanyaan mengapa ia tidak naik sepeda, karena dari pakaiannya yang lusuh saja sudah menjawab kalau dia bukan seorang anak dari keluarga yang mampu. Aku mengajukan pertanyaan lain ‘Roky tidak takut diculik?’. Lagi-lagi dia menjawab sambil tersenyum ‘Kalau aku takut diculik, aku tidak akan pernah sekolah dan belajar’. Seketika aku terdiam. Aku membayangkan setiap hari dia harus melewati ancaman yang pasti. Perjalanan yang cukup jauh melewati ribuan meter tanpa ada rumah warga di kiri dan kanan jalan. Jika ia diculik sudah pasti tidak ada yang tahu, atau jika ia mengalami kecelakaan di jalan sudah pasti tidak ada warga yang melihat selain pengguna jalan yang melintas.
Roky, meski rumahnya paling jauh dari siswa yang lain, dia selalu datang lebih awal ke sekolah. Semangat belajarnya yang luar biasa serta pengalaman hidupnya membuat aku belajar. Anak sekecil itu saja tidak takut, mengapa aku harus takut untuk mengejar mimpiku.”
Harapan dan motivasi, begitulah yang aku pikirkan mengenai foto ini. Jangan pernah punya pikiran untuk putus asa dan terus berjuang dalam menuntut ilmu. Apa yang dialami oleh Roky, merupakan satu dari sekian banyak anak tidak mampu di luar sana yang memiliki cita-cita dan harapan besar.
Di antara pohon sawit, seorang anak kecil sedang membaca sebuah buku. Dari gambar ini aku mencoba menyampaikan apa yang aku rasakan di masa laluku.
“15 tahun lalu, aku sering berontak ke orangtuaku. Aku marah bukan kepada mereka, tapi aku hanya meluapkan kekesalanku. Aku kesal, sedih dan emosi, hutan di kampungku dibabat habis oleh raksasa-raksasa itu (korporasi) dan dijadikan hamparan pohon sawit. Kampungku yang tadinya rindang kini tandus.
Tiap tahun ada saja pembakaran hutan dan dampaknya kampung kami terkena kabut asap yang menyebabkan banyak terserang ISPA hingga kematian.
Masih kuingat jelas, ketika aku duduk di bangku Sekolah Dasar kabut asap menyerang. Pandangan mata hanya berjarak 10 meter. Semua benar-benar gelap, bahkan matahari saja tidak tampak. Tidak sedikit anak-anak usiaku tersesat ketika pergi ke sekolah. Berjam-jam kemudian baru bisa ditemukan. Hingga pada akhirnya sekolah kami diliburkan sampai kondisi benar-benar membaik.
Tidak sampai di situ, pembakaran terus berlanjut tiap tahunnya. Ketika aku duduk di bangku SMP, kabut asap kembali menyerang. Teman-temanku yang ke sekolah naik perahu seharusnya bisa tiba tepat waktu, tapi karena kabut asap mereka tersesat hingga telat 2 jam.
Aku marah tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Dari situ aku mulai berpikir, aku tidak boleh jadi orang bodoh. Aku harus belajar jadi orang pintar agar tidak dibodoh-bodohi oleh para raksasa rakus itu.”
Kabut asap yang disebabkan oleh hutan yang terbakar itu sampai kini masih berlanjut. Pada tahun 2016, semua pemberitaan tentang ISPA dan kematian yang disebabkan oleh kabut asap di Sumatera semakin memprihatinkan. Tidak hanya pulau Sumatera yang terkena dampaknya, bahkan hingga ke negara jiran seperti Singapura dan Malaysia.
Tibalah di hari ke tujuh, di mana aku harus mengunggah foto hitam putih dan aku merasa foto terakhir harus benar-benar diambil dari akar di mana aku berasal. Foto ini merupakan puncak dari seluruh pengalaman yang aku lewati. Dalam foto ini tampak hamparan pohon kelapa yang hancur, dahan yang berserak di mana entah, dan tanahnya yang dipenuhi hamparan lumpur. Sudah 17 tahun aku tidak pernah pulang kampung ke tempat aku dilahirkan dan dibesarkan ketika Sekolah Dasar. Aku sudah menutup rapat semua kenangan itu. Aku selalu bilang suatu saat aku akan pulang jika waktunya sudah tepat, namun hari ini aku pulang. Aku melihat kembali semua, semua kehancuran yang pernah ada. Pohon-pohon kelapa yang rusak ini adalah saksi bisu ketika masa kanak-kanakku.
More from Rehat
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos?
Kelemahan Tali Pocong: Simpul yang Gampang Lolos? Tali pocong, sering kali dianggap sebagai senjata pamungkas yang bikin bulu kuduk merinding. Tapi …
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling
Kelemahan Pocong: Menguak Sisi Lemah Si Pembalut Keliling Pocong, sosok ikonik dalam mitologi horor Indonesia, kerap digambarkan sebagai makhluk yang melompat-lompat …
4 Comments
nice story with good picture, make me feel this story so deep.
sukses terus ya mas deddy, you’ll be good producer in future 😊🥂
The best…..
Segelintir cerita yg menyayat hati…tentang perjalanan hidup.,seorang ank yg ingin mnjadi sukses dari kepahitan hidup nya.
Semoga mimpi nya ingin membesarkan kampung halamanya tercapai. Good luck to dedy