Hegemoni tentang Dilan belum habis. Setelah film Dilan 1990 berhasil membukukan 3 juta penonton hanya dalam waktu 10 hari serta kutipan Dilan yang paling terkenal, “Milea, kamu cantik. Tapi aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore, tunggu saja,” dihafalkan (sebagian) anak-anak muda kekinian.
Baru-baru ini tokoh Dilan, dituduh pro-Syiah, sebab dalam bukunya (Dilan, Ia adalah Dilanku Tahun 1990), di halaman 206, ada adegan ketika Milea masuk ke kamar Dilan didampingi Ibunda Dilan. Milea melihat dua poster besar, Mick Jagger (vokalis The Rolling Stones) dan seorang lelaki bersorban dan berjanggut. Oleh Ibunda Dilan, Milea diberitahu bahwa itu adalah Ayatullah Khomeini, pemimpin revolusi Iran.
Potongan adegan dalam buku ini kemudian membuat beberapa melayangkan tuduhan bahwa Dilan pro-Syiah, sebab Khomeini (kebetulan) adalah tokoh Syiah yang dikagumi di dunia.
Bagi yang belajar tentang sejarah pasti tahu bahwa pada rentang waktu 1977-1978 terjadi peristiwa revolusi Iran yang mengguncang dunia. Rezim Shah Reza Pahlevi, penguasa Iran runtuh. Penggerak revolusi itu adalah dua orang, bernama Ali Shariati dan Ayatullah Khomeini. Nama yang terakhir disebut kemudian sebagai pemimpin Iran yang juga pemimpin spiritual Syiah.
Tahun 1925 Shah Reza Pahlevi naik tahta dengan dukungan ulama Iran, ndilalah begitu menjadi pemimpin, ia malah pro ke dunia barat. Shah Reza Pahlevi mengubah sistem pemerintahan dari monarki konstitusional menjadi monarki absolut, memberlakukan kitab hukum barat yang menggantikan hukum Syariah.
Berderat-deret kebijakan Shah Reza yang membuatnya semakin dikenal sebagai pemimpin yang mencintai westernisasi dan memaksa para ulama untuk tunduk pada rezimnya. Seusai Perang Dunia II, Shah Reza digantikan oleh putra bungsunya, Muhammad Reza Pahlevi yang hanya melanjutkan kiprah sang ayah sebagai diktator.
Nah, Ayatullah Khomeini tampil sebagai pemersatu rakyat Iran melawan rezim penguasa. Tak hanya itu, ia pun dicintai sebagai ulama besar yang begitu diagung-agungkan oleh rezim pemerintah Iran. Perjuangan Ayatullah Ali Khomeini, mirip dengan Hasan Al-Banna dari Mesir. Yaps, betul beliau adalah pemimpin gerakan Ikhwanul Muslimin.
Saya katakan mirip lho yah, bukan sama. Sebab khawatir nanti ada yang tersinggung. Soalnya secara mazhab (aliran) tentang fiqih keduanya bertolak belakang. Meskipun begitu (kebetulan) keduanya sama-sama anti westernisasi. Hehe
Pada tahun 1990-an, kita (anak-anak muda Indonesia) mengikuti sepak terjang Khomeini melalui siaran “Dunia dalam Berita” pukul 21.00 setiap malam. Saya ingat betul saat itu, masih duduk di kelas 2 SMP, tentu tak begitu mengerti politik dan tidak tahu persis Iran itu ada di mana. Saya hanya tahu, sedang ramai perang Iran-Irak, dan sebagian besar masyarakat Indonesia mengidolakan Khomeini dan membenci Amerika.
Tentu, tidak semua anak muda zaman itu mengenal Khomeini, sebab ada juga yang mengidolakan Diego Armando Maradona, pesepakbola asal Argentina yang dijuluki “Si Tangan Tuhan”. Saya sendiri malah mengidolakan Bastian Tito yang menuliskan kisah Wiro Sableng.
