Seorang lelaki telah memutuskan untuk menunggu dering ponsel yang dipinjamnya—dari seorang teman sedaerahnya—datang menyapa dari seberang timur sebelah Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta. Ia memilih menunggunya di sebuah kafe mungil milik seorang perempuan paruh baya; tempat ketiga orang temannya, para lelaki bermukim untuk menemani bulan. Malam itu, lelaki itu sedang berada dalam kesepakatan yang sempat memutar habis jeroan dalam tempurung kepalanya.
“Kamu dari mana saja? Tumben sibuk,” sambil menyebutkan nama lelaki itu, tiga manusia menyambutnya. Mereka sedikit pasif. Tapi, memang begitulah adanya. Teman-temannya telah lebih dulu bertaruh bersama urusan mereka sejak awal. Berbeda dengan lelaki yang baru datang ini. Ia hanya singgah untuk sekadar mencari situasi yang bisa mengalihkan rasa was-was.
Sebuah kursi panjang berbahan kayu berlapis cairan pelitur yang sudah lama kering seakan memanggilnya, ia setuju dan memagut ranum warna kursi yang khas itu dengan bongkahan pantatnya.
Lampu-lampu yang tergantung di langit-langit kafe memandanginya, remang dengan bola matanya yang kuning kemerahan. Meja serta tiga kursi panjang dengan bentuk yang sama menelan intensitas cahaya lampu. Lelaki itu duduk membelakangi sepasang kekasih yang dia taksir; masih belum sempat tertawan oleh sebuah status yang baginya menggelikan. Di situ ia mematung, menyimak setiap bias antara tubuh dan pikirannya yang terpecah.
Selamatlah jiwa-jiwa yang merasa sibuk. Ponsel di kantung dari tas lusuhnya itu tiba-tiba saja bergetar tipis. “Hallo, kamu di mana?” suara seorang perempuan menyusul setelah ia menempelkan badan ponselnya pada telinga. Sesekali, rambutnya yang kusut dengan separuh stigma keperempuanan menyapu-nyapu kedua pipinya.
Lelaki itu menjawab, tergesa. Ia gugup dan tak sengaja berbohong pada teman perempuannya di seberang telepon. “Aku lagi di kos, kamu sendiri sudah di mana?” Kemudian lelaki itu pergi meninggalkan persinggahan itu tanpa memesan menu apapun. Ia hanya berpamitan pada teman-temannya, bahwa ia akan menyusul seseorang yang sudah menunggunya di depan toko yang cukup asing baginya.
Waktu menunggu yang dibenci oleh hampir semua orang itu, berhasil diretasnya bersamaan dengan kata-kata pamit yang lirih.
***
Lelaki itu segera menyusulnya
Jalan-jalan kota ini seperti biasa, menampilkan tanda-tanda yang memaksa setiap orang memprediksi: nantinya, kota ini akan menjadi kota dengan hiasan jalan layaknya kumpulan bayi dalam acara lomba merangkak menuju pilihan takdirnya. Mati sebelum ia berdiri, atau merasa mati ketika berdiri, atau mungkin mereka mati setelah fase-fase hidup yang diberikan tuhan telah benar-benar habis. Dengan gusar, lelaki itu pergi dengan menunggangi motor yang juga dipinjamnya dari orang yang meminjaminya ponsel. Orang yang sama.
Segala sesuatu tentang lelaki itu seolah menunjukkan ketidakberdayaannya dalam memenuhi janji pertemuannya dengan seorang perempuan. Pada sepasang kantung matanya, samar-samar terlihat bayangan hitam yang masih lekat menempel. Lelaki itu hanya mengandalkan sisa parfum yang perlahan berguguran bersama keringatnya sejak sore. Ia juga lupa untuk mengganti baju, atau sekadar menggelar simulasi bersama cermin. Debu dan segala jenis organisme liar mungkin sudah menumpuk di wajah hingga sekujur tubuhnya, serupa bedak tebal pengusir gatal.
“Aku tunggu di depan toko Bakpia 145,” hanya kata-kata itu yang ia ingat sebagai pedoman menghadapi para pendosa yang saling bergosip dengan asap kendaraan yang membumbung ke awang-awang. Kata-kata itu jugalah yang mengajarinya cara bersikap ‘persetan’ pada kepekatan pesta yang bergaung setiap waktu di ruas-ruas jalan.
“Sebentar,” lelaki itu bergumam. Gumaman itu diulanginya sepanjang kemeriahan aspal yang menjalar dengan laju, “aku akan segera sampai,” tambahnya.
Suara perempuan itu membawanya pada sebuah bukti baru mengenai rentetan penyesalan yang sebelumnya pernah dikemasnya bersama alasan-alasan ampas yang super tolol. Di akhir, dalam percakapan jarak jauh tadi selesai menyekap telinganya dengan manja, lelaki itu membayangkan jika perempuannya sedang berada di tempat yang asing. Sebuah tempat antah-berantah. Kepalanya menggambarkan sebuah aksi penyekapan kejam layaknya adegan dalam film-film thriller. Perempuan itu pasti sedang kalut, pikirnya.
***
Sudah tidak ada waktu lagi. Bersama sepeda motornya, kini lelaki itu sudah berada di lahan parkir dekat muka gedung yang sempat berjaya dengan keping-keping surat—sebelum akhirnya binasa akibat hadirnya ‘si artis pendatang baru.’ Pulsa. Dengan sigap, penjaga parkir meminta jatahnya, semacam uang jaga. Setelah membayar lelaki itu menyebrang ke tempat orang-orang yang telah lebih dulu tenggelam dalam suka-cita. Suka-cita yang selama hampir 3 tahun dia merantau di kota ini, suasananya belum pernah berubah signifikan. Hanyalah properti umumnya saja yang sering bergonta-ganti.