Pada zaman itu, kami tidak paham apa itu Syiah dan Sunni. Meskipun saya sudah tahu sejak lama bahwa Iran identik dengan Syiah. Baru setelah dewasa saya ‘ngeh’ dengan perbedaannya.
Kembali lagi ke Dilan. Perlu dipahami bahwa seorang Dilan merupakan tokoh rekaan Pidi Baiq, yang hidup sebagai remaja di tahun 1990, dan mengidolakan Khomeini (yang kebetulan Syiah), mengidolakan bukan berarti Dilan itu Syiah my love. Justru jika Dilan mengidolakan Nelson Mandela, akan sangat aneh mengingat tahun segitu anak muda Indonesia belum kenal tokoh pergerakan rakyat Afrika Selatan tersebut.
Bukankah setiap zaman selalu melahirkan idola baru? Dan bagi anak-anak muda, semakin berani si tokoh, akan semakin ia cintai. Sebab di usia muda mereka, para remaja memang sedang memuncak adrenalinnya. Misalnya saja remaja putra tahun 1990-an pasti malu dan melipir jika dianggap menyukai Amy Search sebab Metallica atau Sepultura terdengar lebih garang dan macho.
Anda tahu Che Guevara? Ia tokoh pemuda penentang kapitalis kelahiran Argentina yang menjelajahi Amerika Selatan dan menyerukan persamaan hak bagi kaum proletar dan sinis terhadap kaum borjuis. Hingga hari ini, saya terkadang masih melihat anak-anak muda mengenakan kaos bergambar wajah Guevara, lengkap dengan topi baretnya.
Dalam hati saya selalu bertanya-tanya apakah si pemakai kaos beneran mengetahui siapa sesungguhnya Guevara yang tidak hanya terkenal sebagai tokoh anti-kapitalis, namun juga pro-marxis?
Apakah salah, jika seseorang mengaguminya? Tidak. Sebab Guevara patut dikagumi untuk semangatnya menentang kapitalisme. Sama seperti Nelson Mandela yang menantang politik apartheid di Afrika dan seorang Amien Rais yang (dulu) begitu dikagumi sebagai tokoh pemersatu bangsa di era reformasi. Maka terlalu dangkal rasanya jika menuduh sebuah novel percintaan remaja sebagai sebuah produk yang wajib diboikot, hanya karena tuduhan yang tidak beralasan.
Ketika membaca, Anda harus mengerti konteks tahun 1990 kala itu, untuk paham mengapa seorang Dilan yang digambarkan sangat mencintai kebebasan dan ‘anak geng’ motor mengagumi seorang Khomeini. Jika Anda sudah membaca bukunya, Anda juga pasti tahu kalau Dilan juga mencintai Buya Hamka dan sudah membaca tafsir Al Azhar karya beliau.
Ini bukan pembelaan loh yak, tapi ((pelurusan)). Bangsa kita sudah sedemikian tertinggal jauh di belakang hanya karena malas membaca. Sehingga hampir rata-rata berita yang mampir kemudian bisa dengan entengnya diklik dan disebarkan.
Saya malah lebih respek kepada teman-teman yang menulis bahwa mereka tidak menyukai tokoh Dilan karena Dilan anak geng motor yang pernah memukul gurunya sendiri. Ini tentu lebih bisa dipahami.
Dilan, rindu memang berat. Yang mudah itu menuduh orang lain Syiah. Tsaah.
More from Poliklitik
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan?
Asian Values, Dinasti Politik: Warisan atau Kutukan? Di jagat politik Indonesia, dinasti bagaikan virus yang tak kunjung musnah. Bak jamur, ia …
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin?
Apa yang bisa kita harap dari Visi-Misi Amin? Di ambang era baru, Indonesia mendekati titik krusial dalam perjalanannya. Di tengah gelombang …
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia
Kisah Asam Sulfat dan Asam Folat: Satu Huruf, Beda Dunia Dalam drama panggung politik, terkadang skrip yang terlepas dari naskah bisa …