Di seberang jalan ia melihat sebuah gedung tua kaya raya menatapnya dari seberang diagonal. Lelaki itu memang suka dengan bangunan peninggalan zaman kolonial itu. Kakinya berhenti beberapa saat demi membalas tatapan kosong yang memperhatikannya semenjak ia memarkirkan motornya. Baginya, gedung itulah yang menjadi penanda kalau ia telah berada di titik kilometer nol milik daerah yang diistimewakan ini.
Tak sengaja, pekikan gitar seorang pengamen menghentikan kekagumannya. Langkahnya kembali bergerak meliak-liuk mengurai kerumunan orang-orang. Mungkin lelaki itu adalah orang yang sendirian berjalan sendirian kala itu. Ia mulai mempercepat ayunan kakinya sambil mengikat rambut panjangnya. Namun, sesekali langkahnya melambat karena kerumunan itu seolah sengaja menghalang-halanginya.
Untuk menuju tempat perempuan itu harus melintasi sisi sepanjang jalan yang masih bimbang soal siapa jati diri ia yang sebenarnya. Jalan itu cukup tersohor layaknya seorang idola. Maka tak heran, wisatawan asing seringkali terlihat, berkamuflase bersama orang-orang lokal di sana, membeli jajanan pedagang, berkonvoi, sampai keluar masuk toilet portable di dekat pagar areal monumen tempat beberapa pemuda berkarya dengan papan seluncurnya. Dan, perempuan itu kemungkinan sedang menunggu di salah satu sudut pinggiran trotoarnya.
Toko itu masih jauh, perlu banyak hentakan kaki serta kegesitan bola mata yang menyerupai gerakan bandul untuk sampai dan menemui letaknya. Tapi, lelaki itu sudah main iri saja dengan kilatan lampu-lampu kendaran yang menampar sepasang matanya. Sepanjang kakinya melangkah, ia mengumpat tanpa suara. Umpatannya itu terekam dan terus berputar ulang sampai-sampai membuat gaduh isi kepalanya. Kerumunan dan segala romantisme yang ada di tempat itu; mendadak berubah menjadi lumpur.
Umpatan yang terus berputar kini mulai berganti dengan senyum. Lelaki itu berjinjit-jinjit melirik ke arah seberang jalan. Toko yang dicarinya tepat berada di seberang posisinya berdiri sekarang—sembari menggenggam ponsel lusuh yang bukan miliknya. Sayang, perempuan itu masih belum juga nampak. Ia memilih duduk menghadap jalan di sebuah bangku di pinggiran. Lagi-lagi, untuk sekadar menenangkan dirinya dari debar yang liar memukul-mukul dadanya dari dalam. Senyumnya berangsur datar, ingatannya sudah mulai pasrah, dan bertaruh bersama tuhan.
Jika ia tidak bertemu dengan perempuannya malam itu, pada hari-hari berikutnya kemungkinan besar ingatannya akan diperbudak lagu. Lelaki itu seringkali memperdengarkan lagu ini bila sindrom penyakit rindunya kumat, ia akan lebih mirip zombie kelaparan daripada psikopat berdarah dingin yang lagi demam. Jika sudah parah, teman-temannya bisa menjadi target pelampiasan yang menurutnya paling layak menemaninya melakukan banyak kesia-siaan. Ya, sebagai kawanan zombie yang berada dalam keadaan paling parah. Zombie yang psikopat.
Dan, apabila dipertemukan, lelaki itu akan menciptakan kesempatan seperti memegang tangannya, menikmati sorot mata perempuan itu, hingga membiarkan lantunan lembut dari celah bibirnya, serta paras dengan dempul tipis yang teduh. Di lain sisi, lelaki itu juga telah siap dengan hal terburuknya, seperti bahasan yang akan membuat lelaki itu kian terjebak dalam pusaran sesal—yang dulunya menjelma sebagai ego paling murah di antara yang murah.
***
Lelaki itu cemas menunggu jawaban dari pertaruhannya bersama Tuhan. Dua pilihan telah diambilnya. Sepasang pilihan yang akan memberinya hasil yang persis sama. Tembang lagu telah bersiap-siap berkumandang di dalam kepalanya. Tapi, sebelumnya, lelaki itu sudah menuntut agar ia segera dipertemukan di tengah-tengah kerumunan malam yang melarut. Lelaki itu suka, sekaligus benci bagian utama dari lagu itu. Lagu yang terang-terangan mendeskripsikan bentuk dari sebuah celengan rindu. Sederhana, namun sukar dipecah sebelum penuh dan benar-benar sesak. ***
You might also like
More from Fiksi
Surat untuk Mantan
Lara, Ini mungkin adalah surat yang kesekian kali kutulis, tapi kali ini rasanya berbeda. Seperti ikan besar yang terjerat di jaring …
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan
5 Cerpen Cinta yang Akan Bikin Kamu Terbawa Perasaan Hey Sobat Semay, siap untuk terbawa oleh ombak perasaan yang mendalam? Ini …
Lamunan Empok Hayat
Lamunan Empok Hayat Dalam Sekian Babak Bunyi berita tentang cuaca ekstrem dan curah hujan tinggi tertangkap telinga Empok Hayat. Kalau saja …